Mulai

1359 Words
"Bagaikan sihir yang menyulapnya dan ia hanya bisa mengikutinya." *** 21++ Veni benar-benar tidak bisa bergerak saat ini. Hembusan nafas Mario di tengkuknya membuat dirinya panas dingin. "Ma ... r...." Untuk mengeluarkan suara saja Veni seperti terdengar desahan di telingan Mario. Entah apa yang merasuki Mario wangi vanilla Veni membuat dirinya tidak bisa berhenti. Mario terus melancarkan aksinya. Veni hanya bisa terhanyut dalam permainan Mario. "Ven boleh?" tanya Mario melalui samping wajah Veni. Entah kenapa kepalanya mengangguk saja. Mario yang mendapat respon setuju pun langsung melanjutkan kegiatannya. Kini keduanya sudah terbakar gairah bersama. Mario menjatuhkan Veni di kasur. Membuatnya menghadap dirinya. Veni malu hanya bisa mengalihkan pandangannya. "Lihat aku, Ven." Veni menggelengkan kepalanya malu. "Ven...." "Malu," cicit Veni. "Enggak usah malu. Aku pengen lihat wajah kamu. Kamu enggak terpaksa 'kan?" tanya Mario lagi. Veni menggelengkan kepalanya. Jujur dia memang tidak terpaksa. Hatinya mengatakan dirinya sudah siap jadi dia akan mengikuti kata hatinya. Mario pun memegang pipi Veni dan mengarahkannya ke wajahnya. Mario mulai menciumi wajah Veni satu persatu hingga sampailah di bibir Veni. Mario melumatnya seakan bibir itu benar-benar sebuah permen yang Manis hingga membuatnya candu. Mario benar-benar sudah dimabuk Asmara oleh wajah Veni. Tangannya mulai bergriliya menyentuh tubuh Veni. Veni hanya bisa menahannya. "Enggak usah ditahan. Lepas aja," ucap Mario. Veni mengangguk. Mereka melanjutkan aktivitas mereka. Malam itu menjadi malam yang pertama mereka yang tertunda. Veni menjadi milik Mario seutuhnya. Malam itu Veni merasakan dirinya benar-benar bahagia, rasa cinta muncul saat Mario melakukan itu kepadanya. Mario seakan lupa dengan motif awalnya menikah untuk membalaskan dendamnya. Mario menikmati malam itu bersama dengan Veni. *** Pagi harinya Veni bangun lebih dulu. Dia malu melihat kondisinya saat ini. Di bawah selimut bersama dengan Mario dan tanpa sehelai benang pun. Dia ingin segera bangun tapi bagian bawahnya masih sakit. "Duh gimana dong kalau nunggu Mario bangun malu. Tapi, rasanya sakit buat gerak," batin Veni. "Udah bangun, Ven?" tanya Mario. Veni melihat ke arah sampingnya mata Mario masih terpejam. Veni mengigit bibirnya bingung hendak menjawab apa. "Jangan digigit, Ven. Aku jadi pengen lagi." "Ck ... Mario...." ucap Veni malu menghadap ke arah lain. Mario lantas bangkit dia berada di atas Veni lagi. "Mar ka ... kamu mau ngapain?" tanya Veni gagap. "Morning kiss sayang," ucap Mario mencium Pipi Veni hingga menjalar ke bibirnya. "Mar...." "Ayo kita lanjutin yang semalem." "Tapi, ini udah pagi, Mar. Nanti kalau Mama kamu nyariin kita buat sarapan gimana." "Mama pasti ngerti kok." Mario melanjutkan aksinya. Dia melanjutkan aksinya yang semalam. Walaupun itunya masih sakit tapi dia juga tidak munafik menginginkannya. Sampai akhirnya mereka melanjutkan lagi Kegiatan mereka yang semalam. *** Veni sudah selesai mandi. Sedangkan Mario masih berada di kamar mandi. Mereka baru selesai pukul 12 hingga membuat Veni harus keramas lebih dulu sebelum menunaikan solat. Dia mandi dibantu Mario dan mereka melakukannya lagi di kamar mandi. "Mario buruan...." "Iya sabar ini lagi pake handuk," ucap Mario. Ceklek.... Pintu kamar mandi terbuka memunculkan Mario yang ke luar dari kamar mandi dengan handuk yang melilit pinggangnya. Veni meneguk ludahnya melihat roti sobek milik Mario. Air yang mengucur melewati dadanya membuat Veni meneguk ludahnya. "Lihatinnya biasa aja, Ven. Kan kamu udah lihat semuanya juga," goda Mario. Veni lantas berbalik arah karena kegap melihat Mario penuh nafsu. Mario malah terkekeh melihat istrinya yang malu-malu. "Ap ... apaan sih, Mar. Udah ah buruan." "Kamu masih mau ya, Ven?" goda Mario lagi. "Mau apaan sih. Udah buruan kamu pake baju enggak usah banyak omong," ucap Veni kesal. Suaminya itu kenapa malah senang menggodanya. "Bajunya belum kamu siapin, Ven. Masa udah punya istri pake baju masih ambil sendiri. Ambilin dong." "Aishh...." Mau tidak mau Veni pun menuju ke lemari mereka dan mengambil pakaian untuk suaminya. Mario tertawa melihat istrinya yang sama sekali tidak mau melihatnya. "Kenapa nunduk aja sih, Ven? Lantai lebih menarik ya dari pada suami kamu?" "Mario udah ah. Buruan pake baju solat. Aku laper tahu enggak." "Aku juga laper tapi kok lebih kenyang kalau makan kamu ya," goda Mario lagi. Ahhh senangnya bisa melihat Veni bersemu karena godaan dirinya. Apalagi membayangkan Veni yang ahhh membuatnya ingin melakukan lagi. "Mario buruan pake bajunya malah bengong." "Habis makan. Aku makan kamu ya...." "Apa-apaan emang aku makanan mau kamu makan." "Iyadong. Kamu sumber makanan yang paling lezaattttt. Hahaha...." "Mario kalau kamu ngomong mulu aku solat duluan nih terus aku tinggal." "Jangan gitu dong sayang...." "Yaudah buruan." Kesal Veni. Mario pun lantas buru-buru dan langsung menuju ke depan Veni. Mario untuk pertama kalinya menjadi imam untuk Veni. Hati Veni bergetar kalau Mario menjadi imam solat pertamanya. Hatinya bahagia. Kini dia akan menyerahkan seluruh yang dimilikinya untuk Mario yang sudah menjadi Istrinya. Mereka sudah selesai solat. Mario juga sudah mengecup kening Veni tanda sayangnya bukan tanpa nafsu. Walaupun, niat Mario tetap masih ingin membuat Bhiya cemburu dan kembali kepadanya. Setelah selesai Veni membereskan alat solatnya. Begitupun dengan Mario yang melepas sarungnya dan mengganti celana panjang. "Ayo, Mar aku laper banget." Veni kesal Mario lama sekali mengganti pakaiannya. Padahal, perutnya sudah lapar terakhir makan kemarin pagi apalagi tenaganya sudah habis semalaman bahkan sampai siang tadi baru selesai olahraga. "Sabar, Veni kamu suruh ke luar duluan enggak mau." "Aku lagi pengen makan mie ayam, Mar. Kira-kira enak ga ya kalau makan di luar sedangkan tadi pagi kita udah ngelewatin sarapan." "Ya kenapa enggak enak. Ya enakin aja. Kamu mau makan di luar?" tanya Mario yang sudah selesai dan siap ke luar kamar. Veni juga sudah siap dengan hijab panjang yang menutupi sebagian badannya. "Ya soalnya tadi pasti Mama sarapan sendiri aduh aku jadi enggak enak inu gara-gara kamu juga sih, Mar." "Ya kenapa udah santai aja. Mama aku aja santai." "Tapi akunya yang enggak enak." "Veni kamu udah jadi keluarga ini bukan lagi tamu jadi nikmatin aja kamu sebagai anaknya Mama kayak kamu lagi di rumah jadi anaknya Umi dan Abi kamu." "Tetep aja, Mario. Ih kamu tu enggak peka banget deh." "Wkwkw iya sayang iya...." Mario pun mengecup pipi istrinya dan menarik pinggang istrinya. "Stopp aku laper, Mario jangan sampe kamu ngelauin itu lagi." Veni menaruh tangannya di bibir Mario. Suaminya itu kenapa menyebalkan sekali. "Wkwkw iya-iya...." Mario pun mengajak Veni untuk ke luar kamarnya. *** Sampai di luar dia melihat Mama mertuanya sedang merajut, "Pagi, Ma," sapa Mario. "Pagi ... Pagi. Kamu lihat ini udah jam satu. Kamu ngapain aja baru ke luar." "Ah, Mama ini kayak enggak pernah penganten baru aja." Veni mencubit pinggang Mario membuat Mario meringis dan mengelus pinggangnya yang dicubit Mario. "Maaf, Ma. Tadi, aku sama Mario kesiangan jadi enggak sempet keluar pagi." "Ah enggak papa. Tadi, Mama sarapan sendiri aja soalnya Mama tahu mungkin kalian kecapekan. Biasanya kalau Mario kesiangan juga enggak pernah Mama bangunin karena Mario bakal marah." "Hehehe...." Veni hanya bisa tersenyum malu. "Enggak usah malu-malu, Ven. Mama juga pernah kayak kamu kok. Semoga aja cepet jadi ya biar Mama cepet gendong cucu. Pengen cepet-cepet gendong cucu tapi enggak dapet-dapet," ucap Mamanya lagi. "Aamiin, Ma," jawab Veni. "Yaudah gih makan. Kalau mau diangetin lagi minta bibi gih," ucap Mamanya. "Mama enggak makan?" tanya Veni. "Mama masih kenyang tadi Kakak kamu bawain Pizza. Masih ada tuh di meja kalau kamu mau," ucap Mamanya. "Veni lagi mau Mie ayam katanya, Ma. Jadi, aku mau ke luar aja beli mie Ayam," ucap Mario. Veni hanya tersenyum malu. Takut, mertuanya mengira dia tidak suka makanan rumah dan malah suka jajan. "Mama mau sekalian dibeliin enggak? Biar nanti pulang Mario bawain." "Enggak usah kamu makan aja berdua. Mama enggak pengen." "Yaudah, Mario pergi dulu ya, Ma." "Iya." Mereka berdua menyalimi tangan Dian. Dia melepaskan rajutan yang sedang dia buat. "Assalamualaikum, Ma. Veni pamit dulu ya." "Waalaikumsalam. Iya hati-hati." Veni dan Mario pun mengangguk. Mereka berjalan ke luar. Sampai di teras Mario baru ingat lupa membawa kunci mobilnya. "Kenapa, Mar?" tanya Veni. "Lupa bawa kunci mobilnya." "Ah kamu itu kebiasaan deh udah sampe sini juga." "Hehehe tunggu ya sayang...." Mario langsung saja masuk ke dalam. Veni duduk di kursi teras yang ada. Beberapa saat kemudian Mario datang. "Dah yuk berangkat." "Lama banget." "Lima menit aja gaada loh, Ven bisa-bisanya lama." "Ada semenit tapi," ucap Veni tidak mau kalah. Mario pun hanya mengangguk ngalah dan mereka pun masuk ke mobil dan pergi untuk mencari mie ayam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD