Alex keluar dari kamar mandi setelah tidak terdengar suara Brian lagi. Diedarkannya pandangan Alex mencari sosok wanita yang telah disakitinya dengan tatapan penuh ego.
"Kak Alex, ini bajunya."
Alex segera kembali pada wajah datarnya. Padahal sebelumnya Alex begitu cemas jika Bianca ikut pergi bersama Brian. Adik yang selalu mendapatkan semua keinginannya termasuk kasih sayang dari kedua orang tuanya.
"Simpan, saja. Aku belum ingin pakai baju," ujarnya langsung berjalan menjauhi Bianca, padahal bibir matanya memprihatikan jalan Bianca yang sedikit tertatih karena luka panas yang Alex torehkan tadi siang.
"Ya sudah, apa ada yang Kak Alex inginkan lagi? Jika tidak, aku mau mandi."
Alex heran pada gadis itu. Mengapa gadis itu keras kepala sekali. Bianca masih saja mau melayaninya, padahal Alex sudah berbuat kelewat batas.
"Tidak, aku hanya mau nyari udara segar."
Bianca mengangguk ragu. "Tapi bukannya Kak Alex habis mandi? Apa masih kurang udara segarnya?"
Alex menelan salivanya karena ketahuan berbohong. "Ck, apa urusanmu? Kalau mau mandi ya mandi saja."
Bianca langsung menunduk. "Iya, maaf. Aku mandi."
"Ya Tuhan ... kenapa dia bersikap seperti anak kecil, sih? Dia bilang aku ini bodoh, tapi nyatanya aku rasa dia lebih bodoh dariku," ujar Bianca terus merutuki Alex dalam hatinya karena tidak berani jika harus merutuki pria itu secara langsung.
"Bianca, apa yang kamu pikirkan?"
Bianca sedikit terkejut karena sepertinya Alex tahu apa yang dipikirkannya. "Hah, aku? Tidak ada, aku mau mandi."
Alex memutar bola matanya. "Tidak usah bohong, pasti kamu memikirkan Brian bukan? Jika tidak, kenapa kamu sampai lupa jalan ke kamar mandi?" ujar Alex dengan tidak suka.
"Haaah? Ya Tuhan ... apa-apaan kamu ini Bianca." Bianca menepuk keningnya berkali-kali merutuki kebodohannya. "Bisa-bisanya aku malah salah arah? Tapi apa tadi? Memikirkan Brian? Dasar fitnah."
Alex terlihat uring-uringan. Alex sadar keberadaan Bianca di sisinya memberikan warna dalam kehidupannya. Walaupun Alex sering mengatakan Gadis itu bodoh dan hanya pelampiasan akan kemarahannya pada Melinda. Namun, Alex sadar, keberadaan Bianca membuat hari-harinya berbeda.
"Argh!!" Alex terus merutuki dirinya yang tidak bisa berbuat lembut seperti Brian pada Bianca.
Alex sadar, dirinya memang tidak pernah bisa mengambil hati seseorang seperti Brian. Termasuk hati kedua orang tuanya sekalipun, selain Melinda. Namun, nyatanya Melinda pun pergi meninggalkan Alex tanpa sebab yang jelas.
Watak Alex memang berbeda dari Brian. Alex begitu datar cenderung dingin, tapi watak itulah yang membuat dirinya bisa dipercaya oleh sang nenek untuk memimpin perusahaan keluarga mereka. Sebab, dengan karakter Alex yang seperti itu, membuat pesaing bisnisnya tidak bisa berbuat banyak jika Alex sudah bertindak.
Berbeda dengan Brian yang sangat ceria dan humoris. Brian juga perhatian. Sehingga banyak wanita yang menyukai pria itu selain karena wajahnya yang tampan.
"Aku dan Brian memang berbeda, bukan?" Alex mengusap wajahnya merasa kembali prustasi karena kembalinya sang adik ke negara mereka membuatnya memiliki pesaing kembali.
Kreat ...
Bianca keluar dari kamar mandi dengan ringisan dan jalan yang semakin tertatih. "Aw, aduuh perih banget sih," lirih Bianca, membuat Alex menajamkan pendengarannya. "Kenapa aku ceroboh sekali sih? Sampai kepeleset."
Pada akhirnya Alex menoleh pada Bianca yang tengah terduduk di sisi ranjangnya dengan mengipasi luka di pahanya. "Kamu kenapa?"
Bianca menelan salivanya, lalu segera menutupi luka itu agar Alex tidak melihatnya. "Tidak ada, aku tidak apa-apa."
Alex bangkit dari duduknya, lalu menghampiri Bianca dan menatap paha yang tadi siang Alex siram pake air panas. "Buka!"
Bianca terbelalak mendengar sentakan Alex. "Apa maksudnya, Kak Alex?"
Alex berdesis karena Bianca seperti ketakutan melihatnya. "Aku bilang buka lukanya, Bianca!"
Bianca langsung menutupi paha yang terluka itu dengan kedua tangannya. "Tidak, Kak. Ku mohon jangan lakukan apapun untuk sekarang."
"Apa maksudmu, sih? Buka Bianca!"
"Kak, sungguh ini perih banget. Aku mohon jangan lakukan apapun untuk sekarang. Tapi kalau Kak Alex memang masih belum puas, bunuh saja aku sekalian, Kak!"
Alex mengepalkan tangannya karena nyatanya Bianca memang menganggap Alex akan melukainya lagi. Alex sadar dirinya memang salah karena sudah melukai Bianca dan membuat Gadis itu takut padanya. Alex tak menghiraukan sentakan Bianca, pria itu terlalu mengambil sesuatu dari laci, lalu menarik paha Bianca.
"Jangan!" Bianca akhirnya pasrah karena nyatanya Alex bukan ingin melukainya, tapi justru mengobati luka itu.
"Kamu boleh berteriak jika ini memang sakit," ujar Alex saat mulai mengolesi salep pada paha Bianca.
Bianca menggigit bibir bawahnya, lalu meremas lengan Alex saat menahan sakitnya. "Perih, Kak."
Alex menatap wajah gadis itu dengan perasaan penuh penyesalan. Pria itu menyesal karena harus mengikuti egonya sehingga selalu ingin menyakiti gadis tak bersalah karena amarahnya pada Melinda. Bianca yang malang, yang bahkan seperti tidak diinginkan oleh keluarganya.
"Sudah selesai, sekarang singkirkan kepalamu dari bahuku," ujar Alex datar.
Bianca segera sadar dan mengambil tangannya dari lengan Alex. "Maaf. Terima kasih karena sudah mengobatiku."
"Bukankah kalian tadi dari Dokter? Mana obatnya?"
Kening Bianca sedikit mengerut. "Kak Alex tahu kami dark dokter dari mana?"
Alex menelan salivanya karena kembali keceplosan. "Hanya menebak saja."
Bianca mengangguk mengiyakan. "Iya, tadi dari dokter. Tapi enggak tahu obat itu sepertinya ketinggalan di mobil Brian deh."
Alex beranjak dari duduknya sedikit menjauh dari Bianca. "Makanya jangan pacaran terus, sampai lupa sama obat sendiri, bukan?"
Kening Bianca kembali mengerut, kali ini bibirnya mengerucut tak suka psa tuduhan Alex. "Apa maksudnya? Siapa juga yang pacaran, coba? Huuh, fitnah aja kerjaannya."
"Apalagi kalau buk--"
"Stop!" Bianca menyimpan jarinya di bibir Alex walau dengan berjinjit. "Terserah apa yang Kak Alex pikirkan tentang aku dan Brian, aku mau tidur."
Alex menatap punggung Bianca yang mulai membaringkan tubuhnya di sofa. Alex memalingkan wajahnya kembali sadar jika dirinya memang egois. Pria itu begitu egois karena membiarkan seorang wanita tidur di sofa sedangkan dirinya tidur di kasur empuk yang nyaman juga luas. Namun, untuk mengatakan agar Bianca tidur di kasur saja, nyali Alex begitu ciut karena takut wibawanya sebagai pria cool jatuh.
Menit demi menit, akhirnya terdengar suara dengkuran halus dari Bianca. Alex memakai bajunya, lalu menghampiri Bianca dengan ragu. Ditatapnya wajah lelah Bianca dengan berbagai sesal, lalu Alex pun menatap luka di paha Bianca.
"Maaf, maaf karena sudah melukaimu." Alex pun membawa Bianca ke bad king size-nya.
***
Matahari sudah bersinar. Mata Bianca mulai berkedip karena silau terkena matahari itu. Bianca meraba-raba keberadaannya saat ini yang tidak lagi sama seperti saat dirinya hendak tidur semalam.
"Kok aku di sini? Bukannya aku tidur di sofa?" Bianca menoleh pada arah sofa yang biasanya Bianca pake tidur. "Tidak mungkin aku ngigo sambil berjalan ke sini, bukan? Enggak enggak, itu enggak mungkin. Tapi ...."
Bianca segera turun dari ranjangnya lalu mencari Alex. Namun, nyatanya Alex sudah tidak ada. Bianca sampai bingung mengapa dirinya tidur terlalu kebluk sehingga tidak tahu apa yang terjadi.
"Ya Tuhan ... apa yang terjadi sebenarnya? Kak Alex kemana?"
Bianca menatap ke arah nakas, handphone Alex masih ada. Tas kerjanya juga masih ada. Lalu, kemana Alex?
Ting! Tong!
Bianca segera membuka pintunya. "Kak Al- Brian?"
"Good morning, he he. Kenapa? Kamu pasti terkejut kan pagi-pagi aku sudah berada di sini?" Brian langsung nyelonong masuk, sedang Bianca menoleh ke kanan dan kiri berharap Alex berada di belakang Brian, tapi nyatanya tidak ada.
"Kak Alex kemana?"
Bianca menggelengkan kepalanya. "Itu dia, aku tidak tahu dia kemana. Aku kesiangan dan saat bangun, Kak Alex sudah tidak ada."
"Eem ... dia memang kadang seperti jaelangkung. Tapi biarlah, kita sarapan dulu, aku bawain kamu bubur sekalian bawa obat milikmu. Maaf obatnya ketinggalan di mobil, he he."
Plak!!
Bianca menampar paha Brian pelan. "Dasar nakal! Aku sampai harus menahan sakit karena obatnya tidak ada. Untung saja ...."
Ucapan Bianca terhenti saat melihat Alex masuk ke kamarnya. Alex sendiri menoleh pada Brian yang sudah membawa bubur untuk Bianca. Alex mengeratkan tangannya pada tentengan sesuatu yang sama dengan yang Brian bawa.
"Kak Alex, Kak Alex dari mana? Aku sampai bingung tadi karena Kak Alex tidak ada di kamar."
Alex tak langsung menyahuti pertanyaan Bianca, tatapannya tajam pada sang adik yang sudah lebih dulu datang dan membawa apa yang dibutuhkan oleh Bianca. Alex pun menepiskan tangan Bianca dan beranjak meninggalkan mereka.
"Bukan urusanmu."
Bianca kembali menunduk dan sadar diri memang tidak seharusnya Bianca bertanya Alex kemana. Bianca pun kembali duduk. Dan langsung mengambil suapan dari Brian.
Alex menatap tentengan yang dipegangnya, lalu memasukkan tentengan itu ke tong sampah. Matanya pun memejam menahan sakit hati yang lagi-lagi karena tersaingi oleh sang adik. Ingin sekali Alex berteriak, namun masih Alex tahan karena keberadaan Brian.