Setiap hari aku selalu duduk di samping sopir, eh salah. Lebih tepatnya keenam abangku yang tampan. Benar, mereka ada tujuh, tetapi Bang Jaka tidak termasuk sopir karena dia seumuran denganku dan kami selalu pergi bersama.
Aku memperhatikan Bang Jimi yang asyik mendengarkan musik yang dia putar. Kepalanya mengangguk mengikuti irama, sesekali dia menirukan lirik lagu yang sedang kami dengarkan.
"Bang Jimi ...," panggilku dengan nada manja.
"Iya, kenapa cantik? Lo mau ke kamar mandi? Kita masih jauh dari pom bensin," sahutnya tanpa menoleh padaku.
"Ih, siapa juga yang mau ke kamar mandi. Gue heran aja sama Lo, Bang."
"Heran? Kenapa? Karena gue terlalu mempesona?" ucapnya narsis.
"Kepedean! Gue heran aja, kenapa Lo selalu ganti cewek? Kenapa nggak nikah aja, sih?" kataku asal. Ya, aku kesal pada Bang Jimi. Dia selalu saja berganti pacar setiap saat. Memang sih, kakakku satu ini memang daya pikatnya luar biasa, tetapi aku tidak suka kalau dia terlalu aktif mencari mangsa.
"Ya kenapa? Emangnya gak boleh? Yang penting 'kan gue nggak ngehamilin anak orang. Sekedar saling mengenal, terus putus itu hal biasa. Lo mana ngerti yang begituan. Lagian emang Lo nggak kasian sama Bang Jun? Dia udah umur tiga satu aja belum nikah, masa gue nikah duluan," Seperti biasa, Bang Jimi selalu memiliki jawaban untuk setiap perkataan lawan bicaranya.
"Gue pikir, Bang Jun nggak akan keberatan kalau Lo nikah. Bukannya beban dia jadi berkurang, ya? Nggak ada lagi adek nakal yang selalu ngisengin dia." celetukku.
Bang Jimi tiba-tiba saja mengacak rambutku.
"Selama Lo belum nikah, gue juga nggak akan nikah." jawabnya sambil tersenyum ke arahku. Ciri khasnya Bang Jimi, setiap tersenyum matanya tertutup, lucu sekali.
"Kenapa? Gue masih kuliah dan nggak minat buat nikah sekarang. Bang Jun sama Bang Nam juga udah bilang kalau gue nggak boleh nikah sebelum lulus kuliah," Entah mengapa aku merasa perlu mendengar alasan Bang Jimi mengatakan hal itu.
"Kalau gue nikah, mungkin perhatian gue bakalan teralih ke istri. Sebagai salah satu abang Lo, gue bertanggungjawab untuk menjaga Lo sampai Lo menemukan seseorang yang bisa jaga Lo dengan baik, dalam arti itu jodoh Lo," jelasnya.
Jujur, aku sedikit tersentuh dengan ucapan Bang Jimi, tetapi aku tidak mau langsung memujinya. Dia menyombongkan diri kalau tahu aku tersentuh dengan kata-kata yang dia rangkai.
"Alasan aja Lo, Bang. Bilang aja pengen banyakin mangsa. Segala gue jadi alasan," Aku pura-pura mementahkan alasan Bang Jimi.
"Gue harus apa biar Lo percaya?"
"Koprol di jalan tuju kali," kataku asal.
Ckiiiiit!
Mendadak Bang Jimi mengerem mobil yang kami tumpangi mendadak.
"Apaan sih, Bang? Kaget tau!" omelku kesal.
"Katanya Lo pengen gue koprol tuju kali di sini, ya gue rem dadakan." jawabnya konyol.
Astaga! Aku hanya bercanda dan Bang Jimi anggap itu serius? Yang benar saja!
"Gue becanda dodol! Ngapain Lo beneran koprol?" kataku sebal.
"Gue cuma mau nunjukin kalau apa kata gue itu serius,"
"Gue udah tau Lo serius,"
"Terus tadi apa?"
"Gue becanda, kan gue udah bilang tadi. Lama-lama ngeselin ih," Aku memanyunkan bibirku.
"Kenapa berenti? Mobil kita rusak, Bang?" Bang Vino dan Bang Jaka bertanya serempak.
"Kagak, tadi ada kucing lewat." Aku tersenyum mendengar jawaban Bang Jimi. Pintar juga dia mencari alasan.
"Oh, kirain ada apaan,"
---
Aku dan Bang Jaka sudah sampai di kampus kami. Oh ya, kampus kami berbeda dengan kampus Bang Vino, tetapi kami memang satu arah. Kampus Bang Vino masih maju beberapa kilo lagi dari kampusku dan Bang Jaka.
"Ri, gue duluan. Ada urusan mendadak, harus ke perpus," kata Bang Jaka tiba-tiba.
"Oke," sahutku tanpa menoleh ke arah Bang Jaka.
"Riana! Ya amplop, gue kangen banget sama Lo!" Dari suara teriakannya aku tahu itu siapa.
Itu suara Jeni, sahabatku. Kami duduk satu bangku. Kami berjumpa setiap hari, tetapi dia selalu saja heboh setiap kami bertemu.
"Drama banget, Lo!" sahutku cuek.
"Hari ini Lo diantar sama siapa?"
"Bang Jimi. Kenapa?" tanyaku sambil melangkah menuju ke kelas diikuti olehnya.
"Astaga! Jahat Lo, sumpeh! Lo kenapa nggak chat gue kalau hari ini jadwalnya Bang Jimi yang nganter Lo?" Jeni terlihat tidak terima. Ya, aku maklum, dia memang pens Bang Jimi garis keras.
"Urusannya sama Lo apaan? Bang Jimi itu playboy, buaya darat, laut, dan udara. Mau Lo dipacarin sehari doang?" ucapku, mencoba mengingatkan Jeni tentang siapa Bang Jimi. Itu semua memang fakta, dan aku tidak ingin Jeni menjadi korban selanjutnya.
"Nggak apa-apa, gue rela dipacarin sehari doang sama Bang Jimi. Lo tau nggak sih, Abang Lo satu itu gantengnya kelewatan. Apalagi kalau senyum, uh ... meleleh hati gue," Jeni mulai mengucapkan kata-kata yang menurutku menggelikan.
"Ish, meleleh. Es krim kali meleleh," sahutku sambil berusaha berjalan menjauh dari sahabatku yang memang suka sekali berhalu ria tersebut.
"Hei, calon adek ipar! Tungguin! Astaga! Gini amat punya calon Adek ipar," Jeni berlarian kecil ke arahku. Aku tetap tidak peduli.
---
#POVpenulis
"Pak Jun, apa Anda tidak bisa mempertimbangkan lagi? Ini tawaran bagus untuk Anda. Bayangkan, gaji Anda bisa tiga kali lipat kalau menerima tawaran ini," Seorang lelaki bertubuh tambun dengan memakai kemeja panjang warna biru muda tampak mengejar Jun yang keluar dari ruangan HRD.
"Saya sudah menjelaskan pada Anda, bukan? Saya tidak akan menerima tawaran bekerja ke luar negeri. Jangankan ke luar negeri, ke luar kota saja saya tidak akan mau menerima." ucap Jun tegas. Dia memang tidak berminat untuk bekerja di luar negeri.
"Tapi alasan Anda sangat tidak masuk akal. Adik-adik Anda sudah dewasa, lalu untuk apalagi Anda bertahan di kota ini untuk mengurus mereka? Anda memiliki talenta yang sangat luar biasa, sayang sekali kalau tidak dimanfaatkan." rayu lelaki itu.
"Apa yang saya lakukan untuk adik-adik saya bukan urusan Anda. Saya tidak akan tenang meninggalkan mereka. Bapak tidak akan pernah mengerti, bagaimana rasanya jadi saya." Jun melangkah pergi dengan wajah kesal.
Jun memang memiliki alasan tersendiri untuk menolak tawaran pekerjaan itu. Dia tidak peduli berapapun gajinya, asal tidak meninggalkan ketujuh asiknya, dia akan tetap bertahan. Lagipula, tidak bekerja pun tak masalah. Dia juga pewaris dari salah satu perusahaan ponsel terbesar di negara tempat mereka tinggal.
Bekerja untuk apa? Jun tidak ingin terlalu mengandalkan warisan keluarga mereka. Dia ingin membesarkan perusahaan itu untuk masa depan ketujuh adiknya. Dia ingin menghidupi adik-adiknya dengan hasil kerja kerasnya sendiri.