Angkutan umum tepat menepi ketika sampai di sebuah gang. Azalia turun setelah membayar biaya transportasi. Gadis itu melangkah dengan bayangan mengerikan yang masih terekam sangat jelas di benaknya.
Hal itu menjadi pengalaman paling buruk dalam hidupnya. Dia tak ingin percaya pada mata dan kepalanya yang menyaksikan sendiri kejadian itu. Tak sanggup Azalia menghentikan bayangan menyeramkan dalam benaknya. Dia merasa dihantui oleh rasa bersalah.
"Oh, Ya Rabb, apa maksudnya semua ini," lirih hatinya.
Lalu, sesuatu membuat Azalia berhenti di depan rumah budenya. Dia melihat sebuah mobil yang mungkin dia kenal terparkir di depan sana.
"Zein?" pikir Azalia, yang pikirannya masih kalut.
Tidak salah lagi. Mobil itu pasti milik Zein. Sebelumnya tidak ada yang pernah mengunjungi Azalia menggunakan mobil mewah seperti ini.
Gadis itu berjalan dengan derap langkah. Telinganya mulai mendengar suara obrolan di ruang tamu. Azalia memutuskan untuk melekatkan telinga pada tembok di samping pintu. Dia mendengarkan obrolan itu dengan saksama.
"Lamarannya mau kapan, Nak?" tanya Pakde Reno.
"Besok, Pak. Sekalian akad nikah, biar saya yang urus semuanya," jawab Zein.
Azalia membuka mulutnya lebar-lebar setelah mendengar jawaban itu, lalu menutupnya dengan telapak tangan.
"Akhirnya, Bu, Lia mau nikah juga," ucap pakde terdengar haru.
"Iya, Pak, alhamdulillah," timpal Bude Elin.
Azalia yang masih menguping dari depan rumah merasa tak setuju dengan ucapan bude dan pakdenya. Dia belum mau menikah. Tak lama Azalia berdiri di sana, suara seseorang membuat kegiatan mengupingnya ambyar.
"Sedang apa, Nona?"
Azalia terkejut bukan main mendengar suara yang tiba-tiba itu. Sampai-sampai membuat tubuhnya terlonjak dan melompat hingga bersandar dan berpegangan di pintu rumah. Hal itu membuat setiap mata yang berada di ruang tamu melihat ke arahnya. Mereka pun terkejut melihat Azalia yang tiba-tiba menempel di sana seperti kecoa terbalik.
Azalia merutuki sopir pribadi milik Zein ini di dalam hatinya. Sejak kapan dia ada di sini, pikir Azalia. Kini misi mengupingnya gagal total. Dan malunya dia sebab terlihat seperti ini di hadapan bude, pakde, dan Zein.
"Eh, Lia udah pulang. Sini, atuh, ngapain nempel di situ kayak maling," ucap Bude Elin, sedikit bergurau.
Azalia menegakkan tubuhnya, lalu menggaruk belakang jilbabnya yang tak gatal. Dia tak punya cara lain selain menunjukkan cengiran malu dan melangkah masuk. Azalia duduk di kursi kosong samping budenya, yang berada tepat di depan Zein.
Gadis itu sangat enggan untuk menatap Zein. Padahal dari tadi Zein sudah memusatkan perhatian padanya, bermaksud untuk bicara lewat isyarat mata. Namun Azalia terus menundukkan kepalanya.
"Gini Lia, jadi besok Nak Zein mau ngelamar kamu, sekalian akad nikah," bude memberitahu. "Kamu senang, kan?" tanya bude yang lebih terdengar seperti pernyataan, bukan pertanyaan.
Lagi-lagi Azalia sulit menerima keadaan ini. Bibirnya tak mampu mengingkari semua yang terjadi, meski hati sangat mengingkari. Menyadari perasaan bahagia dan penuh harapan dari bude, pakde, dan Ibu Arumi, membuat Azalia tak tega menghancurkannya. Namun hatinya sangat tak ingin menikah dengan pria ini.
"Lia?" panggil Bude Elin.
"I-iya, Bude," jawab Azalia.
"Aduh jangan malu-malu gitu, atuh. Liat tuh mukanya merah. Lia teh emang begitu, Zein. Ini masih mending dia mau jawab, kalo kemarin-kemarin tiap ada yang dateng mau ngelamar, Lia teh diem aja. Kalo udah diem mah udah nggak ada harapan," jelas Bude Elin panjang lebar.
Zein tampak tersenyum dengan wajah tampannya. Dia mengangguki ucapan Bude Elin. "Iya, Bu," ucapnya.
Sedangkan Azalia, tak henti dia memikirkan bagaimana nasibnya nanti. Kedua tangannya meremas ujung jilbab yang dia kenakan. Dia berharap sesuatu dapat mengubah semuanya. Atau setidaknya waktu bisa terulang. Agar dia tak bertemu pria ini. Namun qadarullah, semua yang terjadi atas kehendak Allah.
Setelah cukup lama berbincang-bincang tentang pernikahan mereka, dan bude Elin yang menelepon sanak saudara, akhirnya Zein pamit undur diri. Dia telah berhasil mengambil hati Bude Elin dan Pakde Reno. Dari tadi pun Azalia tampak diam saja, tak menolak sedikit pun. Pikiran gadis itu sedang terbagi-bagi, membuatnya sulit berpikir matang. Yang Azalia lakukan saat itu hanyalah berdoa dan berdoa.
***
Malam itu, Azalia terbangun tengah malam. Dia menggunakan kesempatan ini untuk salat istikharah. Tak henti dia memohon pada Rabbnya agar diberikan jalan terbaik. Pernikahan adalah setengah jalan hidupnya menuju surga. Tak ingin Azalia sesali jika kelak pernikahannya malah membuatnya selalu diliputi kesedihan dan kemarahan.
Sesuatu yang dari dulu ia harapkan supaya berjalan dengan baik. Mengapa sekarang dipenuhi kebimbangan sebab pria ini. Bude Elin dan Pakde Reno sudah sangat setuju sejak bertemu Zein pertama kali. Entah apa yang dilakukan pria itu, pikir Azalia.
Gadis itu menadah tangannya untuk berdoa. Kepada Sang Pemilik Hati, dia curahkan segala sesuatu yang mengganjal hatinya.
"Ya Allah, tidak ada satu pun kejadian di bumi ini yang terjadi tanpa izin-Mu. Aku mengalami beberapa hal buruk yang sangat tidak menyenangkan bagiku. Tidakkah itu datang dari-Mu Ya Allah....
"Aku memang membutuhkan seseorang untuk menjadi pendamping hidupku, yang bisa menjadi pembimbing, dan teman dikala aku membutuhkannya. Apakah ini jawaban atas doaku Ya Rabb...?
"Aku tak mampu menceritakan kejadian buruk yang kualami pada bude dan pakde. Pembunuhan itu membuatku dihantui rasa bersalah. Apa yang terjadi padaku Ya Allah.... Kuharap hal itu tidak menjadi beban untuk bude dan pakde di kemudian hari. Semoga pula, apa yang telah datang padaku dapat menjadi pelindung dan penanggung jawab hidupku.
"Jika memang yang datang padaku adalah seseorang yang Engkau kehendaki, kumohon permudah saja hati ini untuk menerima. Namun jika yang datang ini adalah cobaan untukku, maka kuatkan aku untuk bertahan dan menolaknya. Tidak ada daya dan upaya tanpa pertolongan-Mu Ya Rabb. Maha benar Engkau dengan segala Firman-Mu...."
Air mata yang mengalir itu perlahan kering. Azalia bangkit dari sajadahnya, untuk kembali melaksanakan salat tahajud. Doanya tak pernah putus, dia selalu mengharap yang terbaik, apa pun yang datang dari Allah.
Setelah adzan subuh dan Azalia selesai melaksanakan salat subuh, ponselnya berdering. Gadis itu meraih ponselnya setelah kegiatan mengikat rambutnya selesai.
"Halo, assala---" sahutan Azalia itu terpotong sebab suara yang sangat mengejutkan dari sana.
"LIAA!!! KAMU MAU NIKAH HARI INI!!!"
Reflek Azalia menjauhkan benda itu dari telinganya. Dia harap kupingnya tidak peka. Elsa berteriak kuat sekali.
"Astaghfirullah, Elsa. Suara kamu ngagetin tau," ucap Azalia setelah mendekatkan kembali ponselnya ke telinga.
"Kok kamu gak ngabarin aku, sih!" protes Elsa.
"Aku aja masih gak percaya El kalo bakal nikah sama dia. Aku lagi bingung banget ini gimana harus bertindak."
"Nanti kuliah kamu gimana? Kita kan masih ada satu semester lagi. Terus juga, nanti gimana aku mau main sama kamu, harus izin dulu dong sama suamimu. Rumahmu nanti di mana, masih di daerah sini, kan. Aku masih bisa ketemu sama kamu, kan?" cerocos Elsa panjang lebar.
Azalia terkekeh mendengar curahan hati sahabatnya itu. Itukah yang dipikirkan Elsa selama ini, pikir Azalia.
" Ya ampun Elsaku, tenang aja, kita masih bisa ketemu," jawab Azalia menenangkan.
"Ya udah, deh, kalo gitu aku mau siap-siap. Mau cari baju buat dateng ke pernikahan kamu."
Tut.
Azalia terbengong di tempatnya. Ucapan Elsa barusan membuatnya benar-benar sadar kalau dia sungguh akan menikah hari ini.
Lalu terdengar suara ketukan di pintu kamar Azalia. Gadis itu meletakkan kembali ponselnya dan berjalan cepat untuk membukanya. "Iya, Bude, sebentar."
Namun ternyata yang mengetuk pintu bukanlah Bude Elin, melainkan seorang wanita cantik dan beberapa wanita lagi di belakangnya. Mereka membawa gaun pengantin dan beberapa alat kecantikan juga perawatan tubuh lainnya, serta aksesoris-aksesoris.
Azalia tidak bisa menahan matanya untuk membesar, juga mulutnya untuk menganga lebar. Betapa terkejutnya gadis itu.
"Sudah siap, Nona Azalia?"