Chapter 10 - Bukan Bocah Laki-laki Biasa
“Ada apa?” tanya Lucas penasaran karena mobil yang mereka kendarai mendadak mogok.
Lily merasa lega karena mobil tua itu sanggup bekerja sama untuk membatalkan rencana mereka.
“Entahlah. Sepertinya mobil ini mogok.”
Lucas mengeluh, “Huh, kenapa sih dia harus mogok di hari penting seperti ini.”
“Maafkan Mama ,Lucas. Sepertinya kita batalkan saja rencana kunjungan kita ke Unitu Coorporation.”
“Tidak bisa!” sergah Lucas, merasa kesal sekaligus kecewa. Wajah bocah itu memerah menahan emosi yang ditahannya sejak tadi.
“Terus bagaimana? Mama tidak tahu bagaimana hari memanggil montir?”
Mata Lucas menyipit tajam, menatap ibunya. “Biasanya kau selalu punya seribu cara memecahkan masalah kita, Ma? Mengapa mendadak kau menyerah begitu saja, hah?” Lucas menaruh curiga padanya.
“Terus aku harus bagaimana, Luc? Kau tahu keterbatasanku, ‘kan? Aku tidak selalu bisa menjadi superwoman-mu!” Lily hanya berusaha menghilangkan kecurigaan putranya.
“Cih, padahal kau selalu mengatakan kalau dirimu superwoman,” komentar Lucas, sangat kecewa.
Meski harus mengalami kesulitan, Lily merasa lega karena ia tidak harus pergi membawa Lucas ke Lucas lainnya. Entah ia harus meratapi nasib atau bersyukur karenanya.
“Maafkan, Mama.” Lily menatapnya penuh penyesalan. “Ya sudahlah, mau diapakan lagi. Namanya juga musibah. Sekarang tolong pinjamkan aku ponselmu.”
“Ponselku? Untuk apa?”
“Aku butuh ponselmu, Ma!”
Lily terpaksa memberikan ponselnya pada Lucas. Dengan mudah Lucas menekan layar di ponsel dan berusaha menghubungi seseorang.
“Halo, Papa? Papa tolong Mama dan Luc di sini.”
“Ada apa?” sahut Nathan di ujung panggilan telepon.
Lucas kemudian menceritakan kesialan yang dialaminya dan ibunya. Sehingga Nathan tentu saja akan selalu di agar menyelamatkan mereka berdua bahkan jika ia harus menyelam ke dasar laut sekali pun. Karena bagi Nathan, Lucas dan Lily adalah segalanya.
“Ini sudah.” Lucas menyerahkan ponsel Lily kembali.
Lily menatap putranya sambil mengerjapkan matanya berulang kali. Ia seperti menemukan sosok pria dewasa yang terperangkap dalam tubuh putranya.
“Lucas?”
“Hm, apa?” sahut Lucas, malas.
“Dari mana kau bisa mendapatkan ide menelepon Papa Nath?”
“Seharusnya kau yang memiliki ide itu, Ma. Tapi tidak masalah, anggap saja aku menolong kita berdua hari ini dari kesialan.”
Lily menatap takjub ke arah putranya yang sikapnya di luar nalarnya. Lucas semakin dewasa. Apalagi gaya bicaranya yang semakin lugas. Sama sekali tidak terlihat dia seperti anak laki-laki berusia lima tahun yang begitu tergila-gila dengan program komputer, hingga bercita-cita menjadi programer dan hacker hebat, suatu hari nanti.
***
Tidak berselang lama, Nathan akhirnya datang membawakan bantuan yang dibutuhkan. Dia memanggil montir untuk mengecek kondisi mobil mereka.
“Ada apa?” tanya Nathan saat menemukan mobil mereka terparkir di pinggir jalan. Lucas dan Lily, duduk di dalam mobil yang mogok.
“Entahlah. Aku tak tahu apa yang terjadi pada mobilku,” ujar Lily bingung. Dia sudah membuka kap mobil tapi tidak menemukan kerusakan di mana pun.
“Tenang saja, aku membawa montir handal bersamaku. Kau tak perlu cemas.”
“Terimakasih, Nath. Entah apa yang akan terjadi padaku jika kau tidak datang.”
“Seharusnya kau bilang padaku lebih awal. Ada apa dengan Lucas?” Nathan melirik ke bocah laki-laki yang mendadak diam seribu bahasa. Biasanya Lucas akan selalu antusias menyambut kehadirannya. Tapi kali ini sedikit berbeda. Lucas terlihat murung.
“Dia kecewa karena batal kunjungan ke tempat favoritnya.”
“Begitukah?”
Lily mengangguk.
“Bagaimana kalau kuantarkan dia ke tempat kunjungan itu?” Ide Nathan membuat Lily bergidik.
Baru saja Lily menampik idenya, Lucas telah lebih dulu mendengarnya. Bocah itu seketika antusias. “Benarkah, Pa?”
