Rumaisha melangkah pelan menuruni anak tangga lantai dua rumah Fauzan, menuju laki-laki yang sedang duduk terpekur menunggunya di teras.
Jantungnya berdegup cepat tatkala jarak semakin dekat. Sudut-sudut hatinya berdesir, menimbulkan sensasi geli seolah ada yang menggelitik.
“Kamu sudah siap?” Laki-laki yang sedang duduk dengan kedua kaki sedikit membuka, kedua siku menopang pada paha, sementara kedua tangan saling menggenggam di depan d**a itu bertanya dingin. Ia bahkan tidak menoleh, hanya melihat kehadiran Rumaisha dari ekor matanya saja.
Rumaisha menelan ludah. Ia mengutuk perasaannya sendiri. Begitu berat ia menata hati karena akan bertemu dengan laki-laki ini, tetapi sikap yang ia terima begitu menyedihkan. Agung sebegitu tidak peduli padanya.
“Sudah,” jawabnya gugup.
Ah, lihatlah. Ia tetap saja gugup meskipun Agung menunjukkan sikap yang tidak bersahabat.
Hari minggu ini Rumaisha akan membawa Agung bertemu dengan keluarganya. Bakda subuh ia telah bersiap. Gadis itu mengenakan tunik kuning kunyit dengan hijab senada, dipadu celana kulot plisket hitam. Oleh karena akan melakukan perjalanan jauh, Rumaisha melengkapi diri dengan jaket cukup tebal berwarna hijau pupus. Kaos kaki dan sepatu kets tak ketinggalan membungkus kakinya.
Sedangkan Agung terlihat gagah dengan celana jeans biru berel, kaos putih dan jaket kulit hitam. Sepatu boot terpasang di kaki panjangnya, untuk berjaga-jaga jika hujan turun.
Medan perjalanan yang akan mereka tempuh belum dilakukan pengerasan, sehingga ketika hujan akan menyebabkan becek. Sepatu boot dapat membantu berpijak tanpa khawatir licin.
“Tapi sebelumnya aku ingin bicara,” ucap Agung lagi, "Duduk." Laki-laki itu memberi titah dengan arogan, meminta Rumaisha duduk di kursi yang ada di sampingnya.
“Sebelum kita terlanjur bertemu dengan keluargamu, aku ingin kamu tahu bahwa aku memang membutuhkan pernikahan ini, tapi jujur, aku tidak menginginkannya," ucapnya pelan, tetapi penuh penekanan, “Naira adalah satu-satunya alasan pernikahan ini."
Agung menatap gadis yang duduk di sampingnya itu sejenak.
"Jadi masih ada kesempatan untukmu menolak pernikahan ini," lanjutnya kemudian.
Rumaisha menarik napas dalam. Setiap ucapan laki-laki itu sejatinya menggores perih sanubarinya. Dia tahu bahwa Agung terpaksa menikahinya karena permintaan Fauzan dan Nurmala. Akan tetapi, tidak bisa kah laki-laki itu menjaga perasaannya dengan tidak menyampaikan hal itu secara langsung?
"Tidak. Aku sudah menerima pernikahan ini, tidak mungkin aku batalkan," balas Rumaisha tegas.
“Apakah benar kamu bersedia merawat Naira dengan tulus dan penuh kasih sayang?” tanya Agung ragu,
“Kamu tahu bukan, butuh ketekunan dan kesabaran ekstra dalam merawat Naira. Dia anak berkebutuhan khusus. Bahkan ibunya saja menolaknya, menyebutnya cacat dan i***t!”
Agung bicara sedikit emosi. Mengingat semua penolakan Maharani dan keluarganya, hatinya masih terasa sakit. Lalu bagaimana bisa seorang perempuan asing, tidak mempunyai ikatan darah bisa menerima putrinya?
"Ya. Aku tahu. Mas Agung tidak perlu khawatir. Aku akan merawat Naira dengan segenap kasih dan sayangku," balas Rumaisha pelan.
Agung menghela napas, "Pikirkan baik-baik. Jangan gegabah," ucapnya kesal.
"Aku sudah memikirkannya dengan sangat baik. Bukankah aku sudah meminta waktu tiga hari kepada Bapak waktu itu?"
“Tidak seharusnya kamu terjebak dalam pernikahan ini, Rumaisha. Percayalah kamu akan terluka. Aku sama sekali tidak mencintaimu.”
Gadis itu menggeleng, “Pernikahan tidak harus selalu di awali dengan cinta. Aku percaya bahwa cinta akan tumbuh seiring kebersamaan. Dan aku sudah memutuskan menerima lamaran Pak Fauzan untuk Mas Agung,” ucapnya pelan.
