Bagian 8. Bapak Tidak Ada Akhlak

1334 Words
"Eh!" Rumaisha tersentak saat tangan kekar Agung menggenggam jemarinya. Jantungnya seketika berdegup demikian kencang. Sangat kencang hingga mungkin suaranya terdengar oleh laki-laki itu. Dadanya bahkan turun naik karena frekuensi napas yang sangat tinggi. "Jangan dilepas, nanti jatuh," titah Agung saat gadis itu mencoba melepaskan tangannya. Jujur saja, Rumaisha merasa tidak kuat oleh sentuhan laki-laki itu. Ia merasa seperti disengat aliran listrik bertegangan tinggi. "Ehem!" Hanafi dan yang lain, yang masih berada di luar mengantar kepulangan mereka sengaja berdeham bersamaan. "Eh." Agung baru tersadar bahwa ia tengah diperhatikan saudara-saudara Rumaisha. "Ijin, Bang. Tadi waktu berangkat tidak mau pegangan, jatuh melulu," ucapnya sambil cengengesan. Kadung ketangkap basah, diteruskan saja lah, pikir laki-laki itu. "Iya. Pulangnya jangan sampai jatuh lagi," sahut Hanafi jahil. "Padahal cuma modus," timpal Ardiyanti. Agung masih cengengesan, sementara Rumaisha, wajahnya sudah memerah hampir mirip kepiting rebus. *** Dua hari setelah kedatangan Agung melamar Rumaisha, Hanafi menepati janji menemui orang tua Agung untuk membicarakan pernikahan. Acara sakral itu memang di-setting untuk segera dilaksanakan. Semakin cepat semakin baik. Berdasarkan kesepakatan kedua pihak, acara digelar hari ahad depan di rumah Fauzan dan Nurmala. Semua biaya ditanggung pihak laki-laki. Rumaisha mencoba menenangkan diri, meyakini bahwa ketika ia telah melibatkan Allah dalam menentukan keputusan, maka semua akan baik-baik saja. Dia yang awalnya sangat bimbang, merasa pilihannya lebih condong menerima lamaran Agung setelah melaksanakan sholat istikharah. Hal itu adalah modal utamanya untuk teguh dalam melangkah. Dia tidak paham apakah dirinya mencintai Agung atau tidak, meskipun hatinya selalu berdebar setiap mengingat laki-laki itu. Terlebih, dia tidak paham apakah Agung mencintainya dan bersedia menjalani bahtera rumah tangga berdua. Hari ini Rumaisha dirias oleh penata rias ternama di kota itu. Dengan kebaya putih yang panjang menjuntai ke belakang, dipadu kain batik yang serasi, hijab putih yang dilengkapi hiasan mahkota sederhana membuatnya tampak begitu elegan. Rumaisha yang natural, menjelma bak dewi yang cantik jelita. “Meskipun pernikahan ini sederhana, tapi kamu harus tampil sempurna." Nurmala menjelaskan saat Rumaisha bertanya mengapa harus dirias oleh MUA ternama, padahal pernikahan itu hanya dihadiri pihak keluarga terdekat saja. "Kamu cantik sekali. Menantu Ibu memang luar biasa,” ucap Nurmala terharu setelah riasan Rumaisha selesai. Digandengnya bidadari itu keluar kamar, menuju ruang tamu yang telah disiapkan untuk ijab qabul. Sebuah meja tertata di sana. Duduk mengitari meja itu, Hanafi, Agung, Fauzan, dan penghulu. Dan kini Rumaisha dan Nurmala juga hadir di sana. Agung menoleh saat Rumaisha mengambil posisi di sampingnya. "Cantik sekali," gumamnya dalam hati. Darahnya berdesir. Ia terpana beberapa lama, tidak bisa mengalihkan pandangan dari Rumaisha. "Ehem!" Fauzan dan Hanafi kompak berdeham. "Jangan dulu pandang-pandang. Sabar. Sebentar lagi sah! Paling lima menit lagi. Boleh, dah, pandang semuanya," goda Fauzan jahil. "Apa saya bilang, adik saya itu memang cantik," tambah Hanafi. Segenap yang hadir tertawa. Agung menunduk salah tingkah. Tak beda halnya dengan Rumaisha. Bahkan wajah gadis itu sudah merona merah jambu. "Baik, biar segera bisa pandang-pandangan sepuasnya, acara segera kita mulai saja." Pak Penghulu ikut menimpali, jahil menggoda pasangan pengantin. Ijab qobul pun dimulai. Hanafi menggenggam tangan Agung erat, “Saudara Agung Wibowo bin Fauzan, saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan adik saya, Rumaisha Az-Zahra binti Abdul Aziz dengan mas kawin sebentuk cincin emas di bayar tunai!” “Saya terima nikahnya dan kawinnya, Rumaisha Az-Zahra binti Abdul Aziz dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!” “Sah?” “Sah!” Pernikahan itu, seperti rencana mereka, berjalan sangat sederhana. Pernikahan bawah tangan, hanya ijab qabul tanpa resepsi. Selamatan kecil-kecilan dan hanya dihadiri kerabat dekat saja. Namun, bagi Rumaisha ini adalah peristiwa besar dalam hidupnya. Seluruh tatanan hidupnya berubah total. Statusnya kini adalah seorang istri. Ia bukan lagi merpati yang bisa terbang bebas. Namun, kini ia terikat. Haru menyelimuti hati Rumaisha. Diciumnya takzim punggung tangan Agung yang telah resmi berstatus suaminya itu. Kepada sosok itu, mulai hari ini ia akan abdikan hidupnya. Mulai hari ini harus selalu ia dengarkan kata-katanya. Hati Rumaisha bergetar saat tangannya menggenggam tangan kekar Agung. Rasa hangat begitu saja menjalari hatinya, mengguncang dadanya hingga seketika jantungnya berdegup kencang tak berirama. Terlebih, tanpa ia duga tangan kekar itu mengusap lembut pucuk kepalanya. "Selamat, Rum." Suara Hanafi bergetar saat Rumaisha menghampiri saudara laki-lakinya itu. Matanya berkaca-kaca. Tampang jahil yang ia tunjukkan saat menggoda Agung sebelum ijab qobul diikrarkan tadi, berubah haru. "Sekarang kamu sudah sah menjadi istri Agung. Maka segala tanggung jawab tentangmu, berpindah kepadanya. Surgamu, ada padanya. Jika mungkin suatu saat kamu lelah, ingatlah bahwa ini adalah pilihanmu," ucapnya serak, "Menikah seyogyanya saling memberi dan menerima. Tapi, ada baiknya jadikan pola pikirmu untuk lebih banyak memberi daripada menerima, agar kamu bisa lebih legowo untuk tidak berharap lebih banyak. Sebab setiap yang kamu berikan secara tulus kepada suamimu, itu adalah jalan surgamu. Tidak ada wanita yang lebih baik, kecuali seorang istri yang selalu sabar terhadap suaminya." Diciumnya pucuk kepala adik bungsunya itu dalam. Rasa haru menyeruak di hatinya. Tunai sudah janjinya kepada mendiang kedua orang tuanya, untuk menjaga Rumaisha hingga ia berumah tangga. Meskipun alasan Agung menikah dengan Rumaisha adalah Naira, bukan cinta, tetapi ia dapat melihat pribadi itu merupakan laki-laki yang baik. Ia percaya, Agung tidak akan tega menyakiti Rumaisha. "Terima kasih, Bang." Rumaisha mencium punggung tangan Hanafi. Hatinya juga dipenuhi haru. Matanya pun berkaca-kaca. Ia tidak bisa menahan isak penuh haru yang membuncah di hatinya. "Mohon restu dari Abang," ucapnya serak. "Iya. Restu Abang selalu menyertaimu," balas Agung. Setelah Rumaisha, Hanafi beralih pada Agung. Dipeluknya hangat laki-laki yang resmi menjadi adik iparnya itu. "Abang titip Rumaisha. Tolong, jaga dia baik-baik. Tolong, jangan sakiti dia. Dia adik bungsu kami, kesayangan kami." "Insya Allah," balas Agung serak. Rumaisha adalah gadis yang baik. Bagaimana ia akan tega menyakiti wanita? Terlebih, sudah ada getaran-getaran halus yang menjalari hatinya setiap ia menatap Rumaisha, gelenyar-gelenyar aneh yang membuatnya bisa senyum-senyum sendiri. Setelah Hanafi, Agung dan Rumaisha sungkem kepada Fauzan dan Nurmala. "Selamat, Nak. Semoga Allah selalu merahmati kalian," ucap Fauzan. Ia memeluk putranya itu hangat dan haru. Dalam hati, doa yang dia ucapkan meresap lebih dalam. Laki-laki itu berharap, kehancuran rumah tangga Agung dan Maharani tidak akan terulang bersama Rumaisha. "Nah, setelah ini boleh pandang-pandangan sepuasnya. Luar dalam." Laki-laki itu masih sempat berkelakar dalam suasana khidmat itu, bahkan sambil mengusap air mata haru yang terbit dari sudut matanya. "Ibu titip Agung ya, Rum. Tolong, terima anak Ibu ini dengan segala kekurangannya." Nurmala memeluk Rumaisha hangat dan penuh kasih sayang. Diciuminya kedua pipi, dahi dan pucuk kepala gadis itu bertubi-tubi. "Terima kasih sudah mau menjadi menantu Ibu," ucapnya haru. Suaranya juga berubah serak. Wanita itu sebenarnya menyimpan luka yang dalam untuk Agung atas kepergian Maharani. Ia tahu betapa Agung mencintai istrinya itu. Oleh sebab itu, ia mencoba untuk segera mengobati luka hati Agung dengan menghadirkan Rumaisha. Nurmala percaya, kelembutan gadis itu akan mampu mengalihkan dunia Agung dalam waktu singkat. "Dan kamu, Gung. Jaga Rumaisha baik-baik. Dia gadis mulia, yang mau menerima kamu berawal dari kekuranganmu," ucapnya kepada Agung. "Insya Allah, Bu." Agung membalas pelukan Nurmala, mencium punggung tangannya, serta mengharap restu dari wanita yang telah melahirkannya itu. "Mohon restu," ucapnya tulus. "Semoga kalian Allah menjadikan kalian sakinah, mawadah, dan warahmah." Satu per satu, Agung dan Rumaisha menyalami orang-orang terdekat mereka yang hadir, istri Hanafi, juga Ardiyanti dan suaminya. Setelah itu, acara dilanjutkan dengan menikmati hidangan seadanya. Mereka bercengkrama, saling melempar cerita. Agung dan Rumaisha duduk berdampingan pada salah satu sisi dinding. Mereka menolak saat ditawari untuk ikut makan. Bagaimana bisa makan? Sementara hati mereka tak henti berdebar, geli, seperti dikelitik. Rasa lapar menguap, berganti lapar yang lain. Agung memberanikan diri meraih tangan Rumaisha dan menggenggamnya hangat. Sambil tersenyum, ditatapnya gadis yang tampak terkejut oleh tindakannya itu. "Ehem!" Tiba-tiba saja semua yang hadir paduan suara berdeham. Sontak Agung melepaskan genggaman tangannya. Ia tidak menyangka, jika semua mata memerhatikan mereka. Ia pikir, mereka semua fokus menikmati hidangan. "Sepertinya ada yang tidak sabar ini," celetuk Fauzan yang ditimpali tawa oleh segenap yang hadir. "Mengganggu saja!" sungut Agung. Ia berusaha menutupi salah tingkahnya dengan bersikap biasa saja. Padahal hatinya sangat malu. "Ya, sudah kalau begitu. Ayo dibawa masuk saja, Gung. bungkus ...." Fauzan terus menggoda. Dasar Bapak tidak ada akhlak. Agung mendengkus kesal.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD