Christina menatap Alex dengan mata tajamnya. "Siapa yang akan kamu bunuh tadi, Alex?"
Alex menelan salivanya. Pria itu memang tidak akan bisa berkutik jika sang oma yang sudah berhadapan dengannya. Bianca masih menahan tawanya melihat raut wajah Alex yang begitu ketakutan.
"Tidak ada, Oma."
Christina mengangguk-anggukkan kepala. "Tapi sepertinya tadi Oma mendengar teriakkan dari kamarmu yang mengatakan akan membunuh orang yang mengetuk pintu. Siapa itu, Alex? Apa itu bukan kamu?"
"Hhmmff!!" Lagi-lagi Bianca menahan tawanya walau sebenarnya sudah tidak tahan ingin tertawa terbahak.
Alex berdecak pasrah. "Ck, iya iya, aku minta maaf, Oma. Aku pikir itu bukan Oma. Karena aku kesal sekali pada anak-anak buahku yang mengganggu kebersamaan ku dengan Bianca."
Christina menoleh pada Bianca. "Memangnya apa yang kalian lakukan di dalam sehingga Alex begitu marah, sayang?"
Pipi Bianca memerah karena tak mungkin mengatakan yang sebenarnya terjadi di dalam. "Eemm, itu, Oma."
"Hhmmff!!" Kali ini Alex yang menahan tawanya melihat pipi sang istri yang sudah seperti kepiting rebus, Alex pun menarik tubuh Bianca ke hadapannya. "Apa yang kita lakukan di dalam sih?"
"Ist, Kak Alex, lepas enggak?" Bianca semakin malu karena Alex malah semakin menjadi.
"Enggak, mau. Bukankah kamu istriku? Aku berhak melakukan apapun pada istriku, bukan begitu, Oma?"
Christina menepuk keningnya. "Alex, sepertinya lebih baik kamu bawa istrimu ke dalam lagi. Jangan sampai ada orang yang kamu potong gajinya, apalagi sampai kamu membunuh orang karena aktivitasmu terganggu. Oma pergi."
"Hah? Tunggu, Oma!" Bianca tersenyum senang karena Christina kembali.
Christina menatap dua insan itu dengan penuh harap. "Pokoknya Oma mau kalian punya banyak anak, titik tak pake koma!"
Bianca membuka mulutnya lebar-lebar karena tenyata sang oma bukan untuk kembali dan menolongnya. Bianca pun terbelalak melihat Christina melambaikan tangannya saat menutup pintu kamarnya. Alex sendiri menyeringai penuh arti melihat reaksi lucu Bianca.
Christina menatap pintu kamar cucunya dengan bercampur aduk. "Semoga kalian terus bahagia."
Christina pun keluar dari rumah Alex dengan sangat bahagia karena akhirnya Alex bisa merasakan kebahagiaan. Sedari awal Christina yakin jika Bianca memang wanita baik dan cocok untuk Alex. Christina tidak akan membiarkan siapapun memisahkan mereka, termasuk Brian apalagi Melinda.
"Robi, jangan sampai perempuan ular itu masuk ke rumah Alex. Dan satu lagi, untuk sekarang ... jangan biarkan Brian juga masuk karena saat ini Alex dan Bianca tengah mencoba membuatkan aku cicit, mengerti?"
Jodi mengerutkan keningnya mendengar ucapan Christina yang terakhirnya. "Ah, siap, Nyonya. Saya akan memperketat penjagaan agar Tuan Brian pun tidak bisa masuk."
"Bagus! Ingat, Robi, jika Alex dan Bianca gagal membuatkan aku cicit, maka kamu yang harus bertanggung jawab," ujar Christina, lalu berlalu meninggalkan Jodi yang membelalakkan matanya.
"Ancaman macam apa itu? Jika Tuan Alex dan Nyonya Bianca gagal, aku harus bertanggung jawab? Apa maksudnya aku yang harus memberikan Nyonya Bianca keturunan karena Tuan Alex gagal? Begitu?" Jodi merapatkan bibirnya rapat-rapat saat sadar apa yang dikatakannya dapat menyebabkan maut.
"Mati lah aku jika sampai ada yang dengar." Jodi pun menghela nafasnya lega saat yakin tidak ada yang mendengarnya.
Di kamar sang nyonya dan sang tuan. Keadaan semakin mendebarkan karena Alex kembali mengungkung Bianca. Berkali-kali Bianca mencari alasan, tapi Alex tidak membiarkannya.
"Kak, awas ih! Aku mau minum."
Dengan segera Alex mengambilkan minum itu pada Bianca. "Minum?"
Bianca menghembuskan napasnya kasar karena lagi-lagi gagal keluar dari kungkungan Alex. "Terima kasih," ucap Bianca semakin bingung bagaimana caranya pergi dari Alex.
"Bianca, kamu tahu bagaimana Oma begitu menyayangiku?" Alex kembali menyeringai melihat Bianca menggelengkan kepala. "Dia rela datang ke kantor dan mengerjakan beberapa hal yang bisa meringankan pekerjaanku."
Alex kembali mendekatkan wajahnya pada wajah Bianca. "Jadi, apapun alasanmu untuk pergi dariku, Kamu tidak akan bisa. Karena keputusan Oma membiarkanmu di sini bersamaku tidak akan bisa diganggu gugat."
Bianca kembali menghembuskan nafasnya pasrah. "Huuh!! Baiklah, apa itu artinya aku memang harus pasrah?"
Bianca merebahkan tubuhnya setelah Alex mengangguk. "Kalau begitu, aku pasrah."
Melihat Bianca tergeletak pasrah, Alex tertawa karena menurutnya Bianca begitu lucu. "Kamu mau apa?"
Bianca memukul d**a Alex, lalu bangkit lagi dari baringannya. "Ist! Nyebelin!"
***
"Aghr!! Kurang ngajar kamu, Bianca!" Melinda melemparkan barang-barangnya.
"Mel, apa yang terjadi? Apa kamu sudah bertemu dengan Alex?"
Renata, ibu dari Melinda dan Bianca itu bingung dengan keadaan Melinda yang terlihat kacau. "Sayang, apa yang terjadi?"
Melinda menoleh pada Renata. "Ini semua karena Bianca, Mah. Kak Alex jadi benci aku."
Renata masih bingung dengan apa yang dikatakan oleh putrinya. "Maksud kamu, kamu sudah bertemu dengan Alex?"
"Ya, dan Alex malah mengabaikanku dia juga sudah berani menyentakku karena Bianca."
Renata bangkit dari duduknya dengan mengepalkan tangan. "Kurang ngajar! Gadis itu memang harus Mamah kasih pelajaran."
"Mah, ada apa sih? Kenapa kalian ribut-ribut? Apa kalian tidak capek kita baru saja sampe di sini, loo."
"Aku enggak bisa diem saja, Pah. Bianca sudah berani merebut Alex dari Melinda."
Jo Hunsel, ayah dari Bianca dan Melinda sedikit mengerutkan keningnya. "Bianca merebut Alex dari Melinda?"
"Iya, Pah. Bianca sudah buat Kak Alex benci padaku, sekarang dia bahkan sok-sokan jadi nyonya di rumah Kak Alex."
Jo memalingkan wajahnya. "Jangan mengada-ada, Melinda. Bukankah kamu sendiri yang meninggalkan Alex? Seharusnya kamu tidak ceroboh seperti ini sampai harus meninggalkan Alex karena mengandung anak pria itu."
"Aku tidak peduli, Pah. Pokoknya aku tidak terima jika Bianca hidup enak di rumah Kak Alex. Aku juga tidak mau hidup bersama Vano, tidak membohongiku. Dia bilang dia banyak harta dan mau menjadikanku ratu. Nyatanya dia hanyalah seorang pria pembohong!"
Melinda menyesal harus meninggalkan Alex demi seorang pria bernama Vano. Melinda terhasut oleh janji manis pria itu. Sehingga Melinda yang nyatanya memang mata duitan terpengaruh dan berselingkuh di belakang Alex sampai mengandung anak Vano.
"Sialan kamu Vano! Aku bersumpah aku akan membuat hidupmu menderita."
Sekarang Melinda menyesal karena Alex terlihat begitu mencintai Bianca. Bahkan Melinda tidak pernah diperlakukan begitu manis oleh Alex seperti Alex memperlakukan Bianca. Alex memang mencintai Melinda, tapi sikap Alex pada Melinda masih kaku dan biasa saja. Tidak seperti sikap Alex pada Bianca.
"Pah, cari cara dong! Jangan diam saja," rengek Renata yang memang tidak jauh berbeda dengan Melinda, suka menindas Bianca.
"Hentikan, Renata! Jangan lupa, kita yang meminta Bianca menggantikan Melinda karena anak ini pergi tanpa memberitahu kita terlebih dahulu."
Renata menggelengkan kepalanya. "Tapi, Pah--"
"Cukup! Untuk kali ini, aku tidak ingin ikut campur urusan kalian. Apalagi kita tahu siapa Alex, bukan? Seharusnya kita mempertimbangkan semua itu sebelum meminta Bianca menggantikan Melinda. Lagipula bukankah kamu yang bilang sendiri jika Alex itu pelit? Dan itu sebabnya kamu terjebak rayuan Vano?"
Renata menoleh pada Melinda. "Iya, Mel. Bukankah kamu bilang Alex itu pelit? Kamu bilang Alex juga tidak romantis."
Melinda menatap Jo juga Renata bergantian. "Itu memang benar, tapi entah kenapa aku melihat sikap Alex pada Bianca berbeda, Mah, Pah. Alex terlihat begitu romantis dan-- aghr! Aku pokoknya tidak terima. Aku harus merebut Alex kembali."
Brak!!
Renata memejamkan matanya mendengar pintu yang dibanting oleh Melinda. "Pah, pokoknya kita harus melakukan sesuatu."
Jo beranjak pergi. "Iya iya, tapi itu nanti. Sekarang aku ingin istirahat."
"Tapi, Pah. Paaah!" Renata menatap ke arah jauh dengan kepalan tangannya. "Kamu lihat saja, Bianca. Aku tidak akan membiarkan kamu bahagia di atas penderitaan Melinda. Kamu itu hanya anak pungut yang tidak boleh melangkahi anak kesayanganku."
Renata memutuskan akan mendatangi kediaman Alex besok. Sebab, hari ini dirinya pun ingin beristirahat terlebih dahulu setelah perjalanan pulang dari Italia. Dan mereka kembali setelah Melinda merasa di tipu oleh pria yang menghamilinya.
Bianca berlari ke arah balkon kamarnya mencari udara segar. Gadis itu berkali-kali menghirup udara segar sore. Rasa pengap karena berada di ruangan tertutup dengan jantung yang terus berdetak kencang pun sirna. Namun, nyatanya rasa sejuk itu kembali ternoda karena Alex memeluk Bianca dari belakang dengan hembusan napas tepat di telinga Bianca yang membuat bulu kuduk gadis itu merinding.
"Kamu suka dengan pemandangan di sini?" ujar Alex dengan terus menghembuskan napasnya di telinga sang istri.
"Iya, Kak. Udaranya seger banget," sahut Bianca berusaha menahan gugup.
"Bi, apa kamu takut padaku?"
"Dulu iya, sekarang tidak, Kak."
Alex tersenyum tipis, lalu kembali mengecup leher belakang Bianca sehingga gadis itu semakin merinding. "Apa kmu tidak mau jika aku sentuh? Aku sudah merobek surat perjanjian kita. Itu artinya kita akan tetap menjadi suami istri sampai kapanpun."
"Apa?" Bianca terkejut Alex sungguh melakukan hal itu. "Tapi, Kak."
"Kenapa, Bi? Apa kamu tidak mau? Apa kamu tidak bersedia menjadi milikku seutuhnya?"
Bianca menatap Alex begitu dalam. Ada perasaan tidak percaya pada ucapan Alex karena awal pertemuan mereka yang kurang baik. Namun, melihat sorot mata Alex yang begitu teduh, Bianca yakin jika Alex tidak bohong.
"Aku bersedia, Kak." Kali ini Bianca mengecup bibir Alex terlebih dahulu, sontak Alex terkejut sekaligus senang karena itu artinya Bianca akan jadi milik Alex seutuhnya.