Chapter 6 - Pertemuan Kembali
“Kau lihat ekspresinya?” tanya Lucas merasa aneh saat melihat wajah sekretaris baru mereka yang terlihat aneh.
“Wajahnya pucat. Dia seperti baru saja melihat hantu,” ucap Darren.
“Aku merasa ada sesuatu yang dia sembunyikan dariku.”
“Apa kau masih mencurigainya?” gumam Darren.
“Entahlah. Firasatku merasakan ada rahasia yang simpan rapat-rapat.”
“Yang pasti, tidak ada kaitannya denganmu ataupun kita.”
“Tapi, dia bukan Lily. Kau lihat saja penampilannya. Dia bukan Lily yang kau temui kemarin bersama putranya yang kau bilang siapa namanya?” Darren mencoba mengingat kembali cerita Lucas saat bertemu kembali dengan wanita di bandara.
“Lucas.”
“Iya, itu Lucas.” Darren berseloroh. “But, wait, apa kau yakin namanya Lucas?”
“Yaps, namanya Lucas. Awalnya aku mendengar wanita itu memanggilnya Alex, tapi bocah itu tak mendengarnya. Barulah saat ibunya memanggilnya Lucas, dia merespon ibunya.”
“Hmmm, mencurigakan.” Darren mulai berspekulasi.
“Sudahlah. Jangan kita pikirkan lagi. Sekarang fokus utama kita adalah proyek AI berikutnya. Bagaimana kita membuat program AI yang bisa memuat semua gambar, peta, dan informasi yang dibutuhkan pengguna?”
“Mari kita pikirkan itu nanti. Tapi sebelum itu, kita harus mengikuti acara pembukaan sekolah Rainbow Kindergarten siang ini. Ayo cepatlah sebelum kita terlambat!”
“Buat apa?”
“Kau lupa kalau kau mendonasikan dana cukup besar untuk sekolah itu, sekaligus promosi aplikasi edukasi anak yang menarik perhatian. Kau mulai bisa memperkenalkan aplikasi itu di depan anak-anak.”
Lucas hampir lupa acara yang khusus dibuat untuk dirinya. Untungnya dia memiliki Darren yang selalu sigap mengingatkan semua jadwal dirinya.
***
Sekolah kindergarten adalah sekolah elite terbesar dan termewah di kota ini. Beragam fasilitas ditawarkan sekolah yang bertaraf internasional dengan kuriku berstandar tinggi.
Tentu saja biaya sekolah ini sangat tinggi, hanya beberapa orang tua dari kalangan elit yang menyekolahkan anaknya di sekolah ini.
Rainbow Kindergarten merupakan pasar baru untuk game keluaran terbaru perusahaannya. Sebuah permainan interaktif yang berisi game-game menarik berbasis pengetahuan. Hampir seratus bahasa digunakan untuk aplikasi permainan ini yang tentu saja memudahkan para pengguna memainkannya.
Lucas berdiri di depan panggung menjadi pembicara sekaligus memperkenalkan game buatan miliknya pada anak-anak rentang masa balita.
Kebanyakan siswa yang bersekolah di situ sangat antusias memainkannya. Kecuali satu anak yang membuat matanya terbelalak.
“Halo, Bro. Kau terlihat bosan kali ini.” Lucas menghampiri bocah yang tengah merengut di antara bocah-bocah lain yang antusias dengan permainan mereka.
“Ah, kau. Uncle Lucas?” Ingatan bocah itu begitu kuat. Ia bahkan mengingat namanya dengan baik. Tentu saja, karena nama mereka sama.
“Apa kau tidak suka permainannya?” tanya Lucas sedikit heran karena cuma Lucas kecil yang terlihat tidak antusias dengan game buatannya.
Lucas menggeleng, “Semua permainan itu membosankan untukku.” Ucapan Lucas yang jujur membuat Lucas dewasa tersentak.
“Lalu permainan apa yang kau suka?” tanya Lucas penasaran.
“Apa kau mau tahu?” Lucas kecil balas bertanya. Membuat Lucas semakin dipenuhi rasa ingin tahu.
“Tentu saja, Bro. Jangan buat aku mati penasaran.” Ucapan Lucas membuat Darren terheran-heran. Sejak kapan Lucas berbicara sesantai itu pada seorang bocah berusia lima tahun. Seolah-olah, mereka sahabat baik satu sama lain.
“Ikut aku.” Lucas mengajak Lucas dewasa mengikutinya ke arah loker pribadinya. “Sebenarnya, aku tak boleh menceritakan ini pada siapa pun. Tapi karena kau temanku, sekarang. Jadi aku tak keberatan memberitahumu.”
“Apa itu?” Lucas penasaran dengan sebuah tas yang terlihat seperti tas laptop besar.
“Ini mainanku. Aku sudah memainkan ini.” Lucas membuka layar laptop, dan mulai mengetikkan beberapa kode rahasia dengan lihai.
“Apa itu?” Lucas mematung, saat melihat tampilan layar laptop milik bocah itu. Ia memandang ke arah Darren yang terbelalak. “Kau?” Lucas kehabisan kata-kata, karena bocah ini baru saja menunjukkan sesuatu yang sangat berbahaya.
Lucas kecil tersenyum lebar, “Aku sedang memantau posisi mamaku. Kau lihat sinyal berkedip ini?”
Lucas terdiam, menelan salivanya susah payah. Bocah itu membuatnya kehilangan kata-kata. “Kau yang melakukannya?” tanya Lucas, skeptis.
Sulit sekali memercayai bocah berusia lima tahun itu lihai memainkan perangkat lunak, apalagi memantau gerak-gerik seseorang melalui sinyal.
“Tentu saja. Aku bahkan bisa melakukannya lebih baik dibandingkan mamaku. Tapi ini rahasia, ya?” Lucas memberi isyarat untuk menyimpan rahasianya rapat-rapat.
Darren mengangguk dengan cepat, masih syok dengan kemampuan luar biasa bocah itu.
“Pantas saja kau tidak menyukai permainan kami.”
“Maaf, saja. Permainan yang kalian buat sangat tidak menarik. Aku bahkan bisa membuatnya lebih baik dari itu.” Lucas kecil berkata dengan sombong.
Darren melirik tajam ke arahnya. “Sepertinya aku merasa deja vu dengan ucapannya?” Darren seakan melihat sisi Lucas saat remaja, yang selalu sombong dan merasa superior. “Nak, boleh kutahu siapa ayahmu? Dia pasti luar biasa karena bisa mendidikmu menjadi anak hebat seperti ini?”
“Aku tidak punya ayah,” jawab Lucas singkat.
“Apa kau yakin?”
“Tentu saja. Tapi, aku punya Papa.”
Darren menghela napas lega, “Oh begitukah?”
“Iya tentu saja. Papaku luar biasa baik dan sangat menyayangi aku.”
“Dan siapa papamu yang baik itu?” tanya Darren mengorek informasi darinya. Dari entah mengapa pemikirannya terkoneksi baik dengan Lucas yang masih kehilangan kata-kata, melihat kehebatan Lucas kecil.
“Papa Nathan.”
“Dan ibumu?”
“Tentu saja ... “
“Lily,” potong Lucas membuat Lucas terkecil menatapnya heran. “Apa kau mengenalnya?”
“Iya, tentu saja. Kau pernah mengenalkannya padaku dulu. Di bandara. Kau ingat?”
“Ah, iya. Aku sempat berbisik padamu kalau nama ibuku adalah Lily.”
“Siapa nama lengkapnya?”
“Ah, soal itu. Aku berjanji pada Mama tidak boleh mengatakannya.”
“Baiklah, kalau begitu. Jangan kau Ingkari janjimu dengan ibumu.”
“Oh iya. Jika kau butuh bantuan apapun, kau bisa panggil aku. Sekarang kita berteman ‘kan?”
“Ten-tentu saja,” jawab Lucas, masih syok.
“Baiklah. Aku harus menyimpan ini dulu. Benda ini tidak boleh terlihat oleh ibu guru.”
“Lalu mengapa kau membawanya ke sekolah?” gumam Darren.
“Karena aku tak mau kehilangan Mama lagi. Aku harus memastikan posisi mama di mana?”
“Apa kau begitu takut kehilangannya?” Darren kembali bertanya.
“Tentu saja. Karena hanya dia yang kumiliki di dunia ini.”
“Lho, bagaimana dengan Papamu?”
“Dia bisa melindungi dirinya sendiri, tapi tidak dengan Mama. Mama terlalu rapuh untuk terus menjadi kuat di depanku.”
Darren termangu melihat betapa dewasanya pemikiran bocah itu. Ia melirik ke arah Lucas yang masih terdiam menatap Lucas kecil yang sedang memasukkan laptopnya.
“Ayo kita kembali ke aula.”
Darren mengajak dua Lucas itu kembali.
***