Alex mengusap sisa apa yang dilakukannya di bibir Bianca. "Maaf, Bi. Aku tidak bisa lagi menahannya. Lagipula kita suami istri, bukan? Kamu juga tidak melarang ku untuk tidak melakukannya. Kamu hanya melarang ku untuk tidak menyentuhmu."
Bianca tak bisa berkata-kata. Selain jantungnya yang masih belum kembali dari keterkejutan, Bianca sadar apa yang dikatakan Alex memang benar. Bianca tidak melarang Alex untuk mengecupnya. Dan hanya melarang Alex menyentuh tubuhnya.
"Ya, Kak, tidak apa-apa." Bianca menunduk malu dengan d**a yang masih berdebar tak karuan.
Alex tersenyum mendengar jawaban Bianca. "Baiklah, aku tunggu di bawah. Kita belum makan malam."
Bianca mengangguk mengiyakan. Gadis itu meraba bibirnya. Bibir yang tadi dikecup oleh Alex.
"Ya Tuhan ... ini terlalu membuatku gila," ujar Bianca, lalu segera melihat wajahnya di depan cermin dengan masih meraba-raba bekas apa yang dilakukan oleh Alex. "Ini terlalu membuatku berdebar. Aaaggrr, aku tidak suka perasaan ini."
Setelah beberapa menit bergelut dengan perasaan kalutnya, akhirnya Bianca membersihkan diri dengan harapan pikiran kalutnya bisa segera hilang. Bianca pun turun ke tempat di mana saat ini Alex tengah menunggunya. Gadis itu ragu untuk menghampiri Alex, tapi Bianca tidak ingin Alex berpikir jika dirinya terlalu kegeeran.
Hari terus berganti. Dua Minggu sudah Bianca menjadi istri dari Alex William. Tidak Bianca pungkiri, pernikahannya dengan Alex memang awalnya begitu menderita. Namun, nyatanya keberuntungan itu akhirnya menghampiri Bianca. Bahkan Bianca begitu menikmati perhatian-perhatian dari Alex yang selalu saja membuat Bianca bahagia.
"Kak Alex."
Alex menoleh pada arah Bianca berjalan. "Bi, sudah selesai?"
Bianca mengamati meja makan mereka yang terlihat agak berbeda. Entah mengapa Bianca merasa sikap Alex begitu berbeda akhir-akhir ini. Alex begitu manis dan begitu perhatian pada Bianca. Apalagi setelah Alex mengatakan pada semua tamu hari itu jika Bianca jauh lebih baik dari Melinda.
"Apa aku boleh berharap ini tidak mimpi, ya Tuhan? Aku akui aku mulai nyaman dengannya. Walau pun aku tahu sikapnya kadang menyebalkan, tapi ...." Bianca masih menatap makan di atas meja itu dengan masih sibuk dengan pikirannya.
Alex menarik kursi untuk Bianca. "Bi, duduklah!"
Bianca tersenyum tipis melihat sikap Alex yang begitu manis. "Terima kasih, Kak."
Alex mengambilkan makan untuk Bianca. "Kamu mau makan apa?"
"Kak Alex, duduklah. Biar aku yang ambil."
"No no no, stay there, okay!"
Bianca menatap Alex dengan masih bingung pada perubahan sikap Alex. "Apa yang terjadi sebenarnya, ya? Kenapa Kak Alex sekarang begitu baik?"
"Sekarang, makanlah!"
"Loh, kok cuma aku doang yang makan? Kak Alex mana?" Bianca bingung karena Alex hanya menyiapkan makannya.
"Aku tidak makan."
"Ck, mana bisa seperti itu? Kak Alex harus makan. Jika Kak Alex tidak makan aku pun tidak mau makan."
Alex menatap Bianca penuh arti. "Baiklah, kalau begitu kita makan sepiring berdua. Karena aku tidak mau makan jika tidak sepiring berdua."
Bianca kembali menatap Alex yang juga menatapnya. "Baiklah, aku setuju."
Bianca menyuapi Alex, lalu Alex menyuapi Bianca. Entah bagaimana perasaan Alex dan Bianca saat ini. Yang jelas terlihat dari sorot mata dan raut wajah mereka, mereka begitu bahagia dan menikmati kebersamaan itu. Sayang, kebersamaan mereka terhenti saat Mona datang.
"Tuan, Nyonya, maaf saya mengganggu. Di depan ada ...." Mona begitu bingung harus mengatakannya.
"Mon, ada siapa? Ada genderuwo? Kenapa mukamu begitu ketakutan?" ujar Bianca, yang berhasil membuat Alex tertawa renyah.
"Dasar nakal!" Alex mencuil hidung mancung Bianca.
"Sepertinya lebih dari sekedar genderuwo, Nyonya."
"Alex! Kak Alex!"
Alex dan Bianca saling lirik mendengar teriakkan dari seseorang yang mereka kenal. Bianca pun menegang saat yakin siapa pemilik suara itu. Alex bangkit dari duduknya dan berjalan menuju arah teriakkan. Bianca pun ikut beranjak untuk memastikan siapa yang berteriak itu.
Nampak seorang gadis yang sudah membuat hidup Bianca hancur jika saja Tuhan tidak berbelas kasih padanya. "Kak Melinda?"
Melinda menoleh pada Bianca, lalu menghampiri Alex yang hanya berdiri mematung. "Kak Alex, aku minta maaf karena aku pergi di hari pernikahan kita. Tapi, Kak ... Kak Alex sudah tahu, bukan? aku pergi karena dia."
Bianca menggelengkan kepalanya karena Melinda nyatanya menuduh Bianca yang tidak-tidak. "Apa maksudmu, Kak?"
Melinda merangkul tangan Alex. "Kak Alex, Kak Alex tahu sendiri bagaimana aku mencintaimu, kan? Aku ini korban, Kak. Aku korban karena keserakahannya. Dia iri padaku, jadi dia membuatku mengharuskan pergi hari itu, hiks! Aku pikir aku akan kuat, nyatanya aku tidak bisa, Kak. Aku terlalu mencintaimu. Aku mohon percaya padaku, Kak."
Bianca menoleh pada Alex dengan gelengan kepala. "Aku bersumpah Demi nama Tuhanku, Kak. Aku tidak melakukan apapun padanya. Aku--"
Bianca tak melanjutkan ucapannya karena Alex pergi begitu saja tanpa ingin mendengarkan penjelasannya. "Aku tidak melakukannya, Kak."
Melinda mendekati Bianca dengan senyum mengejeknya. "Kamu bermimpi menjadi ratu, Bianca? Tapi sayang, sebelum mimpi itu kesampaian, aku bersumpah tidak akan membiarkannya."
Bianca menatap kepergian Melinda yang mengejar Alex. Bianca bingung harus bagaimana menjelaskan semuanya pada Alex. Sebab, sebelumnya Bianca pernah mengatakan semua itu pada Alex. Namun, pria itu juga tidak mau mendengarkannya. Hari itu Alex malah marah dan malah menyakitinya terus-menerus sampai akhirnya Bianca bingung dengan sikap manis Alex akhir-akhir ini.
"Nyonya." Mona mengakhiri Bianca begitu iba. Mona iba karena hubungan Bianca dengan Alex lagi dekat-dekatnya, tapi Melinda datang mengacau.
Bianca menyeka air matanya. "Mon, kenapa dunia ini mempermainkan hidupku, sih? Padahal aku juga tidak menginginkan semua ini sebelumnya, bukan? Aku bahkan ingin sekali pergi dari sini, tapi dunia mengharuskanku tetap berada di sini. Tapi sekarang, hiks!"
"Nyonya." Mona memeluk Bianca begitu iba.
Mona tahu bagaimana perasaan Bianca saat ini. Di mana saat Bianca berhasil bertahan melewati ujian dari kerasnya hati Alex, kini Melinda datang. Wanita yang seharusnya menjadi pendamping Alex itu seolah tidak mengizinkan Bianca untuk bahagia.
Melinda berlari mengejar Alex. "Kak Alex! Tunggu, Kak!"
Alex akhirnya menghentikan langkahnya. Pria itu menarik napasnya terlihat masih menahan amarah. Alex pun menoleh dan menatap wanita yang seharusnya menjadi istrinya, tapi nyatanya wanita itu mengecewakan Alex dan pergi dengan pria lain.
"Kak Alex, aku mohon maafkan aku, Kak. Aku terpaksa melakukan ini karena aku khawatir pada keselamatan orang tuaku. Bianca bilang akan melakukan sesuatu pada Mamah dan Papah kalau aku tidak mengikuti keinginannya."
Cih! Terlalu men-drama dan memutar balikkan fakta. Itulah Melinda yang sesungguhnya. Bahkan Melinda tidak segan-segan memfitnah saudaranya sendiri.
"Aku bersedia melakukan apapun asal Kak Alex mau memaafkanku, Kak." Melinda bersimpuh di hadapan Alex.
Bianca menatap adegan itu. Entah mengapa rasanya begitu menyakitkan bagi Bianca. Setelah beberapa hari terakhir Bianca merasa nyaman hidup dengan Alex. Haruskah Bianca merelakan Alex untuk Melinda lagi?
"Aku tidak sanggup, Mon." Bianca meremas kepalan tangannya, dan menghampiri Melinda juga Alex. "Kak Alex, aku bersumpah demi nama Tuhanku, aku tidak pernah melakukan apa yang dituduhkan oleh Kak Melinda, Kak. Jika Kak Alex ingin aku pergi, aku akan pergi. Tapi aku tegaskan aku tidak melakukan apa yang Kak Melinda tuduhkan." Bianca pun pergi menuju kamarnya dengan hati sesak.
Brak!!
Bianca menutup pintu kamar mandi. Hatinya sesak, padahal Bianca sadar itu akan terjadi. Gadis itu mengusap wajahnya berkali-kali agar segera sadar.
Beberapa menit sudah, Bianca berada di kamar mandi, akhirnya gadis itu keluar. Dengan langkah gontai Bianca menoleh ke kanan dan kiri menatap tempat-tempat saksi bisu perhatian manis Alex padanya. Bianca meremas kepalan tangannya agar tidak sampai meneteskan air matanya.
"Aku tahu kamu memang bukan milikku, Kak. Tapi ini terlalu menyakitkan, hiks!" Bagaimana pun Bianca menahan, air matanya tetap saja terjatuh. "Kak Melinda sudah kembali, itu artinya aku harus segera pergi, bukan?"
Bianca mengemasi barang-barangnya. Bianca akan pergi sepeti perjanjiannya dengan Alex. Setelah Melinda kembali atau seratus hari pernikahannya dengan Alex. Selama ini Bianca berharap Melinda cepat kembali agar dirinya bisa cepat pergi dari Alex. Namun, Bianca tidak menyangka jika ternyata rasanya begitu menyakitkan saat harus meninggalkan pria itu.
Kreaat ...
Pintu kamar terbuka. Dengan cepat Bianca menyeka air matanya. Bianca tidak ingin sampai Alex tahu jika dirinya menangis karena harus pergi meninggalkan pria itu.
Bianca menoleh pada Alex dengan sudah membawa barang-barangnya. "Kak Alex, aku pamit." Gadis itu berjalan dengan terus menunduk tak ingin menatap Alex karena takut Alex tahu dirinya habis menangis.
Namun, langkah Bianca terhenti saat Alex mencekal tangannya. "Siapa yang mengijinkan kamu pergi dari sini, Bianca!"
Bianca akhirnya mengangkat wajahnya dan menatap Alex bingung. "Kak Alex, Kak Melinda sudah kembali, itu artinya aku harus pergi, bukan?"
Alex mengambil tas Bianca, lalu melemparkan tas itu ke tempat tidur mereka. "Apa segitu inginnya kamu pergi dariku, Bianca? Aku pikir kamu berbeda dari mereka, tapi nyatanya kamu sama saja ingin meninggalkanku, Bi?"
Bianca menggelengkan kepalanya tak mengerti. "Kak Alex, apa maksudmu? Aku tidak berpikir begitu. Tapi Kak Melinda sudah kembali, bukankah itu artinya aku--"
Dengan cepat, Alex menarik tubuh Bianca dan membungkam mulutnya dengan bibir Alex. "Katakan jika kamu masih ingin bersamaku, Bi!"
Bianca menelan salivanya semakin tak mengerti akan pertanyaan Alex. "Kak Alex."
"Jadi kamu memang ingin meninggalkanku, Bianca? Katakan iya, jika kamu memang ingin pergi. Tapi, aku akan sangat senang jika kamu mengatakan tidak."
Bianca masih mencerna apa arti ucapan Alex. "Kak Alex, apa maksudmu? Aku tidak mengerti."
Alex menatap Bianca begitu dalam. Bibirnya kembali melumat bibir seksi Bianca menandakan jika dirinya memang membutuhkan gadis itu. Bianca pun tak ingin banyak bertanya lagi dan lebih memilih menikmati apa yang dilakukan oleh Alex.