Seorang pria berumur yang berbadan sedikit pendek dan gempal keluar dari mobilnya. Dari pintu sebelahnya seorang wanita berjilbab dan berwajah manis juga keluar dari mobil itu.
"Kamu aja yang periksa," kata Teguh.
"Mas nggak ikut periksa sekalian?" tanya Wulan pelan.
"Nggak," jawab Teguh pendek.
Wulan hanya menundukkan kepalanya dan berjalan masuk ke dalam bangunan yang terlihat agak ramai itu. Sebuah plang nama yang terbuat dari plat besi dicat putih dan bertuliskan dr. Nina SpOG tertulis disana.
Teguh mengeluarkan rokok dari saku celananya dan berdiri di luar pagar bangunan itu. Apapun ceritanya, dia juga tahu kalau pasti dilarang merokok di area praktek dokter manapun.
Di dalam ruangan praktek, seorang dokter wanita yang mengenakan jilbab terlihat sedang mengobrol dengan Wulan.
"Ibu nggak usah kuatir. Kandungan dan ovum Ibu normal kok. Mungkin belum dikasih rezeki aja sama Yang Kuasa," kata dokter Nina kepada Wulan.
"Iya Dok, makasih ya," jawab Wulan pelan.
"Suaminya sudah diperiksa? Mungkin ada masalah dari pihak suami?" tanya dokter Nina.
"Dia nggak mau Dok," jawab Wulan sambil menundukkan kepala.
dr Nina hanya menghela napas panjang. Ini bukan kali pertama kasus seperti ini terjadi. Setiap kali ada masalah rumah tangga yang berhubungan dengan kehamilan dan calon anak, pihak wanita yang selalu disalahkan.
Si laki-laki selalu merasa normal dan tak ada masalah pada dirinya. Mereka juga merasa malu atau harga dirinya dipertanyakan kalau harus memeriksakan kemampuannya memperoleh keturunan.
"Ya udah. Ibu bersabar aja ya. Usaha harus tetep jalan terus," kata dr. Nina sambil tersenyum simpul.
"Dokter ni," jawab Wulan dengan muka memerah.
"Makasih ya Dok, saya pamit dulu," lanjut si Wulan sambil berdiri.
"Silahkan," jawab dr. Nina.
=====
"Gimana?" tanya Teguh kepada istrinya.
"Kata bu dokter, nggak ada masalah kok Mas," jawab Wulan pelan.
"Tapi kok kamu nggak hamil-hamil?" tanya Teguh dengan nada sedikit ketus.
"Wulan nggak tau Mas. Mungkin belum rezeki," jawab Wulan.
"Kalau kamu nggak bisa ngasih keturunan, aku mau nikah lagi," kata Teguh datar seolah-olah apa yang dia katakan barusan hanyalah sebuah pernyataan wajar dan normal layaknya seorang pembeli yang tak suka dengan barang dagangan yang dia beli barusan.
Wulan tak menjawab. Pandangan matanya hanya menerawang ke luar jendela mobil, hanya seraut wajah remaja yang tiba-tiba saja muncul di kepalanya. Satu-satunya laki-laki yang masuk ke kehidupannya selain suaminya sendiri yang sekarang terang-terangan ingin menikah lagi.
Tapi sesaat kemudian, Wulan tersenyum pahit.
Bagai pungguk merindukan bulan.
Itulah yang kini Wulan rasakan pada dirinya sendiri. Laki-laki itu, punya tiga orang gadis yang mengelilinginya dan berebut untuk memberikan kasih sayang mereka kepada dia.
Apalah Wulan dibandingkan ketiga gadis Han?
Mereka bertiga bagaikan bunga yang sedang mekar-mekarnya dan harumnya semerbak mewangi. Wulan hanyalah sekuntum bunga yang sebentar lagi layu dan kehilangan saripati.
Tak terasa air mata menetes di pipi Wulan.
"Kenapa aku tak dilahirkan lebih lambat sepuluh tahun atau kamu yang dilahirkan sepuluh tahun lebih cepat?" gumamnya dalam hati sambil mengusap air mata yang turun ke pipi.
Teguh hanya melirik ke arah Wulan yang menyeka air matanya tanpa berkomentar apa-apa.
Setahu dia, Wulan menangis karena dia baru saja mengungkapkan keinginannya untuk menikah lagi. Dan dia tak peduli dengan itu.