Chapter 9 - Rengekan Lucas
“Huaaaa, pokoknya aku mau ikut acara itu.” Lucas menangis keras di pagi hari membuat kepala Lily sakit bukan main.
“Astaga, Lucas. Berhentilah merengek seperti bocah kecil.” Lily mulai menasihatinya.
Bukannya berhenti, tangisan Lucas malah semakin menjadi-jadi. “Pokoknya aku mau ikut. Aku mau ke sana!” Lucas berguling-guling di lantai sambil menangis keras dan sesekali menjerit, tantrum.
Ini adalah kedua kalinya ia menghadapi ketantruman putranya.
Dulu pertama kali Lucas mengalami tantrum adalah saat Lucas mengenal akan sosok ayah. Dia merengek pada Lily minta dibelikan ayah untuknya. Agar ia bisa digendong, diajak main dan menemaninya tidur.
Barulah untuk menghentikan permintaannya yang konyol itu, Lily mengalihkan perhatian Lucas dengan mengajari bocah itu tentang pemrograman komputer. Membiarkannya mengikuti kegiatan bela diri, berharap Lucas bisa melindungi dirinya sendiri tanpa sosok ayah di kehidupannya.
Tanpa diduga, Lucas sangat tertarik dengan ilmu yang diajarkannya. Lambat laun, Lucas semakin pandai dan ahli dalam memogram. Hingga dalam dua tahun, Lucas berhasil menyamai kemampuannya.
Lily diberkati denga kepintaran Lucas yang di atas rata-rata anak seusianya. Walau terkadang, Lily harus kewalahan menghadapi keingintahuan Lucas dan kemampuannya yang sangat cepat menyerap informasi.
Lucas anak yang kritis. Ia butuh penjelasan logis dari setiap pertanyaan yang bergelayut di benaknya. Lily terpaksa harus ekstra hati-hati saat menghadapi putranya.
Di usia Lucas yang beranjak dua tahun, putranya sudah mengenal angka dan huruf. Tidak butuh waktu lama, Lucas berhasil membaca dengan lancar. Tidak hanya satu bahasa. Lucas menguasai beberapa bahasa dari berbagai tontonan yang digemarinya. Kemampuan Lucas amat istimewa.
Biasanya para bocah seusianya menggemari buku cerita bergambar yang penuh warna dan menarik perhatian. Tapi Lucas berbeda.
Dia memang gemar membaca buku. Bukan buku cerita, melainkan buku ensiklopedi atau buku ilmiah. Entah sudah berapa banyak buku ensiklopedia koleksinya.
Lily kewalahan mengurusi koleksi buku Lucas yang semakin banyak. Beberapa bahkan sudah ia hibahkan ke sekolah atau yayasan pendidikan anak, agar lebih berguna untuk generasi muda mendatang.
“Aku tak bisa menemanimu ke sana. Aku harus bekerja, Lucas. Kau mengerti?”
“Tidakkah kau meminta cuti sehari saja, Ma?” Lucas memohon padanya dengab mata berbinar-binar, penuh harapan.
Sebagai seorang ibu, tentu saja, Lily tak bisa mengabaikan permohonan putranya. Apalagi Lucas benar-benar menginginkan kunjungan sekolah kali ini.
Lily mendesah. Akhirnya ia pun menyerah melawan keinginan putranya. “Aku tidak berjanji. Tapi aku akan izin pada atasanku dulu agar ia memberiku izin libur hari ini.”
“Pokoknya kau harus lakukan hari ini, Ma!” tuntut Lucas terus mendesak ibunya untuk cuti hari ini. Khusus menemani dirinya.
“Baiklah.” Merasa tak punya pilihan, Lily terpaksa menghubungi Tuan Darren dan mengatakan kalau ada hal mendadak yang harus ia lakukan, sehingga dia minta izin cuti satu hari, seminggu setelah hari pertama dia bekerja.
Dengan berat hati, Darren terpaksa memberi Au izin bekerja hari ini.
“Ada apa?” tanya Lucas, saat melihat Darren menghela napas panjang setelah selesai menghubungi seseorang via telepon.
“Au, minta izin hari ini.”
“Lalu?”
