"Aku tidak apa-apa,” cegah Rumaisha . Ia tidak mau mengambil resiko. Kasihan jantungnya jika ia membiarkan Agung memeriksa lukanya, lalu menyentuh kakinya.
"Oh, maaf," balas Agung. Entah mengapa tiba-tiba ia merasa gugup. Laki-laki itu beringsut mundur.
“Aku turunkan motor sampai bawah, ya. Kamu jalan sendiri bisa kan?” tanyanya sambil berusaha menata detak jantung.
“Bisa,” jawab Rumaisha sambil mengangguk.
"Oke."
Agung beranjak meninggalkan Rumaisha, menuntun pelan dan hati-hati kendaraannya hingga ke bawah. Sementara Rumaisha berusaha berdiri, menahan rasa sakit dan berjalan pincang menyusul Agung. Ia tidak bisa berhenti meringis. Kakinya terasa perih. Barangkali di balik celana kulotnya itu, terdapat luka.
"Maaf," ucap Agung lagi setelah Rumaisha sampai di dekatnya.
"Tidak apa-apa. Bukan salah Mas Agung. Memang jalannya licin," sahut Rumaisha.
"Sini jaketnya. Sudah tidak terlalu dingin lagi 'kan?" Agung mengulurkan tangan, meminta jaket kulit yang tadi ia pinjamkan kepada Rumaisha.
"Enggak." Rumaisha melepas benda itu dari tubuhnya, lalu menyerahkannya pada Agung. Laki-laki itu segera mengenakannya kembali.
"Naik," ucapnya kemudian, "Duduknya agak depan. Jangan terlalu belakang. Pegangan." Ia memegang kedua sisi jaketnya, memberi kode untuk Rumaisha agar berpegangan di sana.
Agung sengaja meminta jaketnya kembali agar Rumaisha leluasa berpegangan.
"Kalau duduknya agak jauh begitu, susah mengendalikan sepeda motornya," ucap Agung lagi setelah Rumaisha tetap kukuh duduk dengan menjaga jarak.
"Iya." Gadis itu beringsut maju, duduk menempel dan berpegangan pada kedua sisi jaket Agung. Ia menarik napas dalam sambil memejamkan mata beberapa saat, berharap di dalam sana jantungnya bisa berdetak tenang.
Sementara Agung ikut-ikutan menarik napas dalam. Ia pun tiba-tiba harus menenangkan jantungnya agar berhenti berdegup kencang. Laki-laki itu tidak mengerti, mengapa organ tubuhnya yang satu itu tiba-tiba berulah sejak jemari lembut Rumaisha tadi menyentuh tangannya. Ia bahkan seolah masih merasakan kelembutan itu di sana. Dan sialnya, dia menyukainya.
Sambil menjalankan sepeda motornya kembali, Agung melirik jemari yang tadi membuat ulah itu.
Shit!
Laki-laki itu bersumpah bahwa perasaannya sedang tidak beres. Hatinya kembali berdebar tidak karuan saat melihat jemari lentik, putih, dan bersih itu. Segera dialihkannya pandangan, berusaha untuk fokus hanya pada jalan. Akan tetapi, konsentrasinya terlanjur tidak fokus. Sepeda motornya kembali oleng dan mereka mencium tanah kembali.
Dalam perjalanan itu, entah berapa kali sepeda motornya tumbang dan mereka jatuh terguling.
Entah berapa kali pula kendaraan itu amblas di jalan yang sudah berubah menjadi kubangan lumpur karena ia salah memilih alur.
Rasa bersalah selalu datang ketika gadis yang bersamanya itu harus jatuh karena ia tidak mampu mengendalikan kuda besinya.
"Kamu tidak apa-apa?" tanyanya ketika lagi-lagi kendaraannya itu tumbang.
"Tidak apa-apa," sahut Rumaisha.
"Aku bantu." Agung menopang tubuh Rumaisha yang tampak sedikit kesusahan untuk berdiri.
"Aku tidak apa-apa," tolak Rumaisha halus. Namun, kali ini Agung tidak memedulikan penolakan gadis itu.
Ia tetap kukuh membantu dan memapah Rumaisha ke tepi jalan. Sejak tadi, dia sudah tidak mampu menahan diri untuk tidak melakukan kontak dengan gadis itu, sekadar untuk menuntaskan rasa hangat yang menjalari raganya.
Sambil mencuri lirik wajah di sampingnya, laki-laki itu tidak bisa menahan senyum terbit dari bibirnya. Entah mengapa, saat ini wajah itu tampak begitu menarik. Wajah itu begitu natural dan seketika membuatnya gemas.
Perjalanan normal yang hanya memakan waktu tiga jam, mereka tempuh dua kali lipat. Sepeda motor dan pakaian yang mereka kenakan, sudah berubah warna, bercampur lumpur dan tanah kuning.
Pukul 11.00 wib mereka tiba di kampung kelahiran Rumaisha. Sebagian besar warga di sana bekerja sebagai petani karet. Beberapa mulai melamar di perkebunan kelapa sawit yang baru mulai dirintis. Kampung ini masuk kategori desa tertinggal dan terpencil. Tidak ada listrik, tidak ada sinyal seluler.
Rumaisha membawa Agung ke rumah saudaranya. Kakak pertamanya, Ardiyanti dan abang keduanya, Hanafi. Mereka kebetulan ada di rumah, tidak menyadap karet karena hujan semalaman. Rumah kedua saudaranya itu terletak berdampingan.
Sebelum masuk ke rumah, Rumaisha mengajak Agung membersihkan diri di sungai. Sejuk suasana pedesaan amat terasa. Lingkungan yang masih rindang, serta sungai yang mengalir jernih.
"Pakai ini dulu, Mas. Biar kaosnya aku cuci." Rumaisha menyerahkan kaos oblong dan celana pendek kepada Agung. Tadi ia sempat meminjamkan laki-laki itu pakaian milik Hanafi. Meskipun mungkin baju itu sedikit kekecilan sebab postur tubuh Agung lebih tinggi dan besar dari Hanafi, tetapi paling tidak masih bisa dikenakan untuk sementara.
Rumaisha sendiri meminjam baju Ardiyanti untuk mengganti pakaiannya sementara, selagi baju yang ia kenakan dicuci. Siang ini cuaca cukup cerah. Cukup untuk mengeringkan pakaian mereka.
"Terima kasih," sahut Agung sambil menerima baju itu dari tangan Rumaisha.
Tidak ada akhlak, laki-laki itu membuka begitu saja baju yang ia kenakan, mempertontonkan otot-otot liat miliknya kepada Rumaisha.
"Astaghfirullah!" Rumaisha terpekik. Sebenarnya, di kampung ini dia sudah terbiasa melihat laki-laki bertelanjang d**a. Akan tetapi, berbeda halnya jika yang bertelanjang d**a itu Agung. Sensasi di hatinya terasa sangat berbeda. Dadanya bergemuruh, menciptakan hangat yang menggelitik seluruh sukmanya.
"Ada apa?" tanya Agung. Ia pun kaget mendengar pekikan Rumaisha.
"Eh, tidak apa-apa," jawab Rumaisha. Ia memalingkan wajah dari laki-laki itu, tidak sanggup terus menatap otot-otot liat yang begitu menantang itu. Hatinya tercemar, otaknya seketika mengajak Travelling.
"Kamu tidak ganti?" tanya Agung lagi. Wajahnya polos seolah tak berdosa, padahal ia telah menciptakan dosa di hati Rumaisha.
"Ganti, tapi nanti," sahut Rumaisha pelan. Tidak mungkin ia mengganti pakaiannya di depan laki-laki itu. Apa yang akan terjadi nantinya?
"Kalau Mas sudah selesai, duluan saja," lanjutnya.
"Ini tidak apa-apa kamu yang cuci?" Ia menunjuk pakaiannya ragu.
"Tidak apa-apa. Tinggalkan saja. Mas duluan."
"Iya. Ini aku simpan sini, ya." Agung meletakkan kaos dan celana panjangnya di atas jamban sungai itu.
"Iya." Rumaisha mengangguk.
Setelah Agung berlalu, Rumaisha menepuk-nepuk dadanya, menenangkan debar di hatinya sembari beristighfar.
"Astaghfirullahal'azim. Rezeki," ucapnya sambil terkekeh nakal.
Setelah mencuci pakaian dan membersihkan diri, Rumaisha menyusul Agung, kembali ke rumah Hanafi.
"Minum dulu, Mas." Ia menghidangkan teh hangat untuk Agung.
"Terima kasih," sahut Agung lembut. Sebuah senyum terbit dari bibirnya. Rumaisha terpaku. Senyum laki-laki itu tampak indah di matanya. Suaranya pun terdengar menghangatkan, tidak lagi dingin seperti tadi pagi.
"Eh, iya. Sama-sama," balasnya gugup, "Mas istirahat saja dulu sambil menunggu waktu Zuhur. Pasti lelah 'kan?"
Rumaisha beranjak hendak meninggalkan Agung dan kembali ke dapur.
"Kamu tidak istirahat?" Agung menahan langkah gadis itu. Entah mengapa ia menginginkan Rumaisha tetap duduk di sana dan menemainya.
Ia mengutuk hatinya sendiri, mengapa jadi aneh begini? Mengapa ia menginginkan Rumaisha berada di dekatnya?
"Kamu pasti capek juga 'kan?" tanyanya lagi. Dan lagi-lagi ia mengutuk diri, mengapa kalimat perhatian itu meluncur begitu saja dari bibirnya?
"Mmm ... aku mau mengobrol sama kakak di dapur," balas Rumaisha tak pelak membuat relung hatinya kecewa.
"Ya, sudah." Ia mendesah lemah, membiarkan Rumaisha berlalu, menatap sosok yang menjauh itu dengan penuh debar di hatinya. Setelah bayang gadis itu menghilang di ujung ruang, ia menggeleng beberapa kali. Ada apa dengan dirinya?