PERKARA BELAJAR MASAK

1068 Words
Hari yang panas saat pulang kuliah aku manfaatkan untuk tidur. Sebenarnya materi hari ini tidak ada yang menyulitkan ku, hanya saja udara panas berhasil mematahkan semangatku sampai ke dasar. Tidur pun memerlukan setelan pendingin ruangan yang pas. Saat bangun, aku melihat kakak-kakakku beraktivitas seperti biasa. Bang Jimi, Bang Bagus, Bang Robi, dan Bang Nam sibuk bermain game. Aku hanya menghela napas dan melangkah santai melewati mereka. "Nyari siapa, Cantik?" Bang Jimi menegurku. "Mau cari Bang Jun," sahutku asal. Sebenarnya aku tidak sedang mencari siapapun. Menjawab pertanyaan hanya supaya cepat berlalu dari mereka. "Bang Jun di dapur sama Vino dan Jaka," sahut Bang Nam. "Iya, dia di dapur lagi masak," tambah Bang Jimi. "Oh," reaksiku hanya 'oh' saja. Aku lesu, baru saja bangun tidur dan malas bicara. Aku melanjutkan langkahku menuju ke dapur. Wangi masakan khas Bang Jun tercium dari ambang pintu. Sejak kecil aku suka sekali aroma masakannya. Seakan aroma itu sudah sangat akrab dengan hidungku. Oh ya, aku diadopsi oleh keluarga ini memang sejak bayi. Tapi Mama dan Papa jujur padaku saat aku lulus SMP. Mereka bilang kalau aku bukan anak kandung mereka. Awalnya aku sedih dan merasa kalau aku tidak pantas berada di tengah-tengah mereka, tetapi ketujuh kakakku, terutama Bang Jun dan Bang Nam terus memberiku motivasi. Kedua orang tua kami juga berharap aku tetap tinggal bersama mereka. Karena aku tidak tahu dimana orang tua asliku, aku pun memutuskan untuk tetap tinggal bersama ketujuh kakakku. Orang tua kami sekarang berada di luar negeri untuk mengurus bisnis mereka, itu yang aku dengar dari Bang Jun. "Bang Jun masak apa?" tanyaku seraya duduk di kursi yang terletak di seberang meja tempat Bang Jun mengolah makanannya. "Lagi masak ayam, kesukaan kalian." sahut Bang Jun sambil mengaduk-aduk adonan ayam yang ada di hadapannya. Aku menjadikan kedua telapak tanganku sebagai penyangga kepala. Dengan begitu, aku bisa mengamati kegiatan Bang Jun lebih jelas. "Lihatin Bang Jun biasa aja, Ri. Nanti itu ayam bisa hidup lagi kalau Lo natap dia kelamaan," celetuk Bang Vino yang mendadak muncul. "Nggak ada hubungannya, Abang. Lagian dari dulu gue selalu begini kalau pas Bang Jun masak. Iya 'kan, Bang Jun?" Aku mencari pembelaan. Bang Jun tersenyum. "Ni bocah emang tukang nontonin kalau gue masak. Boro-boro bantuin. Untung gue sabar, kalau nggak ... udah gue masak bareng sama ni ayam." Aku hanya tertawa kecil mendengar jawaban Bang Jun. Dari dulu aku memang penggemar setianya. Terutama saat dia memasak, aku suka memperhatikan caranya memainkan peralatan dapur. Bahkan aku saja yang perempuan, kalah dengan dia. "Habisnya Abang selalu nolak kalo gue bilang mau bantuin. Ya udah, jadinya gue nonton aja." sahutku. Itu memang kenyataan. Bang Jun selalu nolak setiap aku menawarkan bantuan. "Gimana nggak nolak, Lo ngupas bawang aja kagak bisa. Disuruh ngupas kentang, malah abis kentangnya Lo buang-buang. Lo kira kulit kentang setebel kulit badak? Satu lagi, ngiris wortel tebel-tebel banget, susah matengnya, orang keburu laper. Bukan seneng dibantuin, malah jatuhnya nyesek gue," Seketika Bang Vino tertawa terbahak-bahak. Aku juga ikut tertawa karena malu. Ya, aku memang tidak bisa memasak. Berulang kali belajar, hasilnya tetap memalukan dan tidak layak untuk dimakan. "Makanya, lain kali ajarin Napa, Bang ...," rengekku. "Oke. Ntar pas hari libur kita belajar masak bareng." sahut Bang Jun sambil membalikkan gorengan ayamnya. "Siap! Beneran ya, Bang. Yeay!" "Gue ikutan," sahut Bang Vino. "Gue juga, dong." Bang Jaka ikut nimbrung. "Ish, apaan sih. Kenapa coba kalian ikutan. Pokoknya aku mau belajar masak berdua aja sama Bang Jun," aku mengerucutkan bibir. Sementara Bang Jun hanya menggelengkan kepala, heran. "Jangan berduaan, ntar yang ketiga setan." ledek Bang vino. "Bener tuh kata Bang Vino, nggak boleh berduaan." "Dih! Gak waras. Gue kan berduaan sama abang sendiri, bukan sama orang lain," kataku ketus. "Udah, kalian berdua kagak usah berantem. Lama-lama ntar gue suruh si Bagus yang ngajarin kalian masak. Biar diguyur saos kalau dia udah gak sabar ngadepin kalian," Bang Jun menengahi perdebatan kami. Ya, perdebatan kecil seperti ini memang sering terjadi di antara kami. Seperti yang aku pernah bilang, aku dan tujuh kakak-kakakku tidak pernah sepenuhnya akur. Wajar bukan? Kalau dua orang saja bisa bertengkar, apalagi kami yang berdelapan. "Mending Bang Nam sekalian. Lebih afdol." sahutku ketus. "Kalau Bang Nam yang ada di dapur, bukan hanya bahan makanan yang berantakan, tapi semua alat memasak rusak. Kuali penyok, sendok patah, piring pecah," imbuh Bang Jaka. "Bener juga, sih. Bahaya juga nasib panci kesayangan gue. Sudahlah, nanti kita belajar masak bergantian. Sekarang bantuin gue siapin makanan di meja. Jam makan malam sebentar lagi. Vino, panggil abang Lo yang lain suruh makan," "Asiap! Otewe!" Bang Vino segera meninggalkan kami untuk memanggil para abang yang lain. Sedangkan aku dan Bang Jaka membantu Bang Jun menyiapkan makan malam. Semua sudah berkumpul. Aku duduk di antara Bang Jimi dan Bang Nam. Satu hal yang paling aku suka di rumah ini tentu saja saat makan seperti sekarang. Kami berkumpul seolah tidak pernah ada masalah di antara kami. "Makan sayur, biar sehat." Bang Jimi tiba-tiba saja memasukkan sayuran ke dalam piringku. "Terima kasih, abang gue yang paling baik." Aku tersenyum sekilas ke arah Bang Jimi yang sudah kembali memakan makanan yang ada di piringnya. Entah aku salah lihat atau memang benar, sepertinya Bang Jun memperhatikan kami. Saat aku melihat ke arahnya, Bang Jun sedang menikmati ayam goreng. Di tengah-tengah acara makan malam kami, suara bel berbunyi. Sebelum yang lain berdiri, aku memilih untuk berinisiatif membukakan pintu untuk tamu yang datang. "Biar gue aja, Bang." kataku seraya beranjak dari kursi. "Gue temenin," Bang Jimi ikut-ikutan beranjak dari tempat duduknya. Aku tidak menolak. Siapa yang datang malam-malam begini? Papa dan Mama tidak mungkin pulang tiba-tiba. Lagipula kalau mereka kembali ke Indonesia, Bang Jun dan yang lain pasti sudah melakukan persiapan. "Menurut Lo, siapa yang Dateng, Bang?" tanyaku pada Bang Jimi. Lelaki itu langsung menggeleng. "Mana gue tau. Udah, Lo di belakang gue aja, buat jaga-jaga. Kita nggak tau 'kan ... siapa yang bakalan Dateng," "Jangan nakutin Napa," Aku merinding gara-gara Bang Jimi bilang seperti itu. Aku menuruti kata-katanya dengan berjalan di belakang Bang Jimi sambil memegangi ujung kaosnya. Saat pintu dibuka, kami dikejutkan dengan kedatangan seorang wanita dengan tampilan yang sangat mengganggu pemandangan. Wanita itu memakai dress orange super pendek dan ketat. Dia juga memakai sepatu hak tinggi dengan warna senada. Riasannya tebal. Walaupun terlihat cantik, tetapi bagiku itu sangat menggelikan. Bang Jimi menatap wanita itu dengan tatapan yang sulit diartikan. Langsung saja aku hadiahi pinggangnya dengan cubitan andalanku. "Maaf, Kakak ini siapa, ya?" tanyaku pada sosok wanita ondel-ondel itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD