bc

Stepmother's Love

book_age16+
7.1K
FOLLOW
58.4K
READ
contract marriage
love after marriage
fated
goodgirl
drama
bxg
regency
like
intro-logo
Blurb

"Naira adalah satu-satunya alasan pernikahan ini."

(Agung Wibowo)

"Darah kita berbeda. Selamanya akan berbeda, dan tidak akan pernah sama. Namun, entah mengapa? Memandangmu seolah desir aliran darahku berirama sama dengan aliran darahmu. Detak jantungku seolah satu ritme dengan detak jantungmu."

(Rumaisha Az-Zahra)

Cover : Itsaydesign

chap-preview
Free preview
Bagian 1
“Aku tidak mau anak ini, biarkan dia mati saja!” Maharani berteriak histeris. Ia mengambil bantal, lalu menutup wajah bayi satu minggu yang terbaring dalam boks di hadapannya. “Maharani! Istighfar!” Agung berseru panik melihat apa yang dilakukan istrinya. Dengan sigap, ia meraih tubuh merah itu lalu mendekap erat ke dalam pelukannya. “Jangan menghalangiku!” pekik wanita muda itu tetap histeris. Paras cantiknya kacau. Ia kalap, berusaha merebut bayi yang ada dalam gendongan suaminya. “Jangan, Sayang. Bagaimanapun dia anak kita, darah daging kita!” ucap Agung berusaha menenangkan seraya mencoba menghindar. Ia memasang punggung untuk melindungi bayinya. Namun, Maharani terus memburu, mengejar kemana laki-laki itu berkelit membawa bayi mereka ke setiap penjuru rumah. “Aku tidak sudi punya anak seperti itu! Biarkan dia mati sebelum semua orang tahu bahwa aku punya anak cacat!” Tangan Maharani berhasil meraih tubuh mungil itu. Namun, Agung tetap mendekap erat, mempertahankan dalam pelukannya. Mereka terlibat tarik menarik, layaknya merebutkan suatu benda mati. “Apa kata orang-orang nanti? Apa kata teman-temanku? Mereka akan mengejekku, menertawakanku!” teriak Maharani emosi sambil sekuat tenaga terus menarik tubuh kecil tak berdosa itu, merebutnya dari dekapan suaminya. “Jangan, Sayang!” seru Agung gusar. Ia benar-benar kehabisan cara menenangkan Maharani. "Jangan!” teriaknya lebih kencang. Namun, di luar kendali, tubuh mungil tak berdaya itu terlepas dari dekapannya. Entah mengapa, tenaga Maharani bagaikan berlipat-lipat lebih kuat sehingga ia bisa menang dalam perebutan itu. Wanita yang biasanya manja itu berubah menjadi beringas. Ia merampas tubuh mungil itu lalu melemparnya seakan sebuah perabot yang pantas dilempar ketika sedang marah. Agung menahan napas menatap tubuh itu melayang di udara. Seketika tubuhnya menggigil tetapi pori-porinya melepas bulir-bulir hangat. Matanya pun tak kuasa menahan rekahan bulir yang sama hangatnya. Hatinya menjerit dan berontak. Namun raganya lemah tak berdaya. Agung berusaha sekuat tenaga berlari untuh meraih tubuh itu di udara. Namun, entah mengapa geraknya terasa menjadi sangat lambat. Tubuh mungil itu seolah bergerak sangat cepat. Seandainya ini adalah video, ia bisa menekan mode pause untuk menghentikan gerakan tubuh yang melayang itu. Akan tetapi, ini adalah nyata. Dan tubuh mungil di udara itu--Naira, buah cintanya sebentar lagi akan terjatuh dan membentur lantai yang keras. “Nairaaa!” Agung berteriak mengutuk ketidakberdayaan. Tubuhnya jatuh tersungkur ketika harapannya sirna. Pertama kali laki-laki itu tergugu, meratap putus asa, merasa lemah dan tidak berguna. Asa! Saat ini adakah yang bisa memberinya asa agar tubuh mungil