Perlakuan Tiba-Tiba

2069 Words
"Jalani yang ada sehingga apapun yang terjadi mudah diterima." *** "Emm ... Ven tadi pagi makasih ya udah bantuin ngomong ke keluargaku," ucap Mario sambil berjalan mengajak Veni ke kebun teh. "Iya." Veni menjawab singkat. Bibirnya ingin sekali mengatakan ke mana suaminya itu semalaman dan baru pulang pagi. Padahal, dia sudah menunggu semalaman bahkan sampai dia harus kesiangan solat subuh. "Kamu enggak nanya aku ke mana?" tanya Mario lagi. "Emang harus aku nanya?" tanya Veni balik tanpa memandang Mario. "Akutuh pengen banget nanya kamu ke mana! Tapi, gengsi tahu enggak. Dasar cowo enggak peka!" batin Veni. "Ck ... cuek banget. Jadi, bingung sendiri kan gue ngomongnya," batin Mario. Mereka berdua terhanyut dalam pikiran masing-masing. Saling gengsi menyuarakan isi hati. Mereka berdua malah berharap kalau ada alat yang bisa mendengar isi percakapan hati mereka. Agar tidak perlu canggung seperti ini. "Ven...." panggil Mario. Padahal, sebelum menikah Mario gencar sekali menggoda Veni tapi kenapa setelah menikah rasanya canggung sekali dengan wanita ini. Hawa cuek dan dingin mendominasi membuat sekeliling menjadi terlihat awkward. "Ya?" jawab Veni. "Emm ... enggak jadi deh." "Kenapa? Tadi mau ngomong apa?" tanya Veni lagi. "Ah enggak kok. Em anu semalem tidur kamu nyenyak kan?" Duh ... Mario ... Mario kenapa malah nanya gitu, pasti jawabnya nyenyak lah. Malah enak enggak ada gue kan. "Nyenyak kok." Nahkan apa gue bilang pasti Veni bakal jawab nyenyak pas enggak ada gue. "Ah ... ngeselin banget si Mario. Pengen nyesel nikah sama kamu tapi udah jadi suami kamu!" batin Veni berontak. "Oh bagus deh kalau tenang." "Nanti malem pergi lagi?" tanya Veni. Veni sebenernya tidak.bermaksud nanya itu. "Emm ... kan nanti sore kita pulang ke rumah Mama." "Kita belum ada rumah ya, Mar?" tanya Veni. "Belum. Aku bakal sering kerja entar kalau kamu sendiri di rumah kasihan jadi mending di rumah Mama aja. Kadang Bhiya sama Mas Marvel juga di sana kok. Lagian kumpul kan juga lebih enak," ucap Mario panjang lebar. "Tapi, apa sebaiknya enggak di rumah aja sendiri. Kalau di rumah sendiri kan—" "Kamu mau kita cuma di rumah sendiri aja enggak mau tinggal sama keluarga aku?" potong Mario. "Ya enggak gitu juga. 'Kan kita udah nikah jadi menurut aku mending kita di rumah sendiri aja." "Nanti deh aku pikirin lagi masalah itu." Veni pun mengangguk. Mereka pun berjalan lagi tanpa ada obrolan di antara mereka. Veni jadi merasa bersalah harus menayakan hal tersebut. Kenapa juga Dari sebelum nikah Veni tidak bertanya jadi tidak perlu ditanya di saat seperti ini. *** Sore harinya mereka sudah bersiap untuk pulang ke rumah Mario dan keluarga besar. Veni sudah membereskan semua pakaiannya. Begitupun dengan yang lainnya. Mario membawa mobil bersama Veni dan Mamanya. Sedangkan Marvel dan Bhiya berada di mobil Marvel bersama Tante dan Neneknya serta ada keponakannya juga. "Udah semua 'kan enggak ada yang ketinggalan lagi?" tanya Marvel. "Enggak kayaknya. Yaudah ayo pulang." Veni berkali-kali melihat hubungan Mario dengan keluarga Marvel seperti tidak baik apakah ada masalah di antara mereka. Karena melihat setiap mereka mengobrol suaminya itu tidak pernah menunjukkan sikap baiknya. Mereka pun masuk ke dalam mobil masing-masing. "Veni kamu di belakang aja ya, Mama suka mabok kalau duduk di belakang soalnya," ucap Dian mertuanya yang memilih duduk di samping Mario sedangkan dirinya harus di belakang sendiri. "Iya, Mah." Tapi, Veni lebih memilih mengalah. Dia tidak mau menolak permintaan Mama mertuanya dan dipandang sebagai menantu yang kurang ajar. "Yaudah yuk masuk." Mario masuk lebih dulu ke mobil dan diikuti Mama dan juga Veni. Di dalam mobil, Veni seperti kambing conge yang harus mendengarkan kedua orang di depannya bercengkerama sedangkan dirinya diacuhkan. Sebenarnya apa mertuanya itu tidak setuju dengannya. Semakin hari terlihat cuek kepadanya atau cuma perasaan Veni saja. "Jadi, Mar kapan kamu mau ngasih momongan buat Mama." "Em secepatnya kok, Ma. Mama sabar aja ya." "Tapi, kamu tetep tinggal di rumah 'kan enggak usah tinggal di rumah sendiri. Lagian rumah kita besar cukup untuk kita di sana aja. Dari pada Mama tinggal sendiri. Apalagi Marvel yang udah punya rumah sendiri kadang tidur di rumahnya. "Justru itu, Ma. Veni minta tinggalnya di rumah sendiri aja." Mario kini melemparkan perbincangan itu kepada Veni. Dian pun menoleh ke arah Veni. Veni jadi gugup sendiri. "Kamu mau di rumah sendiri aja ya, Ven sama Mario? Kamu enggak suka ya tinggal sama Mama aja?" tanya Dian kepada Veni. Mario bukannya.membantu malah diam saja dan menyerahkan jawaban ini kepada Veni. Menyebalkan. "Emm ... tadinya gitu, Ma. Biar kita mandiri aja. Tapi, kalau emang kita punya rumah sendiri juga kita bakal sering pulang ke rumah Mama kok." "Enggak usah lah, Ven. Bhiya juga dulu ngomongnya gitu, tapi dia sibuk kerja, Marvel juga jadi jarang ke rumah Mama. Apalagi kamu kerja juga. Apa enggak kamu berhenti kerja aja terus tinggal sama Mama enggak usah lah beli rumah-rumah sendiri. Pertama boros yang kedua rumah Mama juga kan udah gede masa yang nempatin cuma Mama sendiri," jelas Dian. Veni tidak setuju sebenarnya. Dia canggung kalau harus tinggal bersama mertuanya. Bahkan dirinya saja tidak tinggal bersama keluarganya sendiri ya memang sih istri harus menuruti suami tapi seharusnya suaminya juga mengerti dirinya. "Ehmm ... apa enggak sebaiknya kami cari rumah yang setidaknya dekat dengan Mama aja? Kita enggak bakal cari rumah yang jauh kok, Ma." "Mau jauh atau enggak pasti tetep jarang ke rumah. Mario ini kan anak terakhir dulu dua juga kuliah di luar negri jarang di rumah. Eh baru di rumah berapa tahun ini udah nikah lagi masa mau ditinggal lagi," ucap Dian. Veni tersenyum masam dan terpaksa. "Ma mungkin Veni juga malu, takut ngerepotin kalau tinggal sama Mama," ucap Mario. "Emang iya, Ven?" tanya mertuanya lagi. "Ehm ... iya, Ma." "Enggak ngerepotin kok. Malah entar Mama seneng kalau emang kamu mau tinggal sama Mama." "Aku ikut Mas Mario aja deh, Ma." Veni tidak mau dicecer terus jadi lebih baik dia menyerahkan ke suaminya aja. "Mario gimana?" tanya Mamanya lagi. "Nanti dibahas lagi, Ma. Kita udah nyampe di restaurant nih Mas Marvel udah berhenti Noh di depan. Jadi, dibahas nanti aja." "Tapi bener ya kamu tinggal di rumah Mama aja sama Veni," paksa Dian. "Iya nanti aku omongin dulu sama Veninya. Ayo turun," ucap Mario saat mereka berhenti di sebuah rumah makan seafood yang masih adem tempatnya. "Ayo kita turun aja." Mario turun lebih dulu. Veni dengan Dian turun bersama. "Ven kalau kamu udah mau bujuk suami kamu ya biar mau tinggal sama Mama. Dia tu susah banget kalau suruh tinggal di rumah. Dia dari dulu udah jarang tinggal sama Mama semenjak Papanya meninggal. Seringnya ngerantau mulu. Kamu kalau bisa bujuk Mario ya," ucap Dian saat berjalan bersama dengan Veni. Hati Veni sebenarnya tidak rela. Dia yang meminta untuk tinggal di rumah sendiri dan tidak satu rumah dengan mertua. Pasti akan berat ke depannya kalau dia tinggal bersama mertua. "Ven kamu kok bengong? Kamu juga enggak mau ya tinggal sama Mama?" tanya Dian. "Iya, Ma nanti Veni coba bilang ke Mas Mario ya...." "Bujuk ya kalau bisa, Ven." Veni mengangguk dan tersenyum dia mencoba untuk menghargai Mama mertuanya mungkin mertuanya merasa kesepian dan ingin selalu bersama dengan suaminya yang dulunya jarang di rumah. Mereka makan di rumah makan seafood bersama keluarga besar. Veni duduk diapit oleh Dian dan juga Mario. Di depannya keluarga besar Mario. Dia jadi rindu dengan orang tuanya yang tidak ikut. Karena sejak selesai acara orang tuanya malah memilih pulang seharusnya orang tuanya ada jadi dirinya tidak perlu merasa canggung saat ini. "Ven kamu makan yang banyak ya. Biar subur rahim kamu biar cepet punya anak juga. Pengen cepet-cepet gendong cucu, Mama," ucap Dian. "Iya, Ma. Aamiin...." Veni mendesah bagaimana bisa dia hamil kalau suaminya saja belum melakukan hubungan itu kepada dirinya yang entah kapan itu akan dilakukan. Bukan Veni ngebet tapi ahhh sudahlah berhenti berfikiran aneh-aneh. *** Malam harinya mereka sudah di kamar rumah mereka. Mario sudah memakai celana pendek. Dalam hati Veni apakah suaminya akan pergi lagi atau tidak. "Emm ... kamu enggak pergi lagi, Mar?" tanya Veni. "Kamu mau aku pergi aja?" "Ya enggak gitu sih. Kemarin kamu pergi soalnya aku kira kamu bakal pergi lagi." "Kemaren ada urusan soalnya jadi aku pergi dan baru pulang pagi. Lagian tidur kamu malah nyenyak juga kan enggak ada aku." Veni pun mengangguk walaupun bohong semalaman dia menunggu suaminya tapi tidak pulang juga. "Sekarang kayaknya aku di rumah aja. Kalau ketahuan pergi malem ini malah aku habis entar. Gimana soal tadi siang?" "Soal apa?" tanya Veni yang lupa. "Soal kita mau tinggal di mana setelah ini." Veni mengangguk. Dia juga bingung harus tinggal di mana. Apakah menuruti mertuanya atau memilih pilihan sendiri. "Menurut kamu maunya tinggal di mana?" tanya Veni gantian. "Aku ikut kamu aja," jawab Mario lagi. "Ikut aku beneran? Tapi, Mama nyuruh kita tinggal di sini gimana? Aku sih pengennya kita tinggal di rumah sendiri enggak ikut sama mertua bukan masalah apa ya seperti yang aku bilang waktu di kebun teh aku pengen Mandiri," jawab Veni. Dia sudah mulai nyaman sedikit berbicara dengan Mario. "Yaudah di rumah sendiri aja nanti kita cari rumah terus langsung kita bayar." "Eh tapi Mama maksa aku buat kita tinggal di sini. Emang kamu dari dulu enggak pernah ya tinggal di rumah kata Mama kamu?" "Enggak. Aku lebih sering tinggal di luar negri." "Kenapa?" "Ya enggak papa. Kuliah aja nyari yang Bagus jadi ke luar negri." "Tapi, di sini juga banyak kok yang bagus." "Yaudahlah kita enggak perlu bahas itu. Kan permasalahan kita tadi rumah kita mau tinggal di mana." "Ya itu masuk ke permasalahan, Mar. Soalnya karena kamu dulu jarang tinggal di rumah jadi Mama