“Dia baru mulai bekerja, Luc. Baru seminggu. Dia sudah minta cuti,” keluh Darren.
“Hm, tapi kau mengeluh padaku tapi memberinya izin. Masalah sebenarnya ada di dirimu. Jika kau keberatan kau bisa melarangnya izin hari ini.”
“Aku takut kau menghukumku nanti.”
“Kenapa aku harus menghukummu?”
“Karena dia bilang mau menemani putranya kunjungan sekolah. Putranya merengek. Dan kau tahu, kunjungan sekolah itu di mana?”
“Di mana?” Lucas sedikit tidak mengerti.
“Rainbow Kindergarten akan berkunjung ke perusahaan kita siang ini. Jika dia datang, kita akan mengenal siapa putranya? Apa kau tidak mencurigai Au?”
“Kau ... “ Lucas kehabisan kata-kata.
“Kita bisa mencari tahu siapa Au dan Lily. Apakah dia orang yang sama? Aku curiga mereka berdua menyimpan sesuatu.”
“Kau benar.”
Lucas tersenyum licik.
***
“Jangan pakai rambut palsu itu! Dan hapus riasanmu yang norak. Lagipula matamu baik-baik saja, kenapa kau harus mengenakan kacamata jelek itu, sih?” Lucas melarang dirinya memakai riasannya yang mencolok. Kacamata model kuno dan pakaian ketat miliknya.
Putranya terlihat lebih menakutkan dari ayahnya yang selalu memiliki aturan ketat.
Lily hanya bisa menarik napas dalam-dalam, menghadapi omelan putranya yang pikirannya berkembang semakin dewasa melebihi usianya.
“Mama, kita tidak sedang ke kantor. Jadi tolong pakai busana yang nyaman untukmu.” Lucas memberitahunya, membuat Lily salah tingkah oleh tegurannya.
“Baiklah, Lucas. Apapun yang kau perintahkan, Tuan.” Lily mengganti pakaiannya, lebih kasual.
Wanita itu mengenakan gaun biru dengan potongan d**a tinggi. Panjang gaun itu cukup sopan, membuatnya terlihat sedikit elegan dan luar biasa cantik.
“Bagaimana penampilanku?” Lily berpose manis di depan putranya. Berputar dua kali sambil memamerkan senyumnya yang indah. Lucas terperangah melihat kecantikan ibunya.
“Wow, kau cantik sekali Mama. Sungguh, kau terlihat secantik bidadari,” puji Lucas, jujur. Puas melihat penampilan sederhana mamanya dan riasan tipis yang entah mengapa mempercantik wajahnya.
“Seharusnya kau rubah penampilanmu seperti ini, Ma. Kurasa kau bisa merayu laki-laki dan menemukan Papa yang cocok buatku.”
Wajah Lily memerah mendengar ucapan vulgar putranya. “Siapa yang mengajarimu hal itu, Lucas?” tegur Lily, kaget karena pemikiran putranya melebihi ekspektasinya.
“Aku sendiri.” Lucas terkekeh.
“Jangan pernah ucapkan itu lagi. Kau belum cukup dewasa untuk mengetahui soal pria dan wanita.”
“Baiklah. Terserah Mama saja,” sahut Lucas, malas berdebat.
“Oke, kemana kunjungan sekolah kita hari ini?”
“Unity Coorporation. Itulah tujuan edutrip kali ini.”
Lily terperanjat kaget, “Apa kau bilang?” Seketika ia kehabisan oksigen di paru-parunya. Ia merasa sesak.
“Unity Coorporation, Ma.” Lucas mengulangi ucapannya. Dia juga menunjukkan peta menuju perusahaan besar itu.
Lily kehilangan kata-kata, menatap peta yang ditunjukkan putranya.
Bagaimana ini? Dia mulai panik.
Dia tak punya alasan membatalkan rencananya menemani Lucas. Putranya terlalu pintar untuk diperdaya.
Lily memucat saat Lucas berteriak untuk mulai jalan. “Ayo, kita pergi!” Lucas berteriak antusias.
Bagaimana ini?
Bagaimana ini?
Pikirannya terus mencari cara agar ia bisa mengarahkan putranya ke tempat mana pun selain ke tempat di mana ia bisa menemukan ayahnya.
***