"Tiara! Kenapa memejamkan mata? Lihat angka timbanganmu." Suara Adit yang terdengar gembira, membuatku memberanikan diri untuk membuka mata.
"Hhhhuuuuaaaaaaa! Aditttttttt!" triaku.
Aku menangis sejadinya, tanpa sengaja aku memeluk Adit dengan erat. Dipelukannya itu, aku menangis tersedu-sedu.
"Hey ,,, kenapa menangis?" Adit memegang wajahku lalu menghadapkan ke wajahnya. Aku tahu ini salah, aku telah memeluk dia yang bukan pasangan halalku. Bahkan aku sendiri masih seorang istri sah dari Bara Permana. Seorang pria yang dengan sengaja mencampakkan-ku, menjadikan aku babu di rumahnya. Tapi apa boleh buat, orang pertama yang melihat keberhasilanku adalah Adit. Sehingga reflek aku memeluknya.
Timbangan tubuhku menginjak angka
56 Kg. Sebetulnya sudah ideal mengingat tinggi tubuhku 160 Cm. Tapi kata Adit, aku harus menurunkan tiga atau empat Kg lagi.
"Makasih … makasih … makasih …" ucapku berkali-kali pada Adit.
Selama program ini, seseorang yang menemaniku hanya Adit. Yang memberi semangat disaat aku ingin menyerah. Seseorang yang selalu membuatkan makanan sehat. Andai Adit ini menjadi suamiku ….
Untuk perawatan tubuh dan rambut, Adit memanggil Mela sepesial untuk melayaniku. Seperti hari ini, Mela akan datang untuk meni-pedi.
"Ssssttt! … jangan ucapkan kata terima kasih berkali-kali." Jari telunjuk Adit menutup bibirku untuk tidak berbicara. Ya ampun … udah persis seperti film drama, cowoknya romantis gitu. 'Heleh … mikir apa si kamu Tiara'
"Ehem …" baru dipikirkan, Mela sudah tiba, membuat Adit menarik jarinya. Sungguh aku merasa malu, entah dengan Adit.
"Mba Tiara! Cantik sekali. Perfect," puji Mela membuat wajahku bersemu karena malu. Mela menghampiriku setelah sebelumnya melirik Adit seperti menggoda.
"Kalian mau lulur kan? Kalau begitu, saya mau pulang dulu," pamitnya. "Tiara … semangat! Lima Kg lagi," cetusnya hingga akhirnya diapun menghilang dari pandangan.
"Cie, Mba Tiara. Ahem … ahem …" Mela terus menggodaku.
"Apaan si kamu, Mel. Aku sama Adit gak ada hubungan sepesial lagi. Mana mau Adit smaa saya."
"Kelihatan dari mata Dokter Adit, dia kayak naksir gitu sama Mba Tiara."
"Agh, kamu jangan bikin saya meleleh, Mel."
"Wah … berarti Mba Tiara suka dong sama Dokter Adit!" celetuknya.
"Hust! Sembarangan kamu, Mel. Sudah ayok mulai pekerjaanmu."
"Mba, glowing banget deh sekarang," pujinya lagi.
Aku tidak lagi menjawab, hanya senyum yang kutampakan. Jujur, wajah Adit selalu lewat di pikiranku.
Salahkah aku jika mencintainya? Perhatian dan kebaikannya, membuatku timbul rasa ingin memiliki. Sebelumnya, aku tidak pernah memiliki perasaan seperti ini. Tapi kenapa harus pada Adit yang terlalu sempurna untukku. Siapakah aku baginya.
****
Selesai melakukan lulur, Mela kembali bertanya.
"Mba, Tiara … setelah langsing kenapa wajahnya tampak lebih muda? Berapa umur, Mba Tiara. Maaf kalau saya lancang, Mba," ucap Mela.
"Iya, ternyata berat badan dan penampilan semrawut mempengaruhi wajah, ya?" Mela mengangguk.
"Aku baru umur 27 tahun, Mel. Dan suamiku yang mendua dengan alasan aku gendut, dia kini berusia tiga puluh tahun," lanjutku.
"Tega banget suami, Mba Tiara," cetusnya sambil terus memijat kepalaku.
"Memang dia seganteng apa, Mba? Belagu amat," tanyanya dengan nada yang ketus.
"Menurutku dia tampan, tapi ketampanan saja tidak cukup kalau tidak mempunyai etitud yang baik. Dia berpendidikan, tapi mulutnya seperti orang yang tidak berpendidikan. Dia berpenghasilan besar, tapi penghasilnya membuatnya angkuh dan merasa tidak membutuhkan orang lain. Aku istrinya, tapi seperti orang lain baginya. Maka kusebut diriku ini orang lain," terangku.
"Kenapa Mba Tiara mau menikah dengannya? Sudah tahu sikapnya sangat buruk!"
"Perjodohan. Ayahku dan Ayahnya bersahabat. Tanpa saling mengenal, kami dinikahkan. Awalnya dia cinta sama aku, tapi cinta itu berubah ketika kesuksesan mampu diraih olehnya, ditambah lagi, perubahan berat badan yang kualami pasca melahirkan. Jadilah alasan untuk mendua. Selain itu, sikap tidak bersyukur juga memang ada di dalam dirinya," ucapku menjawab pertanyaan Mela.
"Aku mendukungmu untuk berubah, Mba. Tunjukan padanya kalau Mba Tiara bisa melebihi wanita yang berada di sampingnya kini." Aku terdiam.
"Sakit hati aku mendengar cerita, Mba. Sudah, tinggalkan saja pria seperti dia. Sama Dokter Adit aja cocok, Mba," lanjutnya.
"Kok Dokter Adit? Ada gak ada Dokter Adit, aku memang ingin berpisah darinya. Membuktikan padanya kalau aku bisa sukses setelah berpisah darinya."
"Semangat, Mba."
*****
Sudah selesai semuanya. Mela juga sudah kembali ke klinik. Kini tinggal aku sendiri. Waktu santai ini, kuhabiskan untuk memikirkan sosok Adit. Wajahnya yang tampan, senyumnya yang manis, tutur bahasanya yang sopan, dan sifat lucunya begitu melekat dalam hati dan ingatan.
Tok … tok …!
"Tiara! Ini aku, Adit." Baru kupikirkan, dirinya sudah tiba. Segera aku berlari untuk membuka pintu. Namun sebelumnya, aku merapikan rambut dan memoles bibirku dengan sedikit lipstick. Wangi rambutku begitu segar dan menenangkan. Sehingga, membuatku lebih percaya diri.
"Eh, Adit. Ayo masuk," ajakku. Padahal biasanya aku tidak pernah menawarkan dia untuk masuk.
"Ayok keluar."
"Kemana?"
"Belanja baju. Ya kali kamu pakaiannya serba kebesaran," ucapnya.
"Aku ganti baju dulu?"
"Tidak perlu. Nanti saja di toko baju gantinya."
"Aku gak ada uang." Kuangkat kedua alisku menunggu Jawaban.
"Aku banyak uang," ungkapnya. Tanpa mendengar jawaban dariku, Adit menarikku masuk ke mobilnya. 'Ya ampun … seneng banget. Aku belum pernah mendapat perlakuan manis seperti ini'
*****
Beberapa jam kemudian, kami telah sampai di pusat perbelanjaan.
"Ra, kamu pilih semua baju yang kamu inginkan. Mau beli sama tokonya juga boleh," godanya.
"Kaya punya uang aja, sombong," sungutku.
"Klinik-ku empat. Perusahaan satu, anak tunggal pula. Apa kurang yakin sama uangku." Gigi putih yang rata itu kembali iya tampakan.
Perasaan tidak enak membuatku tidak bergeming apalagi memilih. Semua terlampau mahal untukku. Maklum, aku tidak memiliki uang. Yang punya uang orang tuaku. Malu aku kalau harus meminta pada mereka. Meskipun orang tuaku memiliki segalanya, terkadang memberi itu lebih enak daripada menerima.
"Tiara, kamu pakai baju ini." Adit menyodorkan sebuah Dress berwarna merah.
"Tapi … tapi …."
"Tapi apa? Cepat kamu kenakan pakaian ini!" Adit mendorongku masuk ke ruang ganti.
"Dit …," Dia menoleh ke arahku tanpa berkedip. Baju yang dipilihkan Adit, sangat cocok untukku. Rambutku yang bergelombang dan terurai semakin menunjang penampilanku. Dapat kulihat di cermin, tubuhku menjadi langsing dan kencang. Wah efek diet disertai GYM ini, luar biasa efeknya di tubuh.
"Adit ,,,! Gimana?" tanyaku karena iya masih terbengong.
"Bagus, Ra. Coba pakai ini." Adit menyodorkanku sebuah high heels warna silver berukuran 38. Aku meraih dan memakainya.
"Waow, Ra. Beautiful. Cocok banget sama kamu." Lagi-lagi dia memujiku.
"Udah dong ,,, jangan muji terus, aku malu. Kamu gak lihat wajahku seperti udang rebus?"
"Mba … tolong bungkus semua yang sudah saya pilih," triaknya pada salah satu penjaga butik.
Tidak lama kemudian, penjaga butik itu memberikan beberapa kantong belanjaan dengan total hampir lima belas juta rupiah. Aku merasa tidak enak. Mungkin terlihat dari raut wajahku.
"Baru segitu, Ra," cetusnya seperti mengerti apa yang tengah kupikirkan.
"Segitu juga duit, Dit." Ucapan trima kasih tidak berhenti dari mulutku.
****
Saat tengah asyik bergurau dengan Adit, aku melihat Bang Bara dan Sandra sedang melihat-lihat sebuah cincin.
"Kamu mau?" Lagi dan lagi tanpa mendengar sebuah kata yang terucap Adit membawaku ke toko di mana Sandra dan Bang Bara sedang melihat sebuah cincin. Aku berlagak tidak mengenali Bang Bara dan Sandra. Berakting kiranya seperti wanita karir yang sukses. Untung aku sudah berganti pakaian.
"Pak Adit?" sapa Sandra dan Bara lalu mereka berjabat tangan. Sedangkan aku sendiri berlagak memilih-milih cincin.
"Wah, sudah punya pasangan ya, Pak," ucap Bang Bara. Aku masih tidak menoleh ke arahnya.
"Do'akan saja Pak Bara," ucap Adit. Aku bingung kok seorang Dokter di panggil Pak.
Aku melirik sekilas ke arah Bara dan Sandra. Dapat kurasakan kalau Sandra sedang memperhatikanku.
"Pak Adit, boleh kami berkenalan dengan calonnya?" Dengan senyum Sandra menawarkan diri.
"Oh silahkan."
"Ra," ucap Adit. Aku mengerti maksud panggilannya. Ku jabat tangan mereka tanpa menoleh ke arahnya. Wajahku tetap menunduk setelah itu kembali menyibukan diri untuk memilih cincin.
Entah apa yang mereka pikirkan. Mungkin mereka berpikir kalau aku ini sombong.
"Pak Adit, bisa datang ke pernikahan kami?" tanya Sandra. Diam-diam aku menguping pembicaraan mereka.
"Bukankah Pak Bara sudah menikah?" Adit balik bertanya.
"Biasa, Pak. Istrinya minder karena memiliki tubuh yang teramat besar. Jadi memilih untuk kabur dari rumah. Dia juga istri yang tidak baik, jadi Bara memutuskan untuk menceraikan-nya. Padahal kalau dia itu benar, Bara tidak pernah mempermasalahkan bentuk badanya yang seperti truk gandeng. Pokonya tidak bagus untuk dijadikan istri," papar Sandra.
Sial Sandra, teganya dia memutar balikan fakta. Awas kalian nanti.
Aku memalingkan wajah ke arah mereka lalu mengucapkan selamat.
"Selamat atas pernikahan kalian," ucapku dengan senyum elegan. Entah Bara dan Sandra mengenaliku atau tidak, tapi mereka terdiam di tempat sampai aku menarik tangan Adit keluar dari tempat itu.
Aku berakting masih seperti tidak mengenali mereka.
Seeblum kami benar-benar menghilang, aku kembali menengok ke belakang dan melihat mereka masih diam menatapku. Sedangkan aku, sedikit tersenyum lalu kembali membalikan badan. Tanpa kusadari, Adit menggenggam erat tanganku.
Tuhan … debaran apa ini? Kenapa begitu cepat dan terasa menyenangkan. Adit … sepertinya aku benar-benar menyukaimu. Hik … hik….