pengen kamu yang tinggal di rumah. Kakak kamu kan udah punya rumah sendiri sedangkan dia jarang ke rumah ini. Mama kesepian katanya." "Yaudah kalau gitu tinggal aja di rumah," ucap Mario lagi. Veni menghela napas tidak terima seharusnya Mario berpendirian bukan malah ikut dengannya. "Kenapa? Katanya kamu mau tinggal di sini aja sama Mama." "Ya tapikan. Masa kamu enggak ada alasan atau apa gitu." "Kamu maunya gimana?" tanya Mario lagi. "Yaudahlah enggak jadi. Terserah kamu aja aku ngantuk mau tidur." "Kamu enggak setuju?" tanya Mario yang melihat Veni malah bangkit untuk tidur. "Setuju." Jawaban singkat itu seharusnya Mario paham kalau wanita mengatakan iya artinya tidak. Tapi, dasar laki-laki tidak pernah peka dengan perempuan. "Oke kita tinggal aja di rumah enggak perlu beli rumah baru jadu uangnya ditabung aja. Gimana?" tanya Mario yang melihat Veni membelakangi dirinya. "Hmmm ... dah ah Jan berisik aku mau tidur capek." "Oke entar malam aku bilang sama Mama kita bakal tinggal di sini." "Hmmm...." "Aku ke luar dulu. Kamu tidur aja duluan." Veni tidak menggubris ucapan Mario. Dia tetap memejamkan matanya dan pura-pura tidur. Setelah pintu tertutup dia menunggu beberapa saat lagi. Dan Veni pun duduk sepertinya Mario sudah tidak ada di sini. "Ahhh ... dasar Mario menyebalkan kenapa sih laki-laki itu ngeselin banget. Enggak peka, nyebelin, lagi-lagi aku ditinggal. Bukannya istrinya di tungguin kek." Veni mendumal kesal dan memukul bantal yang dibawanya. Beberapa saat kemudian Mario membuka pintu kamar mereka. "Aduh...." Mario kaget saat membuka pintu kamar sudah dihadapkan dengan bantal yang mengenai wajahnya. "Eh ... Mario...." Veni bangkit menuju ke Mario lantas mengambil bantal tersebut. "Kamu ngapain lempar-lempar bantal, Ven?" "Maaf, Mar. Anu ... tadi soalnya lagi. Eh Enggak papa kan?" tanya Veni lagi. "Enggak papa. Kamu marah aku tinggal ke luar?" tanya Mario sambil menutup dan mengunci pintu kamarnya. "Enggak kok ngapain juga aku kesel. Lagian Bagus dong kamu enggak ada." "Bagus tapi kok bantal di lempar ke aku. Kamu marah aku tinggal." goda Mario lagi dan Veni malah semakin malu. Kenapa juga Mario kembali di saat dia kesal. Aduh mati Veni menjatuhkan harga dirinya. "Enggak kok. Tadi aku lagi coba lempar-lempar aja nyoba bantalnya enak enggak," ucap Veni mengalihkan pandangannya dan berbalik badan meninggalkan Mario. Mario tersenyum penuh arti entah keberanian dari mana. Saat melihat Veni yang terlihat emm seksi. Dia jadi ingin mendekati wanita tersebut. Dia berjalan mendekati Veni. Veni merasa Mario di belakangnya mengikutinya jadi deg-deg an, "Mario. Kamu ... kamu...." "Ven ... malam ini kamu cantik banget...." puji Mario. Veni malah bergidik ngeri mendengar ucapan Mario. "Mario ... kamu sadar 'kan?" tanya Veni benar-benar gugup. Glek.... Mario memeluk Veni dari belakang. Veni benar-benar kaget tapi tubuhnya tidak bisa bergerak untuk menolak atau pun menghindar. Ada apa dengan perasaannya kali ini. Nafas Mario sangat terasa di tengkuk lehernya membuat dirinya sangat sensitive. "I want you, Ven...." bisik Mario di kuping Veni dan menjilat kuping Veni membuat Veni merinding tapi tubuhnya tidak bisa bergerak karena terlalu terkejut dengan perlakuan Mario yang tiba-tiba.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD