"Gimana si Jovan?" tanya Papa ke Putri di dalam mobil saat mereka bertiga pulang dari restoran tadi.
"Jovan cowok yang baik Pa," jawab Putri.
"Jadi kamu nggak masalah kalau married sama dia kan?" tanya Papa sambil tersenyum cerah.
"Dia terlalu baik buat Putri," lanjut Putri.
Senyuman Papa langsung menghilang.
"Maksud kamu apa?" tanya Papa dengan nada datar.
Mama menarik napas panjang. Ronde baru pertengkaran anak gadis dan suaminya bakalan dimulai. Dia tahu itu.
"Jovan terlalu baik buat Putri. Putri merasa nggak layak untuk Jovan," jawab Putri dengan tegas.
"Kamu!!!!" Papa membentak anaknya tapi kehabisan kata-kata.
Papa menarik napas panjang. Dia terlihat berusaha keras untuk meredakan amarahnya.
Setelah itu, keheningan terjadi didalam mobil mereka.
Papa terlihat masih meredakan amarahnya dan fokus melihat ke depan sambil menyetir. Putri melihat keluar jendela mobil dan air mata mulai menggenang di wajahnya. Mama menundukkan kepalanya dengan raut wajah sedih.
"Apa yang kamu suka dari cowok seperti si Handoyo itu?" tanya Papa dengan suara pelan.
Putri kaget dengan pertanyaan Papa. Dia nggak nyangka kalau bakalan ditanya seperti itu.
Putri berpikir keras.
Apa yang aku suka dari Ayang?
Ganteng? Nggak.
Pinter? Nggak.
Kaya? Nggak juga.
Masa depan suram lagi. Suruh kuliah aja ndak mau.
Barulah Putri sadar kalau memang Ayang-nya tu cowok biasa banget. Kelewat biasa malah.
Putri lalu menarik napas dalam.
"Kalau dibandingin sama Jovan, dimana kelebihan pacarmu itu?" lanjut Papa lagi.
Putri menundukkan kepalanya. Tak ada jawaban yang keluar dari mulutnya.
Putri tahu kalau Aan adalah sebuah kesalahan. Buah dari keisengan masa SMA-nya.
Dulu, saat si Aan nembak dia, Putri juga tak merasakan apa-apa. Dia cuma iseng aja nge-iyain lalu mereka jadian.
Tapi,
Seiring waktu berjalan, Putri memilikinya. Rasa aneh yang membuat dia merasa kalau Aan adalah seseorang yang paling penting untuknya.
Satu-satunya orang yang akan membuat Putri melakukan apa pun untuknya.
Dan kini, Putri sudah terlalu nyaman dengan itu. Sekalipun Aan hanyalah laki-laki biasa tanpa kelebihan apa pun, dia segalanya bagi Putri.
"Kamu harusnya juga tahu, mereka itu tukang kawin. Beristri lebih dari satu. Tak seperti kita, menikah sekali, sampai maut memisahkan. Kamu masih mau?" tanya Papa.
Putri hanya terdiam. Tak ada yang salah dengan kata-kata Papanya. Semua yang beliau katakan itu memang benar.
Tapi,
Sekalipun Aan adalah sebuah kesalahan. Dia kesalahan terindah dalam hidup Putri dan Putri tak menemukan setitik pun penyesalan dalam dirinya.
*****
Putri menangis terisak-isak dalam kamarnya.
Dia menangis karena sedih, bukan karena bingung. Sedari awal dia sudah mengambil keputusan sejak mengobrol dengan Jovan tadi malam.
Putri merasa sedih karena apa yang akan dia lakukan akan membuat orang tuanya kecewa. Bahkan sebelum Putri melakukan apa pun untuk membalas budi atas semua yang mereka berikan untuknya.
Putri sedikit gamang dengan masa depannya.
Tapi dia tahu kalau dirinya adalah manusia dewasa, dan seorang manusia dewasa harus siap menerima konsekuensi dari semua keputusan yang diambilnya. Bukan bocah yang hanya berani bertindak tapi tak berani bertanggung jawab atau melempar tanggung jawab itu ke orang lain.
*****
Putri sedang mengerjakan tugas kuliahnya di sebuah kamar kos yang berukuran kecil tapi terlihat rapi. Dia tak lagi tinggal di rumah mewah Om-nya sejak seminggu lalu.
Tak ada lagi mobil, tak ada lagi ruangan dingin ber-AC. Untung saja selama ini dia sudah ngebiasain diri makan di pinggir jalan bareng Ayangnya.
Putri menarik napas dalam.
"Nggak pa-pa. Cuma setahun aja," gumam Putri menghibur dirinya sendiri.