itu tetap di udara hingga ia datang tertatih meraihnya? Atau adakah yang bisa memberinya asa bahwa akan datang sepasang tangan malaikat penyelamat meraih tubuh itu, menyelamatkannya pada detik-detik krusial? “Allahu Akbar!” Sebuah pekikan tiba-tiba terdengar. Asa itu nyata. Seperti asa yang tercipta oleh janji sang surya kepada siang, yang akan selalu memberinya terang. Tepat sebelum tubuh merah itu membentur lantai, sepasang tangan dengan gemetar menangkapnya. “Cucuku! Naira!” Kemudian seorang perempuan paruh baya menjerit beberapa langkah dari pintu masuk yang terbuka. Ia berlari meraih bayi yang berada dalam dekapan tangan yang masih gemetar itu. Pemilik tangan yang gemetar itu adalah Rumaisha, dan wanita paruh baya itu Nurmala, sosok yang telah melahirkan Agung ke dunia. “Terima kasih, Rumaisha,” ucap Nurmala. Napas perempuan itu memburu. Ia tampak syok pada peristiwa yang baru saja dilihatnya. Sembari menangis, wanita paruh baya itu menciumi Naira. Bayi itu terlihat menggeliat dengan ekspresi mencebik seperti hendak menangis. Namun, usapan lembut dari Nurmala membuatnya tenang dan kembali terlelap. “Sama-sama, Bu,” sahut Rumaisha masih gemetar. Logikanya pun masih belum kembali sempurna untuk mencerna apa yang terjadi. Seyogyanya dia menemani Nurmala untuk mengunjungi cucunya itu. Namun, ketika keduanya tiba di depan rumah, terdengar teriakan-teriakan histeris dari dalam. Keduanya bergegas masuk. Nurmala mencoba membuka pintu dan ternyata tidak dikunci. Ketika pintu terbuka, netra mereka menangkap tubuh mungil itu melayang di udara. Rumaisha yang lebih gesit, refleks berlari meraih tubuh yang tidak jauh dari posisinya berdiri. “Ada apa ini sebenarnya, Gung?” tanya Nurmala pada anak lelakinya itu. Agung bergeming. Dia sendiri bahkan tidak habis pikir bagaimana istrinya bisa berniat mencelakai buah hati mereka. “Ada apa sebenarnya, Rani?” Nurmala mengalihkan pertanyaan pada menantunya ketika mendapati Agung hanya terdiam. Maharani mengerling tajam. Sementara sudut matanya menguntai panjang bulir bening frustasi. “Aku tidak mau anak itu, aku malu punya anak cacat dan i***t!” ucapnya. Ia tergugu, tubuhnya luruh ke lantai. Wanita itu menangis sesenggukan seolah meratapi kematian. Sakit yang ia rasakan atas kondisi Naira seolah seribu kali lebih sakit daripada ketika ia mengantar bayi itu ke dunia. Maharani Ayudisa, seperti arti namanya, seorang ratu yang memiliki kecantikan dewi-dewi. Ia adalah perempuan rupawan, modis dan selalu memesona pada setiap penampilannya. Maharani terampil memoles wajah untuk menambah aura kecantikannya agar lebih terpancar. Bulu mata yang lentik semakin lentik dengan sedikit sapuan maskara. Garis mata yang indah dipertegas oleh ukiran eyeliner. Hidung mancung, pipi tirus kencang dengan efek shading yang pas. Juga bibir yang tipis merona. Rambut lurus, halus, hitam dan tebal selalu tersisir rapi menjuntai sedikit di bawah d**a. Lebih indah dari model iklan shampo lain. Tubuh langsing, padat berisi menambah paripurna seorang Maharani Ayudisa. Ia cerdas. Elegan. Berwibawa. Semua yang memandang pasti berdecak kagum. Sesama kaum hawa akan iri, bermimpi ingin sepertinya. Seminggu lalu, Maharani melahirkan. Moment yang sebenarnya telah ia nanti-nantikan lama. Ia berpikir setelah kelahiran malaikat mungilnya, kehidupan rumah tangga mereka akan bahagia. Ternyata semua malah terjadi sebaliknya. Malaikat mungil, bidadari yang Allah hadiahkan untuknya itu seakan merenggut semangat hidup Maharani. Naira Almahyra, anak perempuan yang bersinar, berkilau, beruntung dan cerdas adalah nama yang ia siapkan untuk buah cintanya bersama Agung Wibowo, suaminya. Sesuai nama yang dipilih, begitulah harapannya pada anak itu. Sebelumnya, perempuan itu begitu tak sabar menantikan putri pertama mereka. Namun, ketika anak itu lahir justru tak ingin dia sentuh. Anak itu terlahir tidak secantik dan sesempurna seperti inginnya. Dia dinyatakan suspect down syndrome. Hari ini logikanya terkunci, alih-alih berpikir jernih. Kejadian tak terduga seminggu terakhir ini membuatnya terpukul, terpuruk, dan syok. Rasa malu yang selalu menghampiri, bayangan orang-orang yang akan mengejeknya, menertawakannya, membuatnya begitu sesak. Ia marah pada takdir. Bertanya pada Tuhan, mengapa harus dia yang mengalami semua ini? Apa dosanya? Seminggu terakhir, paras cantik Maharani terlihat pucat dan kusut. Jangankan sapuan kosmetik, bahkan membasuh wajah pun ia jarang. Rambut selalu awut-awutan, tak pernah terjamah sisir. Mata sembab, ada daerah yang membentuk kantung pada bagian bawah. Seminggu terakhir dia banyak menangis. Sebenarnya tidak ada yang salah dari fisik Naira. Fisik itu sempurna, tidak kurang satu apa pun. Hanya saja, sebagai down syndrome dia tidak mewarisi kecantikan Ibunya. Ciri down syndrome yang melekat padanya, rambut, alis, bulu mata, tipis dan terlihat pirang. Hidung pesek. Mata sipit. Pipi tembem. Leher pendek dan bergelambir hingga ke tengkuk sehingga ketika berpadu dengan pipi yang tembem memberi kesan gemuk, padahal ia lahir dengan berat badan rendah. 2,1kg. Bibir Naira tidak tipis, dan semakin terlihat tidak cantik ketika bayi itu tidur selalu menjulurkan lidahnya sebab lidahnya yang lebih panjang dan lebar. Kulit Naira tidak halus seperti kulit bayi pada umumnya, tetapi kering mengelupas. Perutnya sedikit buncit dengan udel bodong. Rupa Naira benar-benar kontras dengan keparipurnaan fisik Maharani. Agung bangkit menghampiri Nurmala, meraih Naira kemudian melangkah menuju Maharani. Lembut, ia menyentuh pundak istrinya itu. Ia paham bahwa Maharani sedang terpukul atas semua yang terjadi. Berlaku keras padanya tidak akan ada gunanya, justru akan menambah keruh suasana. “Sayang, tataplah sebentar saja. Dia begitu manis. Dia anak kita,” ucap Agung serak. Letih, sedih, terpancar dari aura suara itu. Seminggu ini ia telah bekerja keras untuk menenangkan wanita yang dinikahi satu tahun lalu itu. Namun, usahanya itu seperti sia-sia. “Jauhkan dia dariku!” teriak Maharani seraya mendorong tubuh mungil itu. Kasar ia berdiri dan melangkah menuju kamar, mengambil koper besar miliknya kemudian mengemas semua barang pribadinya. Tidak lama berselang, wanita itu keluar kamar dengan koper besar di tangan. “Kamu mau kemana, Sayang?” tanya Agung. Ia mencoba tenang menghadapi sikap istrinya yang masih syok menerima kenyataan bahwa putri yang sangat dinantinya di-vonis suspect down syndrome oleh dokter. Ia menyadari istrinya butuh dukungan psikologis. "Aku tidak mau punya anak seperti itu. Aku malu. Biarkan aku pergi," jawabnya ketus sambil terus melangkah menyeret kopernya. “Sayang.” Agung meraih tangan Maharani. Tatapan sendu matanya seolah berkata, “Jangan pergi!” “Dia anak kita, Maharani. Apapun kondisinya, dia anak kita," ucapnya lirih dengan suara bergetar menahan perih. "Dia anakmu, darahmu yang mengalir di tubuhnya. Tentu saja kamu bisa menerimanya. Tapi, aku tidak!" Maharani berkata dengan nada tinggi sembari menatap sinis sang suami. "Maksudmu?" "Lihatlah, garis keturunan keluargaku semua baik-baik, sehat, tidak satu pun yang cacat. Tidak ada yang i***t. Sementara adikmu, dia cacat, i***t. Jadi darah yang dibawa anak itu darahmu. Keturunan dari keluargamu," ucap perempuan itu masih dengan nada tinggi sambil menunjuk bidadari mungil yang terlelap dalam dekapan suaminya. Air matanya terurai. Dengan d**a kembang kempis dan tubuh berguncang. Agung menarik napas dalam. Ucapan istrinya terasa sangat menyakitkan. Ia kecewa. Ia tidak bisa menerima jika sudah ada unsur penghinaan pada keluarganya. Pantang baginya. Jika hanya dia yang dilecehkan, tidak mengapa. Namun, jika nama baik keluarganya diinjak, dia tidak bisa menerima. Perlahan pegangannya pada pergelangan tangan istrinya mengendur, kemudian terurai. "Pergilah," ucapnya pelan. Namun, terdengar dingin menusuk. Ada amarah yang menyertai suaranya. Rahangnya terlihat menegang. Giginya gemeletuk. Matanya menyorot tajam. "Tidak ada yang akan menahanmu," lanjutnya. Maharani melangkah kasar, meninggalkan istana yang dulu sangat diimpikannya. Setahun lalu ia diboyong ke rumah ini dengan penuh suka cita. Dengan penuh harapan kebahagiaan bersama seorang Agung Wibowo yang sangat dicintai dan mencintainya. Namun, akhirnya ia sendiri yang pergi meninggalkan harapannya itu, meninggalkan cintanya, juga buah dari cintanya itu. Agung menatap kepergian Maharani penuh luka. Tiga hal yang dilakukan wanita yang sangat dicintainya itu begitu menusuk hatinya, menghunjam berkali-kali. Wanita itu tidak menerima buah cinta mereka. Wanita itu meninggalkannya. Wanita itu menghina keluarganya. Adiknya memang berbeda. Pemuda dengan intelegensi di bawah rata-rata. Namun ia sangat menyayangi adik semata wayangnya itu. Agung menatap dalam wajah mungil yang tertidur dalam dekapannya, kemudian mencium wajah tak berdosa itu beberapa lama. Dua buah bening meluncur dari kedua sudut matanya. "Kamu anak Ayah," ucapnya di sela air mata yang mengalir. "Bunda sedang khilaf, doakan kelak dia akan sadar dan kembali untuk memelukmu." Kemudian laki-laki itu tergugu, membiarkan sisi lemah dari dalam dirinya keluar. Ia menciumi setiap inchi wajah mungil itu berulang kali, mendekapnya erat seolah menyampaikan pesan kepada putrinya agar jangan risau. Dia, ayahnya akan selalu menyayanginya. Meskipun kini sebuah tanya menghampiri, bagaimana dia merawat Naira setelah ini?

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Siap, Mas Bos!

read
19.5K
bc

Tentang Cinta Kita

read
203.3K
bc

My Secret Little Wife

read
115.9K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
219.7K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
4.8K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
16.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook