"Bang Robi ... makan di luar, yuk ...," Aku memang sengaja mendatangi Bang Robi yang sedang duduk di ruang keluarga untuk mengajaknya makan di luar.
Seperti yang pernah aku ceritakan, aku tidak pernah makan di luar sebelumnya. Selalu makan makanan yang dimasak oleh Bang Jun. Tapi malam ini aku malas untuk makan satu meja dengan lelaki itu.
"Lo nggak denger, itu Bang Jun lagi masak sama Jimi? Biasanya juga makan di rumah, ngapain tiba-tiba mau makan di luar?" Bang Bagus yang ada di ruangan itu protes. Dia memang paling pedas kalau bicara. Hah, aku kesal.
Mataku berair, tetapi Bang Robi merangkulku. Dia menepuk punggungku pelan beberapa kali. Bermaksud menghiburku yang tersakiti oleh kata-kata Bang Bagus. Malam ini aku memang sedang sensitif.
"Lo nggak usah kasar-kasar ke Riri, Bang. Kalau dia emang pengen makan di luar ya udah, biarin. Gue yang bakalan jagain dan temenin dia." Bang Robi membelaku.
Bang Bagus diam. Dia sepertinya tidak ingin memperpanjang masalah.
"Gue ganti baju dulu, ya. Tunggu. Awas Lo Bang kalo ngomelin Riri lagi," Bang Robi memperingatkan Bang Bagus.
Aku masih duduk di sana. Bang Bagus tidak komentar apapun lagi. Lelaki itu terlihat memainkan ponselnya.
Tidak berapa lama Bang Robi kembali. Dia sudah berganti pakaian. Malam ini Bang Robi memakai celana jeans hitam dan juga hoodie warna biru.
"Sebentar, gue izin dulu sama Bang Jun," Bang Robi langsung berjalan menuju ke arah dapur. Kami masih bisa mendengar percakapan antara dia dan Bang Jun.
"Bang, gue mau keluar dulu nganter Riri makan."
"Tumben, dia mau makan apa?"
"Nggak tau tuh, cuma ngajakin makan di luar."
"Ya udah, beliin aja apa yang dia mau. Nanti selesai masak, abang transfer ke rekening Lo buat ganti."
"Kagak usah, Bang. Cuma beli makan aja berapa, sih? Duit Robi juga ada."
"Riri itu tanggungan Abang. Pokoknya nanti abang transfer. Ati-ati kalian. Jagain Riri. Suruh dia pakai jaket."
"Terserah Abang aja lah. Iya, Bang, siap. Gue sama Riri pergi dulu, ya."
"Oke,"
Aku mengernyitkan dahi. Kenapa sih, selalu saja harus tergantung sama Bang Jun. Apa-apa harus dia. Seolah-olah kakakku yang lain tidak berhak menanggung keperluanku sedikit pun.
Terserah. Mau uang siapa yang untuk beli makanan, terpenting aku tidak makan di rumah dan satu meja makan sama Bang Jun.
"Ayo, Ri." Bang Robi mengulurkan tangannya, dan aku langsung menggandeng tangan kakakku itu.
Bang Robi membukakan pintu mobil untukku. Setelahnya, dia menyusul masuk dan duduk di dekat kemudi.
"Pakai sabuk pengamannya, Ri. Mau makan apa?" tanya Bang Robi sambil menghidupkan mesin.
Aku langsung mengikuti perintah Bang Robi, memasang sabuk pengaman.
Makan apa? Aku juga tidak memikirkan sebelumnya mau makan apa. Sekarang harus jawab apa? Tidak mungkin aku mengatakan terserah, saat aku sudah memaksa Bang Robi untuk mengantarkan aku makan di luar.
"Enaknya makan apa ya, Bang?" Aku memutuskan untuk menanyakan itu pada Bang Robi. Aku sama sekali tidak ada bayangan mau makan apa.
"Mau makan bakso? Ada tempat makan bakso yang enak banget. Biasanya abang makan di sana kalau jam makan siang." Aku mempertimbangkan.
Makan bakso? Belum pernah mencoba kecuali olahan Bang Jun. Baiklah, sepertinya aku harus mencoba daripada tidak jadi makan.
"Boleh juga. Ayo kita ke sana." ucapku dengan penuh semangat.
"Oke. Siap. Jangan kaget tapi, ya. Di sana ada banyak lekong,"
Aku langsung menatap Bang Robi.
"Lekong itu apaan, Bang? Lontong? Makanan yang dari beras itu?"
Bang Robi malah tertawa terbahak-bahak.
"Bukan, Cantik. Lekong itu lelaki yang suka berdandan, semacam banci, tapi bukan. Dia sengaja cari uang dengan berhias menyerupai cewek." jelas Bang Robi.
"Oh. Dia nyanyi joget-joget gitu?" tanyaku, masih penasaran.
"Iya. Goyang heboh sambil sedikit menggoda para pria biar disawer,"
"Hahaha, pasti Abang pernah dicolek dagunya terus digodain, ganteng bagi duitnya dong," Aku tertawa setelah memperagakan bagaimana Bang Robi digoda.
"Lo bisa aja, Dek. Tapi beneran pernah begitu, geli banget."
"Coba ada gue di sana, pasti deh gue videoin buat kenang-kenangan."
"Jahat bener. Jangan dong,"
Kami berdua tertawa. Tanpa terasa, akhirnya aku dan Bang Robi sampai di warung bakso yang direkomendasikan. Warungnya sangat ramai, aku bisa membayangkan makanan di sini pasti enak.
---
#POVpenulis
Saat acara makan malam tiba, Jun sesekali menatap kursi yang biasa diduduki oleh Riana. Beralih ke piring yang juga tersedia di sana. Rasanya makan malam tanpa gadis itu terasa berbeda.
Selera makan lelaki itu juga menurun semenjak malam itu. Riana benar-benar tidak mau mendengarkan alasannya, bahkan sampai detik ini pesan yang dia kirimkan belum juga dibalas.
Jun sadar, apa yang dia lakukan memang cukup keterlaluan. Seharusnya dia tidak mencium gadis itu sembarangan. Apalagi lelaki itu tahu dengan jelas kalau Riana belum pernah pacaran. Kehidupan gadis itu hanya bersama mereka, tujuh bujang yang selalu bertindak seperti bodyguard.
"Bang, sebenernya Lo ada masalah apa? Dari semalem Lo aneh, makan yang biasanya banyak, sekarang cuma segitu. Cerita sama kita-kita, siapa tahu beban Lo jadi berkurang." Nam yang memang penasaran dengan apa yang sedang menimpa kakak tertuanya.
"Kagak ada masalah. Gue cuma lagi banyak kerjaan dan kurang enak badan. Kalian nggak perlu kawatir," Jun bersikap seolah semuanya baik-baik saja. Masalah Riana, tentu dia tidak bisa menjabarkan pada adik-adiknya.
"Seriusan, Bang? Tapi Abang kelihatan beda banget, lah. Apa karena kedatangan cewek baju orens kemaren? Dia siapa? Mantan Abang?" tebak Jimi, dan tebakan adiknya memang benar.
Jun menghela napas dan mengangguk untuk membenarkan dugaan adiknya.
"Serius? Jadi beneran?" Mata Jimi melotot, mengekspresikan keheranannya. Dia tidak menyangka kakaknya memiliki mantan yang berpenampilan super seksi.
"Itu udah lama. Tapi bukan karena dia gue begini. Murni soal pekerjaan." Jun terus mencoba untuk meyakinkan.
"Kalau emang masih suka, balikan aja, Bang." sahut Vino.
"Jangan Bang, bahaya." timpal Jimi.
"Kenapa, Bang? Kok Bang Jun kagak boleh balikan sama cewek itu?" Jaka yang tadinya fokus makan ikut nimbrung pembicaraan mereka.
"Penampilannya seksi parah. Bodinya kayak gitar spanyol. Nggak baik buat kesehatan," Jimi terkekeh, disusul dengan tawa yang lain.
"Jaka nggak denger apa-apa." Jaka langsung menutup kedua telinganya dengan telapak tangan. Kelakuan lelaki itu membuat gelak tawa semakin keras terdengar.
Di suasana sehangat sekarang, Jun tetap merasa hampa. Dia ingin Riana hadir di tengah-tengah mereka seperti biasanya. Entah kapan dia bisa mengakhiri perang dingin dengan gadis itu.
Jun merogoh ponselnya dan mengirim pesan pada Robi untuk segera membawa Riana pulang setelah mereka selesai makan. Dia tidak ingin Riana dan Robi terlalu lama berada di luar rumah.