“Tentu saja!” Nathan mengangguk yakin. Entah Lily harus berterima kasih padanya atau justru mengutuknya. Karena Nathan secara tidak langsung membawa Lucas pada ayah kandungnya.
Tapi bukan Nathan yang seharusnya disalahkan, melainkan dirinya. Sejak awal dia harusnya mencari tahu tujuan kunjungan mereka, sehingga dia sudah menolak rencana Lucas dari semula.
“Apa tidak apa-apa membiarkan mamamu sendirian menunggu mobil?” Nathan meminta izin Lucas.
Saat itu Lily berharap Lucas akan peduli padanya seperti biasanya. Namun harapannya musnah saat mendengar putranya meninggalkan sendiri bersama mobil mereka yang mogok.
“Kalau begitu tunggu apa lagi, Pa? Ayo kita berangkat sekarang!” Lucas mengambil ranselnya. Menaruhnya di jok belakang. Dia lantas duduk manis di kursi penumpang. Lily dan Nathan tersenyum melihat semangatnya yang muncul tiba-tiba.
Tak memiliki pilihan, Lily terpaksa membiarkan mereka pergi ke perusahaan tempatnya bekerja.
“Kalau begitu, aku pamit dulu ya? Jika ada sesuatu yang mendesak. Jangan sungkan hubungi aku.”
“Baiklah.” Lily melambaikan tangan ke arah mobil yang perlahan melaju meninggalkannya.
“Semoga Lucas tidak menyadari siapa lelaki itu,” harapnya dalam hati.
***
Lucas dan Darren sibuk mencari sosok yang mereka tunggu sejak awal. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas siang, tapi mereka tidak menemukan tanda-tanda keberadaan Lucas maupun Lily.
“Sepertinya Au dan Lily, memang orang yang berbeda.” Darren menyimpulkan pemikirannya.
Lucas hanya terdiam sambil terus memperhatikan para karyawannya mengenalkan program yang sedang mereka jalankan di perusahaan pada para siswa. Terlihat mereka sangat tidak antusias mendengar penjelasan sang karyawan.
“Aku datang, maaf aku terlambat.” Lucas mendadak muncul di ruang pertemuan. Napas terengah-engah. Sepertinya bocah itu baru saja berlari menuju ruangan ini.
Semangat Lucas seketika bangkit melihat Lucas kecil akhirnya datang. “Lucas, tidak seharusnya kau berlari-lari seperti itu!” tegur seorang lelaki berwajah tampan yang mengejarnya. Lelaki itu terengah-engah, sama seperti Lucas. Sepertinya dia kesulitan berlari mengejar bocah itu.
Lucas menyeringai lebar, “Maafkan Lucas, Papa Nath. Lucas takut acara sudah selesai.”
“Halo, Bro!” Lucas menghampiri Lucas dewasa dan menyapanya seperti biasa.
Ucapan Lucas seketika membuat semua orang di ruangan terkejut, begitu pula guru-guru Lucas yang tengah sibuk mengatur anak didik mereka.
Wajah Nathan seketika pias mendengar Lucas memanggil nama pria itu dengan santai. Seolah-olah, dia bocah kurang ajar yang tidak pernah dididik untuk berkata sopan pada orang yang lebih tua.
“Ma-af atas ucapan Lucas tadi. Tidak biasanya bahasanya sevulgar itu.” Nathan bergegas menghampiri, mewakili Lucas meminta maaf. “Kau?” Nathan terkejut melihat wajah lelaki itu. “Damian?”
Damian tersentak saat menyadari lelaki itu mengenalnya. Lucas melirik tajam ke arahnya, “Siapa kau?”
“Ah, perkenalkan aku Papa Lucas. Namaku Nathan. Tapi seharusnya kau mengenalku, ‘kan? Mengingat hubungan kita yang nyaris menjadi saudara.”
“Apa maksudmu?” Lucas bertanya-tanya.
Nathan tersenyum miring, “Tentu saja lelaki dingin dan arogan sepertimu bahkan takkan mengenali siapa saudara calon istrimu. Tak heran, kau bahkan tidak menghadiri upacara pemakaman tunanganmu.”
“Rose?”
“Tentu saja. Apa kau punya tunangan lain selalu sepupuku?”
Lucas tersenyum miring, sengaja mengejek. Jelas lelaki ini bukan rekan seperti yang ia bayangkan. “Lalu apa urusannya dengan sepupu sepertimu?”!balas Lucas, lantang.
“Tentu saja. Karena aku takkan membiarkanmu menghancurkan hidup orang lain.”
“Kau pikir hidup Rose hancur karenaku?”
“Tentu saja. Mengingat betapa dingin dan kejamnya dirimu sebagai seorang tunangan bahkan di hari pemakamannya.”
Lucas menatap dua pria dewasa yang tengah berdebat di hadapannya. “Apa kalian saling mengenal?”
“Tidak!” seru keduanya serempak. Lucas tersenyum tipis, seraya mengangkat bahunya acuh tak acuh.
Perdebatan dua pria dewasa itu sama sekali bukan urusannya.
***