Q'time

3029 Words
"Aku belum mencintainya tapi bersamamu sudah mulai terasa nyaman apakah perasaan ini akan terus berlanjut?" *** "Sambelnya jangan banyak-banyak, Ven," ucap Mario mengingatkan Veni. Mario baru tahu kalau Veni suka pedas. Tapi, Mario sungguh takjub bahkan sepuluh sendok lebih Veni sudah memasukkan sambal ke Mie Ayamnya. Melihat hal tersebut membuat Mario bergidik ngeri. "Kalau enggak pedes enggak enak, Mar." "Aku aja udah tiga sendok pedes, Ven. Apalagi kamu yang udah sepuluh sendok lebih." "Kayaknya cabenya enggak pedes deh, Mar. Aku belum ngerasa pedes masa." "Kamu sebenernya mau makan mie ayam lake sambel atau sambel pake mie ayam. Biji cabenya aja udah segitu banyaknya, Ven. Udah-udah nanti perut kamu malah sakit," ucap Mario lalu mengambil sambal tersebut dari tangan Veni. Veni tersenyum dia memang suka pedas dan rasa mie ayam ini menurutnya kurang pedas walaupun kata Mario sudah terlihat pedas. "Iiiihhh Mario ... kamu Cobain dulu deh punya aku. Enggak pedes tahu...." "Gamau. Bijinya aja banyak gitu." "Wkwkw ... coba dulu kamu belum coba udah bilang bijinya banyak. Bijinya banyak kan kita gatau rasanya, Mar." "Enggak. Kamu mau ngeracunin aku ya." "Mana ada ngeracunin kamu aku juga makan. Ayo ... Mario aaaaa...." Veni menyodorkan garpu berisi mie ayam ke mulut Mario. Mario tetap kekeh menolak membayangkan bijinya yang banyak saja sudah membuatnya ngeri apalagi rasanya. "Gamau ... aku enggak suka pedes, Ven. Aku aja cuma pake sambel dikit." "Ahhh payah masa cowo kalah sama cewe. Berarti kamu enggak sefrekuensi sama aku." "Gapapa enggak sefrekuensi orang udah nikah juga," saut Mario. Veni tersenyum. "Pesen lagi aja deh. Itu enggak usah dimakan," ucap Mario. "Loh kenapa? Sayang Mario." "Iya aku tahu kamu sayang aku." "Ish enggak itu maksudnya. Kalau dibuang Mie ayamnya sayang." "Dari pada sakit perut." "Enggak udah biasa kok," ucap Veni lagi. Mario menggelengkan kepalanya. Bisa-bisanya Veni makan Mie ayam dengan sambal yang banyak. "Ngapain si, Mar ngelihatin aku. Mie kamu jadi medok tuh enggak dimakan-makan." "Pesen lagi aja, Ven aku lihatnya jadi ikut pedes." "Wkwkw ... enak kok...." Mario mengambil tissue untuk mengelap kening Veni yang mengucur keringatnya. Veni termenung dengan perlakuan Mario. "Kenapa diem aja? Kunyah nanti jadi cacing loh kalau engga dikunyah." Veni langsung mengedipkan matanya membuat Mario terkekeh. Pasti Veni sedang tersipu dengan perlakuannya. Perempuan gampang sekali dibuat nyaman. Padahal, hanya perlakuan biasa saja menurut Mario. "Kamu aja dari tadi enggak makan. Tu Mie kamu juga jadi cacing." "Habisan baru sekali lihat cewe makan pedes kayak kamu," kata Mario lagi. "Banyak kok kamu aja yang enggak tahu." "Hmmm ... iyadeh," jawab Mario mengalah lantas memakan Mienya sendiri. Veni melanjutkan makan Mienya juga. Setelah selesai makan mereka membayar makanannya dan pergi dari tempat tersebut, "Kita mau ke mana lagi, Ven?" tanya Mario. "Terserah kamu aja," jawab Veni lalu masuk ke dalam mobil. Di dalam mobil sampai mobil jalan Veni hanya diam saja. Dia bosan hingga Akhirnya dia memilih sibuk saja dengan ponselnya. "Ven kamu mau bulan madu enggak?" tanya Mario. Veni menengok ke arah Mario dia bahkan hampir lupa kalau mereka belum Bulan madu. "Mau ke mana?" "Terserah kamu. Ke mana pun aku ikut kok." "Mau dalam negri atau luar negri?" tanya Veni tanpa mempedulikan gombalan Mario. "Kamu belum pernah ke luar negri 'kan? Yaudah kita ke luar negri aja." "Tapi, Mama kamu gimana? Ditinggal?" "Diajak paling. Soalnya Mama ke mana-mana ikut." "Oh gitu." "Kenapa kamu enggak mau kalau Mama ikut? Kalau enggak mau ya enggak papa kita berdua aja," ucap Mario lagi. "Ya enggak papa sih. Terserah kamu aja." "Mau ke mana?" tanya Mario. "Ke Cappadocia paling." "Oh yang lagi hits selingkuhannya Mas Aris dibawa ke sana? Berarti kamu juga—" "Kamu ngatain aku selingkuhan kamu? Ooooh atau aku emang selingkuhan kamu?" "Wkwkw kamu itu cepet banget sih nyimpulin sesuatu." "Ya orang itu yang lagi hits kok diperbincangkan." Veni tertawa. Laki-laki ini bahkan lebih updari dari pada dirinya. "Gimana mau honeymoon enggak?" "Minggu depan aku udah mulai kerja, Mar. Kalau ke luar negri kayaknya enggak bisa." "Kamu masih kerja? Enggak mau berhenti aja." "Emm ... kamua nyuruh berhenti?" tanya Veni menengok ke arah Mario. "Ya enggak juga kalau kamu enggak mau juga ya enggak papa." "Emm ... nanti aja aku kita omongin lagi ya, Mar." Mario pun mengangguk. Tidak ada lagi pembicaraan antara mereka. Mereka juga hanya mengelilingi jalan sesekali singgah. "Ke rumah Abi sama Umi aja yuk, Mar." "Kamu mau kita ke sana?" tanya Mario. "Ya aku kan cuma ngajakin kalau enggak mau ya enggak papa." "Oke kita ke sana." Mario langsung saja memutar arah mobilnya. Karena arahnya saling berlawanan. *** Mereka sampai di rumah keluarga Veni. Veni mengambil makanan kesukaan Umi dan Abinya yang tadi di beli di jalan. "Assalamualaikum, Umi ... Abi...." ucap Veni mengetuk pintu rumah orang tuanya. Ah baru beberapa hari dia tidak tidur di rumah tapi sudah kangen dengan kedua orang tuanya. "Umi ... Abi...." panggil Veni lagi. Veni melihat ke arah jendela. Hordeng di jendelannya di tutup sepertinya memang tidak ada Umi dan Abinya. "Gimana ada?" "Tumben sore jam segini Umi sama Abi enggak ada," ucap Veni. "Paling lagi pergi sebentar." "Kita tunggu aja dulu ya," kata Veni meminta persetujuan Mario. Takutnya, nanti Mario nanti tidak mau menunggu dan meminta pulang saja. "Enggak papa sih. Coba di telepon." Veni mengangguk dan menelepon salah satunya. Panggilan yang anda tuju sedang tidak aktif. Cobalah beberapa saat lagi.... "Ga aktif." "Yaudah kita tunggu aja di sini." "Kamu enggak masalah?" tanya Veni. "Ya enggak emangnya kenapa orang rumah orang tua kamu juga kan rumah mertua aku." Veni tersenyum dan mengangguk bersyukur memiliki suami yang juga menyayangi keluarganya. Beberapa saat mereka menunggu Umi dan Abinya pulang. Mario dengan cekatan membuka gerbang agar mempermudah mertuanya masuk. Veni malah baru sadar kalau memang motor mereka tidak ada. "Eh kalian ... udah lama nunggunya?" tanya Uminya. "Umi sama Abi dari mana?" tanya Veni. "Kebiasaan kamu kalau ditanya balik nanya," ucap Uminya menggelengkan kepalanya. Mario dan Veni menyalimi tangan kedua orang tuanya. "Ya biasanya sore-sore gini Umi sama Abi di rumah. Veni belum lama kok, Mi. Baru dateng. Handphone Abi sama Umi kok enggak aktif." "Mati, nak. Ayo masuk...." Uminya mengajak mereka masuk ke dalam. "Gimana kabarnya, Bi?" tanya Mario berjalan beriringan bersama dengan Abinya sedangkan Veni berjalan bersama Uminya. "Alhamdulillah baik, nak. Gimana kabar keluarga juga." "Sama kok baik." "Kamu duduk aja gih, Ven di ruang tamu Umi ambilin minum." "Umi kayak ama siapa aja. Orang Veni anak Umi bukan tamu lho." Uminya tersenyum. "Ya temani suami kamu sama Abi kamu aja Umi yang siapin minum." "Enggak ah...." ucap Veni tetap mengikuti Uminya. Sampai di dapur Uminya meletakkan belanjaannya dari supermarket memang perlengkapan seperti sabun, sampo habis makanya Uminya berbelanja ke supermarket. "Umi duduk aja biar aku yang bikin minum." "Kamu ini disuruh kamu yang duduk aja." Uminya mengeluarkan barang-barang belanjaannya dan membereskannya. "Ada bolu caramel dari mana ni, Mi." Veni melihat bolu caramel kesukaannya di kulkas lantas langsung mencomotnya. "Kemarin bikin buat arisan." "Umi kemarin ada arisan kok enggak bilang aku siapa yang bantuin?" "Enggak kok. Orang cuma buatin kue aja itu buat Arisan di rumah bu Rt." "Ah Umi kan udah aku bilangin kalau ada acara gitu dibeliin aja dari pada Umi capek." "Mereka pada suka kalau Umi buat bolu caramel mereka malah nyaranin buat Umi buka pesenan aja." "No ... no ... no. Veni enggak setuju, Umi enggak boleh kecapekan. Tugas Umi cuma istirahat aja enggak usah capek-capek. Nikmatin masa tua Umi sama Abi aja. Biar Veni yang menuhin kebutuhan kalian." "Halah kamu ini. Umi juga buat kayak gitu enggak sering kok, Ven. Abi kamu juga kadang masih ngajar juga." "Abi kan udah pensiun ngapain masih kerja?" "Abimu bilang kadang di rumah bosen. Lagian enggak sering kok." "Yaudah enggak papa asal kalian jangan capek-capek," ucap Veni lagi. Abinya adalah seorang guru pensiunan. Tapi, kadang juga mengajar lagi di sekolah swasta mengisi waktu luang katanya. Padahal, sudah Veni ingatkan tidak perlu bekerja. Veni mau orang tuanya tinggal menikmati masa tua mereka saja. Biar dirinya yang bekerja. Tapi, dasarnya kedua orang tuanya itu tidak bisa hanya diam di rumah jadi ada saja aktivitas yang mereka lakukan. Setelah Veni membuatkan minuman untuk mereka. Veni membawanya ke luar. Uminya masih merapihkan belanjaan di belakang. "Ini minumnya." Veni mempersilahkan mereka untuk minum lantas Veni duduk di sebelah suaminya. "Kalian rencananya tinggal sendiri atau gimana?" tanya Abinya. Veni menengok ke arah Mario. Mario menyuruh Veni saja menjawab dengan tatapan matanya. "Tinggal di rumah Mario dulu sih, Bi untuk sementara ke depannya belum tahu." "Veni kalau di rumah Ibu mertua kamu jangan lupa suka bantuin masak." "Veni rajin kok, Bi kalau di rumah sana. Ya, lagian emang di rumah udah banyak pembantu juga. Kasihan kalau Veni ikut bantuin soalnya dia kerja juga." "Ven kamu enggak mau berhenti aja udah jadi istri juga 'kan?" tanya Uminya yang datang dari belakang. "Aku 'kan nikah baru berapa hari juga, Mi. Belum ada kesibukan yang banget jadi aku masih mau kerja aja. Toh, Mario juga bolehin yakan, Mar?" tanya Veni meminta pendapat dari suaminya. "Iya enggak papa kok kalau Veni masih mau kerja." "Veni ... Veni masa kamu manggil suami kamu pake nama." "Emang harusnya manggil apa, Mi?" tanya Veni balik. Mario hanya terkekeh. "Ya panggil sayang gitu atau Ayah ... Atau apa masa manggil nama," ucap Uminya lagi. Veni hanya diam saja lagi pula dari awal dia manggil Mario dengan nama jadi dia bingung kalau harus memanggil nama lain. "Tuh dengerin Umi panggil sayang...." Mario setuju dengan Uminya menggoda Veni. Mereka jadi tertawa lagi melihat Veni yang diam saja. "Oya kalian udah makan belum? Mau makan dulu enggak?" "Tadi aku habis beli Mie ayam, Mi." "Ahhh ... pasti pedes banget kan kamu kalau makan sambel kebiasaan kalau enggak ada Abi pasti kamu bar-bar an 'kan." "Iya, Mi. Astaga saya lihatin Veni aja udah kepedesan sendiri masa makan Mie ayam sambelnya sampe sepuluh sendok tapi enggak pedes katanya." "Aturan kalau dia lagi makan apa gitu, nak Mario dicegah pasti malemnya dia bakal sakit perut ke kamar mandi terus." "Abii...." rengek Veni. "Ya emang bener kan." "Abi doanya jelek. Lagian tadi sambelnya emang enggak pedes, Bi makanya aku ambil banyak." "Bohong, bi aku aja tiga sendok udah pedes. Kamu mah tadi beli sambel dikasih mie ayam bukan mie ayam pake sambel," saut Mario lagi. "Ish ... Mario kamu kok ngeselin si. Aturan kamu belain istrinya dong." "Ya kan aku jujur ditanya Abi." Veni mendengus bisa-bisanya suaminya senang kalau dirinya diceramahi sang Abi. "Kamu kalau enggak distop pasti bilangnya enggak pedes," saut Uminya lagi. Veni makin mengerucutkan bibirnya kala mereka jadi membully dirinya. "Iya-iya besok enggak lagi." "Kemarin-marin juga bilangnya enggak," jawab Uminya lagi. "Aaaaaa ... Umiii," rengek Veni. Mereka semua menggelengkan kepalanya sedangkan Mario tersenyum. Baru kali ini melihat sifat manja Veni. Biasanya dia pasti melihat Veni dengan sisi ketus dan sinisnya. *** Malam harinya mereka baru makan malam bersama. Veni mengatakan kepada Mario kalau sepertinya malam ini dia mau menginap di rumah Uminya dan Mario pun sedang berada di luar untuk telepon Mamanya kalau mereka tidak pulang jadi Mamanya tidak perlu menunggu mereka pulang. "Kamu mau tidur di sini, Ven? Mertua kamu enggak papa." "Itu lagi di telepon Mario di depan." "Ooh gitu." Veni mengangguk dan membantu Uminya menyiapkan makanan. *** Mario harus berdebat dengan Mamanya kala dia mengatakan harus menginap di sini. Padahal, biasanya juga Mamanya itu dia tinggal kenapa harus berdebat saat ini. "Ma Mario enggak bisa pulang ke rumah ya hari ini Mama tidur duluan aja enggak usah nunggu Mario." "Kamu tidur di mana emangnya?" "Dirumah keluarganya Veni, Ma. Veni minta tidur di sini tadi kita mampir terus Veni minta tidur di sini." "Kenapa harus tidur di sana baru juga pisah berapa hari masa udah balik lagi ke sana. Apa kalian berencana tinggal di sana dan ninggalin Mama sendiri lagi kayak kakak kamu." "Enggak, Ma. Kita tidur di sini paling cuma malam ini doang. Besok juga udah pulang lagi kok." "Ya kenapa enggak pulang aja lagian baru berapa hari kok tinggal di sini." "Mariooo ... ayo makan," panggil Veni. "Iya, Ven sebentar," jawab Mario. "Suara istri kamu itu?" "Iya, Ma. Udah dulu ya. Aku mau makan." "Mario ... Mama belum selesai bicara. Kamu kan bisa ngajak Veni biar pulang aja. Ngapain sih nginep di sana segala baru juga nginep di sini berapa hari masa mau balik ke orang tuanya lagi." "Udah dulu, Ma. Mario tutup." Mario langsung mematikan ponselnya sepihak. Dia malas berdebat panjang dengan Mamanya. Mario berjalan ke meja makan di sana sudah pada berkumpul menunggu Mario. "Lama banget sih, Mar. Udah pada laper juga kita," saut Veni dengan sinis. "Veni...." ucap Abinya mengingatkan Veni. "Lagian dia lama banget teleponan sama siapa si. Masa telepon sama Mama lama. Paling juga Mama langsung bolehin 'kan," ucap Veni kesal. Padahal, Veni tidak tahu kalau tadi Mario harus berdebat dulu dengan Mamanya hanya perihal nginap di sini, "Iya maaf tadi temenku juga telepon soalnya." Mario duduk di samping bangku Veni. "Yaudah-udah. Ayo kita makan," Abinya memimpin doa untuk mereka makan. Setelah selesai mereka langsung makan bersama. *** Mereka tidur di kamar Veni sebelum menikah. Kini jam menunjukkan pukul dua belas malam. Veni merasakan perutnya yang tiba-tiba sakit. Dia lantas bangun dari tidurnya dan ke kamar mandi. Untung saja kamar Veni ada kamar mandi jadi tidak perlu ke luar kamar. Dulu, memang Veni sengaja membuat kamar mandi di dalam kamar karena setiap dia habis makan pedas seperti ini dia pasti bolak balik kamar mandi sehingga dari pada orang tuanya tahu dia pun memanggil tukang untuk membuat kamar mandi di dalam kamarnya serta memperluas kamarnya lagi. Setelah selesai Veni ke luar dari kamar mandi dan kembali tidur. Tapi lima menit kemudian perutnya kembali mules dan membuatnya harus bangun lagi dan menuju ke kamar mandi. "Aish sakit banget perutku," ucap Veni memegang perutnya. Veni terus bolak-balik kamar mandi sampai empat kali membuat Mario pun akhirnya terbangun karena kasur yang terus bergerak. Mario pun duduk sambil mengucek matanya. Melihat istrinya baru ke luar dari kamar mandi. "Kamu ngapain, Ven dari tadi naik turun kasur." "Kebangun ya, Mar? Maaf ya...." "Ngapain ke kamar mandi terus?" tanya Mario lagi dengan raut wajah yang mengantuknya. "Perut aku sakit, Mar. Dari tadi udah bolak-balik ke kamar mandi terus." "Tuhkan apa yang dibilang Abi bener. Kamu si dibilangin jangan makan pedes." "Ish kamu enggak usah ngoceh deh perut aku lagi sakit tahu. Dah ah." Veni bangkit lagi dan menuju ke kamar mandi. Mario menggelengkan kepalanya dia bangkit dari kasur dan ke luar kamar. *** Mario menuangkan air hangat di gelas untum Veni. Entah kenapa dia kasihan melihat Veni yang bolak-balik ke kamar mandi terus padahal dia bukan tipikal orang yang peduli. Jangan bilang dia sudah cinta dengan istrinya itu. Tidak ... tidak. Tidak boleh. "Mario ngapain kamu tengah malem bangun?" "Ngambilin air anget buat Veni, Mi." "Veni sakit?" tanya Uminya. "Dia diare bu ke kamar mandi mulu. Ibu ada obat diare?" tanya Mario. "Ah anak itu. Sudah Umi duga bukan kalau habis makan pedes pasti bolak-balik ke kamar mandi. Tunggu sebentar Umi ambilin obat yang biasanya dulu." "Iya, Mi makasih ya," ucap Mario lalu Uminya pergi meninggalkan Mario untuk mengambil obatnya. Mario duduk di kursi menunggu Uminya. Beberapa saat kemudian Uminya datang dengan membawa obat, "Ini kasih aja ke dia nanti dia tahu sendiri. Biasanya kaalu diare dia Umi minumin ini soalnya." Uminya menyodorkan obat kepada Mario. "Oke, Mi. Makasih ya. Umi jam segini bangun ngapain?" "Umi emamg jam segini bangun solat tahajud. Umi kira tadi ada maling jadi langsung ke sini." "Hehe ... maaf ya, Mi jadi ganggu Umi." "Gapapa, nak yaudah gih kasih ke Veni." "Iya, Mi makasih ya sekali lagi." "Iya." Kamar Uminya