Bab 10. Dendam kesumat

1359 Words
"Bi, kamu ikut Kak Alex lagi ke kantor?" Bianca menoleh pada arah kepergian Alex tadi. "Enggak tahu, Brian. Aku nanti tanya Kak Alex dulu deh." "Kamu masih sakit, seharusnya kamu di rumah saja istirahat. Nanti aku yang bilang sama Kak Alex deh." Bianca hanya mengangguk mengiyakan. Sebab, Bianca memang tidak ingin ikut ke kantor Alex lagi. Tubuhnya seolah begitu lelah dan ingin istirahat. Alex kembali dengan pakaian yang sudah rapi. Bianca dan Brian pun menoleh. Brian langsung berdiri menghampiri sang kakak. "Kak, biarkan Bianca istirahat di sini. Kondisinya masih sakit, bukan? Kasihan dia." Alex tak menyahuti ucapan Brian. Alex hanya menoleh pada Bianca sekilas, lalu mengambil tasnya dan beranjak pergi. Namun, langkahnya terhenti saat Bianca memanggilnya. "Kak Alex, tunggu!" Bianca menghampiri Alex sedikit tertatih, lalu membenarkan dasi pria jangkung itu karena nyatanya Alex memang tidak pandai memakai dasi, biasanya pun Alex selalu tak rapi jika memakai dasi sendiri. "Sudah, hati-hati, ya." Alex ingin sekali menepiskan tangan Bianca saat gadis itu mengecup punggung tangannya karena hatinya masih sakit. Namun, ingat ada Brian yang Alex yakini menyukai Bianca, Alex tak ingin kalah lagi dari sang adik. Setelah Bianca mengecup punggung tangannya, Alex mengecup kening Bianca. Brian mengepalkan tangannya melihat adegan itu. Sedang Bianca berdiri mematung begitu terkejut dengan apa yang dilakukan oleh Alex. Tentu saja Bianca terkejut oleh sikap manis yang tiba-tiba dari pria dingin itu. "Aku pergi," ujar Alex, lalu melangkahkan kakinya dengan begitu mantap melihat tatapan Brian yang tidak menyukainya. Ya, setelah Alex bergelut dengan amarahnya tadi. Alex memutuskan untuk mempertahankan Bianca. Alex pikir Bianca adalah istrinya dan Alex lah pemilik gadis itu, bukan Brian. Untuk itu, dan untuk kali ini, Alex tidak akan mengalah pada Brian dan akan bersaing dengan sang adik secara jantan. "Iya, hati-hati, Kak." Bianca menoleh pada Brian yang menatapnya tak suka, lalu gadis itu menunduk bingung dengan apa yang terjadi barusan. "Apa dia salah minum obat?" gumamnya masih memikirkan sikap aneh Alex. "Bi, aku pun harus ke kantor. Aku janji nanti siang aku ke sini lagi. Kamu istirahatlah, jangan banyak melakukan pekerjaan berat, okey." Brian mendekatkan dirinya pada Bianca cenderung ingin mengecup kening gadis itu seperti halnya Alex. Namun, nyatanya Bianca malah menghindarinya. Brian kecewa, tapi pria itu sadar jika Bianca memang bukan gadis pada umumnya yang akan mau dengan sukarela memberikan wajahnya untuk Brian kecup. "Ya sudah, aku pergi, Bi." "Hati-hati, Brian." Bianca tersenyum manis pada pria itu, lalu menutup pintu kamar hotel itu dan kembali terduduk bingung dengan memegang memegang kening yang dikecup Alex tadi. "Ya Tuhan ... kenapa aku geer sekali, sih? Ah, sudah ah aku beres-beres kamar dulu." "Ngomong-ngomong, kapan Kak Alex pembawa ku pulang dari hotel ini, ya?Bukannya ini hotel? Kenapa enggak pulang-pulang sih? Apa enggak mahal bayarnya?" Bianca masih sibuk dengan pikirannya memikirkan biaya sewa di hotel itu. Bianca tidak tahu saja jika hotel itu memang milik Royal Company dan itu artinya milik suaminya. Bianca pun mulai merapikan baju-baju bekas pakai Alex yang seperti biasanya selalu berantakan. Setelah itu Bianca merapikan kamar itu dengan telaten. Tiba di tong sampah, Bianca tertegun sejenak karena mendapati plastik berisikan box yang tadi Alex bawa. Bianca mengambilnya lalu membuka bungkusan itu. "Astaghfirullah, ini kan?" Dada Bianca kembang kempis mengingat kembali kejadian tadi pagi. Sejak dirinya bangun yang mencari keberadaan Alex yang tidak diketahuinya. Lalu Alex pun datang dengan membawa tentengan itu. tentengan yang nyatanya berisi bubur. "Apa ini artinya ...." Bianca yakin bubur itu sebenarnya untuk dirinya, tapi Brian sudah membawakan bubur itu lebih dulu. "Tapi kenapa kak Alex tidak memberikannya padaku? Kenapa harus membuangnya, coba?" Bianca kembali memutar memorinya saat Alex membawa dirinya ke rumah besar keluarga sang suami. Di mana Di sana Alex seperti tidak disenangi oleh orang tuanya. Bukan tidak mungkin jika hubungan Alex dengan Brian pun tidak jauh berbeda, bukan? Bianca menatap bubur itu dengan sendu. "Kasian buburnya, kan? Eh, kok kasihan buburnya sih? Maksudnya kan sayang buburnya kalau dibuang. Kasihan juga sih Kak Alex nya. Tapi ...." Bianca bingung akan sikap Alex yang berubah-rubah. Kemaren pagi sikapnya agak manis, siangnya udah kaya setan. Eh, sekarang manis lagi. "Sebenarnya Kak Alex itu baik apa enggak sih?" Ting! Tong! Kening Bianca mengerut mendengar suara bel berbunyi. "Siapa kira-kira? Bukankah Kak Alex sama Brian sudah pergi?" "Dasar Bianca, tidak perlu banyak bertanya sih, buka saja, napa," ujar Bianca merutuki dirinya sendiri, lalu beranjak melihat siapa yang menekan bell. "Siapa?" "Nyonya, saya di suruh Tuan Alex menjemput Nyonya." "Kak Alex?" Bianca pun membuka pintu. Nampak satu orang pria dan satu orang wanita berpakaian formal membungkukkan badan pada gadis itu. "Nyonya, saya Roy, saya diperintahkan oleh Tuan Alex untuk menjemput Anda." "Dan saya Mona, diperintahkan oleh Tuan Alex untuk membuat Anda cantik." Bibir Bianca naik sebelah mendengar wanita cantik itu bicara. "Oh, jadi saya ini memang tidak cantik menurutnya? Terserahlah. Lagian ya, Mbak. Saya itu gak peduli, mau dia bilang cantik mau dia bilang jelek juga, orang saya pun tidak suka padanya." Wanita cantik itu melongo mendengar ucapan Bianca. Begitu pun dengan pria di sebelahnya. Mereka saling lirik meminta jawaban, namun keduanya hanya menaikkan bahu mereka tanda tidak tahu. "Tapi kalau dia mau buat aku cantik, boleh aja sih. Kali aja ada yang naksir, ya, he he." Mona tersenyum tipis walau masih belum mengerti akan sikap konyol dari sang nyonya. "Ya sudah, kita berangkat, Nyonya." "Hah? Berangkat sekarang? Aku belum mandi." Roy dan Mona tersenyum lebar sedikit tertawa karena nyatanya sang nyonya begitu menyenangkan. "Nyonya bisa mandi di rumah baru Nyonya nanti. Sekarang kita berangkat!" "Tunggu!" Bianca mengamati dua orang itu dengan tatapan penuh selidik. "Kalian orang baik-baik, bukan? Kalian tidak berniat untuk menculikku, bukan?" Terlihat pelayan cantik bernama Mona itu menghela nafasnya kasar, lalu mengeluarkan handphonenya dan menghubungi seseorang. "Tuan, seperti yang Anda duga. Nyonya Bianca takut jika kami adalah penculik." Kening Bianca kembali mengerut mendengar pelayan cantik itu tengah melakukan panggilan telepon. Lalu wanita itu pun memberikan handphonenya pada Bianca. Sontak Bianca terkejut karena nyatanya Alex tengah melakukan video call dengannya. "Dasar gadis bodoh! Sudah kubilang tidak akan ada yang tertarik padamu. Mereka orang-orangku, jadi jangan bicara dan ikuti semua yang mereka katakan, mengerti!" ujar Alex dalam panggilan video call itu, lalu mematikannya secara sepihak. Bibir Bianca kembali mengerucut. "Huh, gitu aja marah. Cepet tua baru tahu rasa kamu, Kak." Roy dan Mona menahan tawa mereka karena sang Nyonya memang begitu lucu. "Jadi bagaimana, Nyonya? Kita berangkat sekarang?" "Tapi aku belum membereskan barang-barangku." "Bawa barang-barang penting saja, Nyonya. Seperti dompet dan handphone. Untuk baju, tidak usah bawa karena Tuan bilang jangan sampai Anda membawa sehelai benangpun dari sini," tutur Roy. "Haaah, oh em ji. Apa itu artinya aku pun tidak perlu memakai baju?" Sontak kedua pelayan itu kembali melongo mendengar candaan Bianca. Sedetik kemudian Bianca tertawa melihat reaksi dari kedua insan itu. Mereka akhirnya sadar jika Bianca tengah bencanda. "Roy, aku kayanya harus sedia obat sakit kepala deh," ujar Mona pada teman prianya yang bernama Roy itu. "Ya, bener, Mon. Kepala ku sudah kleyengan dari sekarang malah." Roy menatap Mona penuh arti, pada akhirnya mereka pun tertawa menertawakan sikap sang Nyonya. "Handphone dan dompet saja, kan? Ini sudah. Yok, lah kita let's go!" Selama dalam perjalanan menuju tempat yang dikatakan oleh Mona dan Roy, Bianca tidak banyak bicara seperti yang diperintahkan oleh Alex. Tiba di satu perumahan elit bertuliskan 'Elite housing goes international' mobil yang Bianca tumpangi masuk. "Woow, apa ini artinya perumahan dengan desain-desain internasional, Mon?" Mona tersenyum tipis mendengar pertanyaan Bianca. "Benar, Nyonya. Anda akan tinggal di kawasan ini mulai sekarang." Bianca menatap takjub bangunan-bangunan mewah itu. "Oh my God... this is beautiful." Bibir Mona dan Roy hanya tersenyum tipis ikut senang karena yakin jika sang Nyonya orang yang menyenangkan tidak seperti Melinda. Mobil pun berhenti, lalu memasuki sebuah pekarangan yang sangat luas. Terdengar suara hembusan napas dari Bianca melihat semua itu. "Amazing, ini terlalu indah." Mona dan Roy keluar, lalu Roy pun membukakan pintu mobil untuk Bianca. "Silahkan, Nyonya. Kita sudah sampai." Bianca terus tersenyum lebar lalu berdiri mematung menatap keindahan dan kemewahan rumah yang ada di depannya. "Ya Tuhan ... ini surga kah?" Senyuman Bianca perlahan pupus melihat wanita yang statusnya adalah ibu mertuanya keluar dari mobil bersama Christina. "Kenapa rasanya selalu deg-degan melihatnya, ya? Seperti punya dendam kesumat saja," ujar Bianca berusaha menetralkan detak jantungnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD