Sepulang makan bakso bersama Bang Robi, aku duduk di bangku meja belajar yang ada di kamarku. Sejak malam itu aku belum pernah bicara lagi dengan Bang Jun. Semua pesannya juga belum ada yang ku balas. Aku mengambil ponselku yang ada di laci, berniat untuk membaca pesan dari kakak tertuaku itu.
"Abang minta maaf, abang tau apa yang abang lakukan sudah sangat keterlaluan."
"Abang tau, kata maaf tidak bisa mengembalikan keadaan ke semula. abang hanya ingin mengusir wanita itu."
"Sungguh, abang tidak ada niat untuk melakukan hal yang lebih dari itu. Abang terpaksa melakukannya, Ri."
"Tolong maafkan abang,"
"Abang sayang sama kamu, Ri. Sama seperti sayang abang ke abangmu yang lain. Abang akan menunggu sampai kamu mau bicara lagi sama abang. Jaga kesehatan, tetap ingat apa pesan Abang,"
Aku meletakkan ponselku ke atas meja. Mengingat lagi kejadian malam itu. Bang Jun memang hanya menempelkan bibirnya saja ke atas bibirku, tidak lebih dari itu.
Apa aku keterlaluan? Reaksiku terlalu berlebihan karena aku belum pernah ciuman sebelumnya? Kalau dipikir lagi, bukankah bagus, ciuman pertamaku jatuh pada Bang Jun daripada ke orang lain? Argh! lama-lama aku pusing memikirkan ini.
Tatapan mataku hinggap pada foto kami berdelapan yang aku pajang di meja belajarku. Mencoba mengulurkan tangan untuk meraihnya. Aku menatap wajah Bang Jun lekat-lekat. Dia sosok kakak yang luar biasa. Selalu berusaha melakukan yang terbaik untuk kami, para adik-adiknya.
Ya, sepertinya aku memang harus minta maaf pada Bang Jun. Aku memang jauh lebih muda dari dia, tetapi itu tidak bisa menjadi alasan aku bisa bersikap kekanakan terus. Kalau tidak ada Bang Jun, siapa yang akan membayar semua biaya hidupku? Mungkin aku sudah tinggal di kolong jembatan.
Aku beranjak dari kursi tempatku duduk setelah meletakkan kembali pigura foto yang aku pegang ke tempatnya. Dengan hati-hati aku membuka pintu kamarku.
Di ruang keluarga masih ada empat kakakku, Bang Robi, Bang Nam, Bang Bagus, dan Bang Jimi. Mereka berkumpul seperti biasa, main game.
"Mau kemana, Ri?" Bang Nam menangkap gerak-gerikku.
"Mau cari Bang Jun. Dia sudah tidur?" tanyaku memberanikan diri.
"Iya, dia ada di kamarnya. Tadi ngeluh pusing."
"O-oh, ya udah. Gue ke sana dulu, ya Bang." Aku tersenyum sekilas lalu melanjutkan langkahku menuju ke kamar Bang Jun.
"Ya udah sana. Kalau dia udah tidur, bilang ke kita aja apa yang Lo butuhin. Kasian Bang Jun, dia capek, banyak kerjaan." Bang Nam mengingatkan.
"Iya, Bang."
Mereka sudah biasa melihatku begitu dekat dengan Bang Jun, karena memang dia sangat perhatian dengan semua adik-adiknya. Aku yakin, dia tidak akan marah. Walaupun detak jantungku jadi tidak menentu saat jarak antara aku dan kamar Bang Jun semakin dekat.
"Aku harus bilang apa, ya? Apa langsung minta maaf aja? Terlalu aneh nggak ya?" Aku masih saja bimbang harus bagaimana di hadapan Bang Jun.
Sekarang aku berada tepat di depan kamar Bang Jun. Dengan tangan gemetar aku berusaha untuk menggapai handel pintu kamar kakakku itu. Pelan-pelan aku menariknya dan pintu itu terbuka.
"Bang ...," Aku mencoba untuk memanggil Bang Jun pelan.
Tidak ada jawaban. Kamar Bang Jun masih terang. Biasanya kalau dia sudah tidur, lampu kamarnya pasti dimatikan. Aku penasaran, kenapa dia tidak menjawab panggilanku. Apa Bang Jun marah?
Aku melangkahkan kakiku untuk masuk ke dalam kamarnya. Menutup kembali pintu kamar kakakku perlahan. Tidak ada suara apapun. Suasana kamar Bang Jun benar-benar sunyi.
Ternyata Bang Jun terbaring di atas ranjangnya. Aku memperhatikan wajah kakak tertuaku itu dengan seksama. Kalau dilihat-lihat, Bang Jun tampan juga. Tapi kenapa dia tidak mencari seseorang yang bisa menjadi kekasihnya? Daripada menjadikanku kekasih palsu, bukankah lebih baik kalau dia punya pacar yang sebenarnya?
Tiba-tiba saja kepala Bang Jun bergerak, gerakan memejamkan mata secara tidak wajar mengisyaratkan kalau dia sedang mimpi buruk. Ditambah lagi keringatnya yang bercucuran.
Aku langsung duduk di sampingnya. Mencoba untuk membangunkan dia. Tapi ada hal baru yang aku sadari. Suhu badan Bang Jun tinggi. Dia demam.
"Bang ... Bang Jun, Bang ... Abang bisa denger Riri? Riri di sini, Bang ...," Aku mencoba membangunkan Bang Jun. Perlahan, lelaki itu membuka matanya.
Bang Jun langsung bangkit dari tidurnya walau sedikit sempoyongan.
"Ada apa, Ri? Lo butuh sesuatu? Ada tugas kuliah yang Lo nggak bisa? Atau Lo butuh abang buatin sesuatu? Lo laper?" Bang Jun terlihat khawatir.
Entah mengapa mendengar ini aku justru meneteskan air mata. Bang Jun terlalu baik, padahal dia lagi sakit, tetapi masih sempat memperhatikan aku.
"Abang ... Abang sadar nggak, sih? Abang lagi sakit, ngapain peduliin gue?" kataku sambil terisak.
"Gue cuma demam, Ri. Besok juga udah baikan, nggak usah nangis." Bang Jun membawaku ke dalam pelukannya.
"Bang Jun pikir gue bayi yang bisa dibegoin? Abang nggak usah tutupin lagi, badan Abang panas begini. Kenapa sih, Abang nggak mau makan gara-gara Riri? "
Aku menatap mata Bang Jun. Dia tampak terkejut. Pasti dia berpikir dari mana aku tahu kalau dia tidak makan dengan baik sejak malam itu.
"Siapa bilang? Abang makan, kok. Nggak usah nangis, jelek kalau nangis begini. Besok abang sembuh, udah cup." Bang Jun mengusap puncak kepalaku. Aku jadi semakin merasa bersalah. Gara-gara aku, Bang Jun jadi sakit begini.
"Maafin gue ya, Bang. Gara-gara gue Abang jadi sakit,"
"Abang yang harusnya minta maaf, kemarin lancang cium kamu di depan Salsa,"
"Udah, gapapa. Gue tau Abang terpaksa. Harusnya gue nggak langsung marah gitu aja ke Abang."
Ada perasaan lega yang hadir di hatiku. Lebih baik memaafkan Bang Jun daripada terus menghindar. Lagipula, kalau terus menghindar aku bingung harus makan apa lagi. Tidak mungkin setiap hari makan malam bakso di luar.
"Abang janji, nggak akan sentuh Lo sembarangan lagi. Jangan musuhin abang lagi ya, Cantik. Jujur, abang kesepian kalau nggak ada Lo. Biasanya Lo selalu nemenin abang masak di dapur,"
"Cie, ada yang kangen. Padahal baru dua hari," ledekku.
"Gimana nggak kangen, Lo kan bawelnya minta ampun. Nggak ada Lo jadi sepi. Lo nggak akan marah lagi 'kan? Abang peluk Lo begini?"
Aku menggeleng. Biasanya Bang Jun juga yang menenangkan aku saat aku terus mimpi buruk. Lagipula aku percaya, Bang Jun bukan lelaki yang nakal.
"Gue nggak akan marah, Bang. Sekarang Abang tunggu di sini. Gue mau ambilin obat buat Abang. Harus diobati demamnya biar cepet sembuh." Aku berusaha untuk melepaskan diri dari Bang Jun, tetapi dia menahanku
"Gimana kalau kita masak pasta dulu? Abang laper,"
"Tu 'kan ... Abang pasti tadi makan sedikit makanya demam. Ya udah, yok masak bareng. Gue juga kangen makan masakan Abang."
"Makanya kalau ngambek jangan lama-lama,"
"Iya-iya ... maaf,"