Bagian 9.
Mereka terus saja berkelakar, menggoda pasangan pengantin. Agung dan Rumaisha hanya bisa terdiam, bicara sedikit saja maka akan terbit banyak balasan.
"Mas Agung." Hingga satu suara lembut terdengar dari muka pintu, menginterupsi, membuyarkan kehangatan semua keluarga yang sedang bercengkrama hangat itu.
***
Setelah tamu-tamu pulang, Rumaisha dan Agung masuk ke kamar. Tidak ada kamar pengantin yang dihias aneka dekorasi yang indah. Kamar itu biasa saja. Kamar ketika Agung masih berstatus lajang.
Ya, pernikahan itu dilangsungkan di rumah orang tua Agung. Rencananya besok baru mereka pindah ke rumah pribadi Agung yang terletak di Desa Tungkul.
Kamar itu cukup luas jika hanya dihuni satu orang. Tempat tidurnya juga luas, king size. Entah itu memang tempat tidur Agung sejak dulu, atau sengaja ditukar khusus untuk malam pertama mereka, Rumaisha tidak tahu.
Di sisi kiri tempat tidur, terdapat boks bayi berukuran 1 meter x 1 meter. Terdapat roda pada bagian bawah boks untuk memudahkan jika Naira perlu dibawa keluar kamar.
Rumaisha duduk di sisi kiri tempat tidur sambil menatap Naira yang terlelap. Jalan dua bulan usia bayi itu kini, dan dia masih lebih banyak tidur.
Rumaisha telah mengganti gaun pengantinnya dengan gaun tidur berbahan sutra. Outer gaun itu berupa jubah panjang. Jika jubah itu dibuka, innernya berupa gaun kekurangan bahan, sengaja ia kenakan untuk malam pertamanya yang mendebarkan.
Sementara Agung, sejak tadi ia masih di kamar mandi. Gemericik air mengisyaratkan ia sedang membersihkan diri. Namun, entah mengapa begitu lama.
Laki-laki itu keluar setelah lebih dari tiga puluh menit ia menghabiskan waktu di kamar mandi. Titik-titik air membasahi wajah hingga ke ujung rambutnya, memberikan kesan segar.
Laki-laki itu mengenakan celana sport pendek dan kaos putih oblong. Kaos itu membungkus ketat tubuhnya, menonjolkan otot-otot liatnya, benar-benar sempurna menunjukkan kegagahan yang ia miliki.
Rumaisha menatap sebentar sosok itu, kemudian menunduk malu-malu. Dadanya berdesir, jantungnya berdegup, seluruh badannya bagai terkunci, kaku, tidak bisa ia gerakkan. Gadis itu demikian kikuk, begitu salah tingkah.
Malu.
Atau ... entahlah, apa kata yang tepat untuk menggambarkan perasaannya saat itu. Ini adalah pengalaman pertamanya berdua dengan seorang laki-laki dalam ruang tertutup.
Terlebih bersama Agung, laki-laki yang sudah sejak lama ia sukai, dan secara fisik begitu sempurna di matanya.
Kulitnya bersih. Hidung kokoh dengan ukuran proporsional. Pada rahang terdapat gurat tulang yang menonjol, membuatnya terlihat begitu kuat.
Terdapat bekas cukuran bulu pada bagian dagu dan tepi pipi, berpadu dengan alis tebal dan rambut yang dipotong setengah cepak, memberikan kesan macho yang cukup menggetarkan.
“Rumaisha.” Laki-laki itu duduk pada sisi berlawanan dengan Rumaisha. d**a gadis itu berdesir lebih kencang ketika mendengar suara itu memanggil namanya.
"Ya?" jawabnya. Di antara jantung yang berdegup kencang, hanya kata itu yang mampu keluar dari bibirnya.
“Terima kasih karena kamu bersedia menikah denganku,” ucap Agung. Hanya dibalas anggukan malu-malu oleh Rumaisha.
Agung mengalihkan pandangan dari Rumaisha ke arah kosong, “Tapi, sebelumnya aku minta maaf, Rum. Aku butuh waktu." Agung mendesah lemah. Ia frustrasi.
Sebelumnya Agung percaya bahwa dirinya sudah mulai menerima gadis itu. Rasa suka saat Rumaisha ada di sisinya, gelenyar-gelenyar aneh saat ia menatap wajah manis gadis itu, juga degupan-degupan jantung yang tidak mau berkompromi saat mereka sedang bersama.
Akan tetapi, kehadiran Maharani di penghujung acara akad nikah tadi mematahkan semuanya. Ternyata hatinya masih terpaut wanita itu.
"Kamu menikah, Mas?" cecar perempuan itu dengan sorot mata penuh luka.
Agung tercekat. Beribu sesal begitu saja terbit di hatinya. Luka di mata Maharani membuatnya pedih.
Kehadiran Maharani, cukup menggoyahkan hatinya.
"Katakan, Rum! Bagaimana pernikahan ini akan bertahan tanpa cinta?” tanyanya labil.
Rumaisha mendesah lelah. Jujur ia kecewa. Ia sudah banyak berharap dengan sikap bersahabat yang mulai ditunjukkan laki-laki itu beberapa hari ke belakang.
Tanpa cinta katanya? Lalu apa arti genggaman tangan saat mereka kembali dari bertemu keluarga di desa saat itu? Juga apa makna tatapan hangat laki-laki itu sebelum ijab qobul tadi? Apakah itu sekadar PHP?
Atau ..., apakah ia salah telah menikahi laki-laki itu? Mengingat statusnya yang belum resmi bercerai secara hukum.
“Biarkan waktu saja yang menjawabnya,” jawabnya pelan. Ia harus tetap optimis dan percaya bahwa cinta pasti akan tumbuh seiring waktu dan kebersamaan.
“Aku berharap bisa mencintaimu, Rum. Kamu gadis yang baik. Tapi apakah mungkin, sementara telah ada cinta yang lain di hatiku dan bayang-bayangnya selalu hadir?” Agung bertanya penuh luka.
"Aku tidak bisa Rumaisha," lanjutnya sambil menggeleng, kemudian suasana hening beberapa saat.
“Rum, aku tahu kamu orang yang tepat untuk membantuku membesarkan Naira. Tetapi maaf, hanya sebatas itu,” tutur laki-laki itu lagi. Sekarang nada suaranya gemetar. Ada rasa bersalah yang ia salurkan.
“Kamu berhak bahagia. Aku tidak mau merusakmu. Aku berjanji tidak akan pernah menyentuhmu hingga kamu temukan bahagiamu.”
Rumaisha terperangah. Wajahnya yang sejak tadi menunduk, terangkat menatap suaminya. Ucapan itu telah memadamkan semangat yang tadi bergelora, mematikan harapan yang baru saja bersemi.
Ucapan itu menghentikan desiran dan degupan yang sedari tadi membahana, menepis asa bahagia yang hadir beberapa saat lalu. Bahagia yang belum sempat ia kecap, luruh begitu saja.
Setetes bening jatuh perlahan, menyapu lembut pipi yang tadi sempat merona malu.
Basah!
Seperti menyiram luka, bening itu mencipta pedih. Ketika bening itu semakin menguntai panjang, tubuh itu perlahan berguncang. Pernikahan yang sakral ini, mengapa jadi sebuah sandiwara?
Agung menatap tubuh itu, merasa bersalah. Namun dia belum bisa membuka hati. Dia tidak bisa memaksakan rasa yang tak nyata, rasa yang masih suram dan samar.
“Maafkan aku. Kamu gadis yang baik. Tak seharusnya aku menjebakmu dalam pernikahan ini,” ucap Agung pelan, “Bertahanlah sampai kamu mampu, jika nanti kamu lelah. Kuijinkan kamu menyerah. Naira memang seharusnya jadi tanggung jawabku.”
Agung mengakhiri kalimatnya kemudian beringsut mengambil bantal dan selimut. Digelarnya selimut itu dilantai sebagai alas tidurnya.
Dibiarkannya gadis itu menangis, meraup kembali sepi yang ingin ditinggalkannya.
Agung telah mencoba, beberapa lama ia menimbang rasa ketika di kamar mandi tadi. Akan tetapi, hatinya terasa hampa saat menghadirkan bayangan Rumaisha dalam benaknya. Justru bayang Maharani yang lekat berkelebat.
Rumaisha menghapus bening yang terus bergulir. Dia harus berjuang demi menumbuhkan cinta di hati suaminya. Seperti pesan Hanafi, ini adalah pilihannya.
Perlahan gadis itu bangkit, melangkah menuju boks Naira. Bayi ini yang menjadi alasan utama pernikahannya, bukan cinta Agung.
Ditatapnya wajah mungil itu. Menatap Naira seakan ada getar di hatinya. Getar tulus yang membuatnya ingin terus menyayangi, menjaganya, merawatnya, dan membesarkannya.
Dia akan selalu ada untuk anak surga itu, meski mungkin harus mengorbankan hatinya. Mungkin hatinya akan terluka dengan pernikahan yang tidak diinginkan laki-laki yang menjadi suaminya itu, tetapi dia juga akan terluka jika bayi itu tumbuh dengan kasih sayang yang pincang.
Bayi ini butuh perhatian yang lebih. Dia butuh dukungan keluarga yang penuh untuk memaksimalkan tumbuh kembang dan potensinya.
Dia ciptaan Allah. Allah tidak akan menciptakan sesuatu untuk sebuah kesia-siaan. Setiap mahkluk terlahir dengan potensi masing-masing.
Di balik kekurangan Naira, pasti ada kelebihan. Dia perlu orang-orang sekitar yang tulus menyayanginya agar potensinya itu bisa maksimal. Rumaisha berjanji akan memberikan kasih sayang seorang ibu untuk Naira, bukan sekadar kasih sayang seorang baby sitter.
Kasih sayang seorang ibu yang sempat terputus akan ia sambung.
Diraihnya Naira, kemudian diciumnya wajah mungil itu penuh haru.
“Darah kita berbeda. Selamanya berbeda, dan tak akan pernah sama. Namun entah, memandangmu seolah desir aliran darahku berirama sama dengan aliran darahmu. Detak jantungku seolah satu ritme dengan detak jantungmu,” bisiknya.
Biarlah ia tepikan soal rasa di hatinya. Demi anugerah Allah ini, ia berjanji akan kuat.