Alarm berbunyi dan membangunkanku. Hari ini aku sengaja membuat nada alarm sekeras mungkin agar aku bisa terbangun. Dengan langkah gontai aku berjalan ke kamar mandi dan menggosok gigiku. Saat melihat bibirku di cermin, aku teringat kejadian yang terjadi kemarin malam. Sentuhan bibir Bang Jun yang sekilas itu langsung membayang begitu saja.
Kenapa harus Bang Jun? Bukan berarti aku mau melakukannya dengan kakakku yang lain. Justru itu tidak pernah terpikir olehku. Saat membilas busa odol, aku mengusap permukaan bibirku dengan ibu jari. Aku benar-benar sudah kehilangan ciuman pertamaku.
Tidak ingin terus berlarut, aku segera mandi dan bersiap pergi ke kampus. Sengaja memilih jadwal kampus setiap hari supaya tidak terlalu banyak materi yang harus aku terima.
Biasanya aku keluar kamar tanpa menghela napas, tetapi kali ini aku melakukannya. Rasanya belum siap untuk kembali melihat wajah Bang Jun setelah kejadian semalam.
"Selamat pagi, para abang." Aku langsung duduk dan meneguk segelas minuman hangat yang sudah tersedia.
Saat Bang Jun keluar dari dapur dan membawa semangkuk besar nasi goreng ke meja makan, aku segera bangkit dari dudukku.
"Gue berangkat sekarang, pakai ojek aja. Ada tugas yang harus dikerjakan pagi-pagi."
"Tugas apaan, Ri? Perasaan kagak ada tugas apa-apa," celetuk Bang Jaka.
Ah, dia tidak tahu masalahnya. Aku harus buru-buru keluar dari ruang makan untuk menghindari Bang Jun. Aku masih belum tahu harus bersikap seperti apa di hadapannya setelah kejadian kemarin malam.
"Sudah, duduk dulu, sarapan. Jangan coba-coba bo'ong. Mau ketemuan sama cowok, 'kan?"
Bang Nam langsung memegang pergelangan tanganku. Aku memejamkan mata. Sepertinya kabur tidak akan berhasil. Dugaan mereka pasti macam-macam. Aku memang tidak pernah berangkat memakai jasa ojek, karena mereka memang bertugas bergantian untuk mengantar aku dan Bang Jaka.
Aku terpaksa nyengir dan kembali duduk. Sementara Bang Jun memasukkan satu centong nasi ke atas piringku. Dia juga meletakkan telur mata sapi di sana. Itu memang tugasnya setiap hari. Kalau bukan dia yang berinisiatif, aku yang manja untuk diambilkan.
"Nam, hari ini gue ada rapat pagi di kantor. Lo anterin Riana sama Jaka ke kampus gantiin gue," Aku terkejut mendengar itu.
Pasal pertama, Bang Jun yang biasa memanggilku dengan sebutan Riri, berubah menjadi nama asliku, Riana. Kedua, di jadwalnya mengantarkan aku dan Bang Jaka, dia malah menyerahkan tugas itu ke Bang Nam. Tapi baguslah, aku tidak perlu bersikap canggung di sampingnya.
"Oke, siap, Bang." sahut Bang Nam santai.
Aku melirik ke arah Bang Jun sedikit. Hari ini dia memakai celana jeans hitam dan kaos putih lengan pendek. Kalau memang dia mau ke kantor, dia tidak mungkin 'kan, memakai pakaian sesantai itu?
Pandangan mataku terpaku ke piringnya. Bang Jun makan sangat sedikit. Padahal biasanya dia banyak makan. Kenapa? Ah, tapi buat apa aku memikirkan Bang Jun. Lagipula dia sudah jahat.
Aku kembali fokus ke makananku sendiri. Makanan buatan Bang Jun memang tidak pernah gagal. Itu yang membuatku tidak pernah makan di luar. Bagiku, masakan Bang Jun paling enak sedunia.
---
"Ri, Lo tau nggak, Bang Jun kenapa?" tanya Bang Nam, saat kita sudah setengah perjalanan.
"Nggak tau. Emang kenapa, Bang?" tanyaku.
"Sejak semalam sikapnya aneh. Dia juga nggak balik makan lagi, padahal makanannya belum setengah dimakan. Apa dia ada masalah, ya?" Bang Nam tampak bertanya-tanya.
Aku teringat lagi dengan porsi makan Bang Jun tadi, sangat sedikit. Kalau semalam Bang Jun tidak kembali makan dan sekarang dia makan sedikit, bisa-bisa Bang Jun sakit. Mendadak aku merasa khawatir.
Tapi saat mengingat ciuman itu, rasanya aku masih sangat kesal. Aku cepat-cepat menepis pemikiran-pemikiran yang menggangguku. Tentu saja aku tidak ingin membuat hariku kacau hanya karena terus memikirkan Bang Jun.
"Mungkin dia lagi ada masalah di kantor, makanya gitu. Udah deh, Bang ... kagak usah dipikirin." Aku mencoba untuk menenangkan Bang Nam.
"Bener juga, sih. Terus tadi pagi ngapain mau kabur?" Ternyata Bang Nam masih ingat kejadian trik kaburku yang gagal.
"Ahaha, nggak. Gue sebenarnya mau cobain rasanya naik ojek. Penasaran, kata teman gue enak." Aku beralasan. Tidak mungkin aku bilang pada Bang Nam kalau aku berniat menghindari Bang Jun.
"Temen Lo hoax. Mana ada naik ojek enak, yang ada rambut Lo berantakan, panas, banyak debu. Sampe' kampus kucel Lo, kayak kuntilanak belum keramas," celoteh Bang Nam. Seketika aku tertawa.
"Emang ada kuntilanak yang keramas, Bang?" Bang Jaka di belakang ikut nimbrung.
"Lah, itu suster ngesot keramas ada, pasti kuntilanak keramas juga ada," sahut Bang Nam seenaknya.
"Bukan gitu konsepnya, Abang!"
---
Sepanjang pelajaran berlangsung aku justru terus kepikiran pada Bang Jun. Bagaimana kalau dia sakit? Bagaimana kalau sikapku membuat dia kecewa.
Tapi ...
Memangnya aku tidak boleh marah kalau dia menciumku sembarangan? Kita hanya kakak-adik, bukan pacar atau semacamnya. Menurutku mencium bibir seseorang yang bukan pasangan itu aneh. Apalagi dia seenaknya bilang kalau aku orang yang dia cintai.
"Ri, Lo kuliah yang bener. Mau sampe' mana juga abang bayarin. Biar nanti masa depan Lo bagus, bisa banggain Mama Papa,"
"Inget ya, jangan pacaran dulu sebelum lulus kuliah. Lo juga nggak boleh pergi-pergi sama cowok tanpa seizin abang. Nggak ada dugem, nggak ada nongkrong nggak jelas."
"Ganti! Jangan pakek baju terbuka begitu, Ri. Besok abang beliin baju baru. Jangan lagi pakai baju kiriman dari Mama. Abang tau, ini cuma kelihatan pundaknya, tapi ini menurut abang nggak cocok buat kamu."
"Kalau ada apa-apa, cerita sama abang. Abang bakalan selalu ada buat kamu. Abang janji."
Tiba-tiba semua kata-kata bijak Bang Jun bermunculan di otakku. Seakan sebuah rekaman yang diputar kembali. Ada apa denganku? Kenapa mendadak aku memikirkan dia?
"Riana! Ri, Lo kenapa, sih?" Jeni menjentikkan jari di hadapanku. Aku sangat terkejut. Sepanjang pelajaran aku justru memikirkan Bang Jun terus-menerus.
"Oh, nggak. Kayaknya gue kurang makan. Nanti jam istirahat kita borong bakso di kantin. Gue traktir," Aku sengaja mengiming-imingi makanan pada Jeni agar dia tidak curiga dan berusaha ingin tahu apa yang ada di pikiranku.
"Asyik, makan-makan. Dalam rangka apa? Lo ulang tahun?"
"Bukanlah. Bulan lalu gue ulang tahun, sekarang ulang tahun lagi, yang bener aja." kataku setengah berbisik.
"Siapa tau 'kan ... Lo udah mberojol masuk lagi, terus keluar lagi," Jeni terkikik.
"Astaga, temen gue sableng. Itu cuma kejadian di imajinasi Lo aja. Betewe nih, menurut Lo, mungkin nggak sih, ada orang yang mendem perasaan diem-diem sampe nggak kecium? Pura-pura seolah dia nggak ngerasain apapun ke kita?" tanyaku iseng.
"Ada lah. Nggak semua orang bisa jujur sama perasaannya, Lo tau. Dia mungkin sengaja buat nggak bilang ke target karena nggak yakin endingnya bakalan hepi."
"Maksud Lo?"
"Takut ditolak. Itu contoh orang yang rela mendem rasa asal masih bisa terus barengan."
"Cemen juga, ya." gumamku tanpa sadar.
"Lo lagi ngomongin siapa?"
"Itu, gue ngumpat orang diperumpamaan Lo. kalau suka ya bilang aja, ngapain disimpen-simpen."
"Perasaan itu ribet, Ri. Lo nggak akan ngerti kalo nggak ngerasain. Ah Lo, puber aja belom, boro-boro ngerti cinta." ejek Jeni.
"Sialan Lo, kalo ngomong suka bener," Aku terkikik.