Agung kembali menatap gadis itu. Dia memang sangat membutuhkan Rumaisha saat ini. Namun, rasanya tidak sampai hati jika harus mengorbankan gadis sebaik Rumaisha dan membawanya ke dalam masalah pribadi. Apalagi mengikatnya dengan pernikahan tanpa cinta.
“Kalau begitu ayo lah,” ucap laki-laki itu pasrah. Ia beranjak, lalu menstarter sepeda motornya.
"Kalian sudah mau berangkat?" Tiba-tiba Nurmala muncul dari balik pintu, disusul Fauzan di belakangnya.
"Iya, Bu," balas Agung dan Rumaisha bersamaan.
"Wah, sudah kompak. Pertanda bagus ini. Memang jodoh kayaknya," goda Fauzan jahil. Rumaisha tersipu malu menanggapi kelakar Fauzan, sementara Agung hanya bergeming.
"Ya, sudah. Berangkatlah. Hati-hati," ucap Nurmala lagi.
"Kami pamit, Bu." Rumaisha mengulurkan tangan kepada Nurmala dan mencium punggung tangan wanita itu.
Hati gadis itu kembali berdebar ketika ia menjejakkan tubuh di belakang Agung. Aroma maskulin laki-laki itu menguar, menyapu dalam indera penciumannya.
Beberapa kali ia menghela napas dalam, menetralkan jantung yang bertalu dari dalam rongga dadanya. Entah bagaimana ia akan menghadapi situasi itu hingga beberapa jam ke depan. Andai saja Agung bersikap lebih hangat, tentu semuanya akan sangat menyenangkan.
Udara subuh terasa dingin membelai kulit. Meskipun sudah melengkapi diri dengan jaket yang tebal dan kaos tangan, dingin itu masih terasa. Tanpa sadar, Rumaisha mendesis, giginya bergemeletuk karena dingin itu seolah sampai ke sumsum tulangnya. Agung menghentikan kendaraan.
"Kenapa, Mas?" tanya Rumaisha heran. Tanpa menjawab, Agung melepas jaket kulitnya, lalu memberikannya pada Rumaisha.
"Pakai!" titahnya dingin.
"Hah?" Rumaisha menerima jaket kulit yang terulur padanya dengan ragu.
"Pakai!" ulang Agung lagi.
"Tapi aku sudah pakai jaket, Mas," tolak Rumaisha. Walaupun sebenarnya dia mau sebab memang rasanya sangat dingin, tetapi dia tidak enak hati. Laki-laki itu pasti akan lebih kedinginan karena berada di depan tanpa mengenakan jaket.
"Tidak cukup. Kamu kedinginan," balas Agung kukuh.
"Mas Agung sendiri bagaimana?"
"Jangan pikirkan!"
Agung merasa tidak sampai hati ketika mendengar desis kedinginan dari bibir Rumaisha. Apalagi saat terdengar giginya bergemeletuk. Jiwa melindungi dari dalam dirinya terusik. Biarlah dia yang kedinginan. Gadis di belakangnya harus tetap merasa hangat dan nyaman.
Enggan berdebat, akhirnya Rumaisha menurut. Ia mengenakan jaket kulit hitam itu dengan jantung yang semakin bertalu. Benaknya berkelana, membayangkan sisa tubuh Agung melekat pada jaket itu, lalu mendekap hangat dirinya.
"Astaghfirullah." Rumaisha mengucap dalam hati, menepis pikiran nakal yang seketika berkelebat.
"Sadar, Rumaisha. Belum halal."
Perjalanan satu setengah jam ke depan masih melewati jalanan aspal dan akan membawa mereka ke desa Serimbu. Setelah sampai di Serimbu, perjalanan akan melewati jalan lokasi.
Dulu ketika awal dirintis, jalan ini hanya cukup untuk satu ban motor saja. Masih banyak akar-akar pohon yang menghadang di tengah jalan. Namun setelah beberapa tahun, perusahaan perkebunan kelapa sawit datang sehingga jalan mulai dilebarkan.
Meskipun sudah dilebarkan, jalan tetap sulit dilewati. Pada banyak titik masih didapati bebatuan cadas. Pada titik lain, yang merupakan daerah dataran rendah, terdapat jalan yang lebih mirip dengan kubangan.
Sementara jalan yang merupakan tanjakan, aliran air dan bekas ban kendaraan membentuk parit-parit kecil yang menyulitkan ban sepeda motor berpijak. Apabila hujan, jalan akan semakin sulit karena menjadi sangat licin. Tak jarang pengemudi beserta sepeda motornya jungkir balik bahkan berguling-guling hingga ke bawah.
Sebuah usaha yang cukup keras harus dilakukan Agung untuk bisa menemui keluarga Rumaisha. Laki-laki ini bahkan jarang mengendarai sepeda motor. Dia lebih sering menggunakan mobil jika bepergian.
Satu jam setengah perjalanan terlewati dengan lancar. Jalan dari Ngabang menuju Serimbu sangat mulus. Tidak ada halangan berarti. Pukul 06.00 wib, setelah sampai di Serimbu, mereka mulai memasuki tantangan. Agung menghentikan sepeda motornya sejenak. Menarik napas dalam-dalam seolah ingin mengambil pasokan energi yang cukup untuk melewati Medan yang berat itu.
“Kalau kita jatuh bagaimana?” tanyanya pada gadis di belakangnya.
“Kalau jatuh ya sakit," jawab Rumaisha sekenanya.
“He he."
Tanpa sadar Agung terkekeh spontan. Suaranya terdengar lepas dan renyah.
"Kamu sudah pernah jatuh lewat sini?” tanya Agung lagi.
“Sering.”
“Oh, begitu? Oke. Berarti kalau kita jatuh tidak apa-apa, ya?"
“Hmm." Rumaisha mengangguk.
"Karena terus terang aku sedikit takut ini,” ujar Agung sambil menstarter kembali sepeda motornya.
Rumaisha membenarkan posisinya. Duduk senyaman mungkin, tetapi berusaha untuk tidak menempel. Posisi duduk ini sebenarnya menyulitkan Agung untuk leluasa menyeimbangkan sepeda motor, karena body kendaraan akan terasa lebih kaku.
“Sepertinya habis hujan tadi malam,” gumam Agung. Jalan memang tampak basah, bau tanah pun menyeruak.
Rumaisha menghela napas dalam. Dia sudah paham kondisi medan yang akan mereka lalui, tahu bagaimana beratnya perjalanan yang akan ditempuh dengan kondisi selepas hujan.
Agung mengendarai sepeda motornya dengan pelan, berupaya menyeimbangkan ban sepeda motor agar tidak tergelincir. Jika salah sedikit saja bisa fatal akibatnya. Jalan yang mereka lalui umumnya terletak di daerah tinggi dengan kiri atau kanan berupa jurang. Jika tergelincir dan masuk jurang, tamatlah episode kehidupan mereka.
Tantangan pertama yang mereka hadapi berupa jalan turunan. Sebenarnya tidak terlalu terjal, hanya saja terdapat banyak batuan besar di sepanjang turunan. Terdapat banyak parit-parit sebesar ban motor akibat tanah yang basah dipaksa dilewati.
Selain itu, bekas aliran air hujan juga membentuk parit-parit kecil yang lumayan dalam, ditambah kondisi tanah yang basah sisa hujan semalam menyebabkan jalan menjadi licin.
Agung masih mengendarai sepeda motornya perlahan. Terus terang nyalinya semakin ciut. Apalagi Rumaisha selalu bergerak untuk membenarkan posisi duduk agar tidak menempel dengannya.
Jalan turunan tentunya memaksa tubuh Rumaisha selalu terdorong ke depan. Keinginan gadis itu untuk berusaha keras menahan agar tubuhnya tidak menempel membuat motor terasa tegang. Hal ini tentu menyulitkan Agung mengendalikan gerak kendaraan.
Akhirnya ban motor itu terpeleset juga. Tidak bisa dikendalikan, motor itu pun tumbang dan terseret. Agung jatuh ke samping dan berguling beberapa kali.
Sementara Rumaisha jatuh, kakinya mengenai salah satu batu. Gadis itu meringis.
Agung segera bangkit. Tubuhnya pun terasa sakit, tetapi berusaha ia tahan. Lekas dia membenarkan posisi motor agar bahan bakar tidak banjir. Jika sepeda motor bermasalah, mereka bisa menginap di jalan. Setelah itu dia bergegas menghampiri Rumaisha yang masih meringis.
“Maaf,” ucapnya khawatir, “Mana yang sakit? Kakimu sakit?”
“Iya."
“Aku periksa,” ucap laki-laki itu. Tangannya refleks akan memegang kaki gadis di depannya.
“Eh, jangan!" Refleks pula Rumaisha menepis. Lembut jemari gadis itu menyentuh tangan kekar Agung. Laki-laki itu tersentak. Ada yang menyengat ketika ia merasakan kulitnya beradu dengan jemari Rumaisha. Sesuatu yang menjalar, memberi rasa hangat untuknya sebagai laki-laki normal.
Agung tercekat, jantungnya tiba-tiba berdegup kencang.