memang dekat dengan ruang makan jadi jika terdengar sesuatu pasti terdengar apalagi Uminya tadi memang terbangun. *** Mario masuk ke kamarnya, Veni sudah di kasur memegangi perutnya membuat Mario jadi merasa kasihan. "Masih sakit?" tanya Mario menunduk melihat Veni yang duduk di kasur. "Heem. Kamu dari mana?" "Ambil air hangat terus tadi ketemu Umi kamu sekalian ngasih obat diare." "Ah pasti besok aku kena oceh deh gara-gara kamu." "Ya dari pada kamu kesakitan bolak-balik kamar mandi. Udah ini minum dulu terus obatnya diminum juga." Mario menyerahkan obatnya ke Veni. Veni pun meminum air hangatnya dan meminum obatnya. "Nih." Veni menyerahkan air hangatnya ke Mario lantas Mario meletakkannya di meja kamar mereka. "Masih sakit perutnya?" tanya Mario. Veni mengangguk. Mario bangkit lantas mengambil minyak telon. "Mau ngapain?" tanya Veni saat Mario membuka kaosnya. "Katanya masih sakit ini dibalurin minyak telon biar sakitnya berkurang," jawab Mario. Veni merasa deg-degan saat Mario menyentuh perutnya. Rasanya malah seperti ada kupu-kupu yang hinggap diperutnya kala tangan Mario mengelus perutnya itu. *** Mario POV Mario berusaha menahan dirinya untuk tidak menyerang Veni. Perut Veni yang mulus membuatnya sangat ingin melakukan lebih. Veni hanya terdiam kala dirinya mengelus perut lembut istrinya. Entah kenapa elusannya seakan menginginkan semakin naik. Mario mendongak matanya mengunci pandangan Veni hingga gadis itu terpaku dengannya. Mario sedikit bangkit namun tetap mengelus perut istrinya. Wajah istrinya Manis seakan sayang untuk dilewatkan. Dia pun mulai menempelkan bibirnya di bibis istrinya. Mulai menggerakannya membuat istrinya pun terbawa oleh permainannnya. *** Veni menarik nafasnya dalam-dalam. Mario semakin lebih melakukannnya. Saat terlepas. "Mar...." "Hm?" Veni tidak bisa menjawab lagi ucapan Mario. Mario pun melanjutkan lagi aktivitasnnya lebih. Veni hanya diam saja. Tangannya mulai naik mengalungkan ke leher suaminya. Tapi.... Saat Mario mulai menidurkan istrinya tiba-tiba.... "Mario sakit...." "Sakit ... Apanya yang sakit?" tanya Mario yang langsung bangun dan menghentikkan aktivitasnnya. Padahal, dia sudah sangat menginginkannya tapi rintihan Veni sakit membuatnya langsung khawatir. "Perut aku sakit...." "Masih sakit? Sakit banget enggak?" tanya Mario mengelus perut Veni lagi. "Heem." "Masih mau ke kamar mandi?" tanya Mario. Veni menggelengkan kepalanya, "Udah enggak pengen tapi perutnya jadi sakit kayak ditusuk-tusuk rasanya." Mario pun bangkit mengambil lagi minum di meja tadi. Setelah itu menyuruh Veni duduk karena posisi Veni yang tadi tiduran. "Minum dulu," ucap Mario lalu mengelus lagi perut Veni. "Besok enggak usah makan pedes lagi. Aku enggak mau lihat kamu bolak-balik ke kamar mandi lagi kayak gini." Veni tersenyum. "Tuhkan kalo dibilangin malah senyum-senyum. Awas aja kalau gini lagi." "Tapi, enak." Mario memutar bola matanya malas, "Bukan masalah enaknya pikirin sakitnya ini juga, Ven." "Iya-iya," jawab Veni setelah memberikan gelasnya ke Mario entah setan dari mana Veni langsung memeluk leher Mario dan membenamkan wajahnya diceruk leher Mario. Sedangkan kini gantian Mario yang terdiam dengan kelakuan istrinya itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD