Azalia duduk di kursinya di dalam kelas, menunggu Elsa. Tadi dia tidak menemukan Elsa di apartemen, membuat pikiran Azalia semakin berat. Dia ingin segera menceritakan masalah ini.
Setelah cukup lama menunggu, akhirnya gadis itu datang. Elsa menghampiri Azalia yang terduduk lemas di kursinya.
"Lia," panggil Elsa setelah menongolkan kepala di pintu. Kelas yang luas itu hanya terisi oleh Azalia.
"Sorry, aku gak ada di apartemen tadi. Lagian kamu ngapain berangkat sepagi ini?" Elsa mendudukkan tubuhnya di kursi samping Azalia.
Sebenarnya kelas baru akan mulai jam 10. Azalia sengaja berangkat lebih cepat sebab tak ingin berlama-lama tinggal satu atap dengan pria itu. Dia tidak bisa tenang selama berada di dekatnya.
"Aku bingung, El, tolongin," keluh Azalia tiba-tiba. Membuat Elsa mengerutkan kening heran. Dia belum mendengar kabar apa-apa dari Azalia dua hari ini.
"Bingung kenapa Lia? Kamu belum cerita apa-apa udah minta tolong aja," kata Elsa.
"Ada orang yang mau nikahin aku, hiks...!" ucap Azalia dengan raut sedih.
"What!" Tak mungkin Elsa tak terkejut. "Serius Lia? Kamu mau nikah?"
"GAK MAU ELSAAAA, HWEEE, HIKS...!"
Elsa bingung harus senang atau sedih. Dia tidak tahu kabar yang diberi Azalia ini baik atau buruk. Namun dia melihat Azalia seperti tak senang dengan hal ini.
"Loh, loh, kok malah sedih, sih?" heran Elsa.
"MASALAHNYA YANG MAU NIKAHIN AKU ITU CEO YANG KEMARIN AKU KASIH ULASAN BURUK! HUAAAA! ELSAAA! AKU GAK MAU JADI DAGING CINCANG. NGHEEEE!!"
Elsa menutup telinganya sebab teriakan Azalia barusan. "Uuh, cup, cup, cup. Tenang Lia." Gadis itu meraih kepala Azalia, untuk meredam teriakannya.
Azalia masih mengeluarkan suara-suara tangis mengerikan di pelukan Elsa. "Suutt, udah tenang-tenang. Gimana ceritanya kamu ketemu sama dia?" tanya Elsa.
Azalia menceritakannya pada Elsa, dengan tangis yang masih berceceran di wajahnya. Elsa tampak menangkap semua cerita itu dengan baik. Dia menenangkan Azalia.
"Turut berduka cita deh kalo gitu," ucap Elsa, sedikit bergurau.
Azalia yang mendengarnya tambah membesarkan teriak tangisnya. Membuat Elsa kacau.
"HUAAAAAA!!!"
"Eh! Iya deh iya, aku bantuin kamu biar gak jadi nikah sama dia," ucap Elsa.
"Makasih, Elsaaa, hiks...." Azalia sedikit menghentikan tangisnya.
Saat ini, satu-satunya teman yang sangat mengerti Azalia cuma Elsa. Mereka sudah berteman sejak masuk kuliah. Azalia memang tak punya teman dekat lagi semenjak ayahnya pergi ketika dia SMA. Teman-temannya yang mayoritas golongan elit itu sangat gengsi berteman dengan anak mantan koruptor.
Azalia sempat tak terima dengan keadaan itu, tapi kenyataan menggiringnya ke jalan di mana dia harus ikhlas. Dia tidak ingin menyalahkan ayahnya. Bagaimana pun juga ayahnya itu sangat baik padanya. Dia tak ingin percaya pada orang-orang yang berkata buruk tentang ayahnya. Azalia yakin jika ayahnya tidak pernah melakukan perbuatan buruk itu.
Betapa bersyukurnya Azalia memiliki Bude Elin dan Pakde Reno, mereka satu-satunya kerabat yang baik pada Azalia. Begitupun dengan Elsa, betapa senangnya Azalia kenal dengan gadis baik itu. Elsa tak pernah menyinggung keadaan Azalia, bahkan ketika sifat manja gadis itu keluar. Elsa tak pernah menatap Azalia seperti teman-teman yang lain menatapnya.
Azalia memang tidak setegar itu. Faktanya dia pun hanya gadis biasa yang butuh kasih sayang dan terkadang manja. Dahulu dia selalu mendapatkan semuanya dari kedua orangtuanya. Namun semenjak mereka pergi, Azalia sadar bahwa dia harus berubah. Hingga akhirnya sekarang, dia sedikit bisa meminimalisir sifat manjanya, meski terkadang ada yang tidak bisa dia rubah.
"Iya, Lia. Udah gak usah sedih," ucap Elsa.
Mereka tetap berada di kelas sampai mata kuliah dimulai.
***
Selesai kuliah, Azalia dan Elsa berpisah. Elsa ada urusan penting, ibunya datang ke apartemennya untuk menjenguk keadaannya. Azalia tidak bisa ikut ke sana. Dia tak ingin mengganggu waktu Elsa dengan ibunya, meski sebenarnya Azalia masih ingin main dengannya.
"Kamu hati-hati, ya!" teriak Elsa setelah masuk ke dalam taxi.
"Oke. Kamu juga." Azalia menunjukkan jempolnya.
"Daaah."
"Daaahh." Azalia melambaikan tangannya saat taxi itu mulai melaju.
Dia menghela napas, lalu melangkah menuju perhentian angkutan umum. Azalia harus segera pulang ke rumah bude. Dari kemarin dia tidak berada di sana bersama mereka.
Kemudian, entah mengapa dia merasa sedang diawasi. Azalia menolehkan kepalanya ke belakang, memastikan perasaan was-wasnya. Dia tidak menemukan siapa-siapa. Namun nalurinya berkata untuk melangkah lebih cepat.
Kakinya bergerak cepat untuk melebarkan langkah. Tiba-tiba dua orang preman pasar menghentikan langkahnya. Azalia reflek berhenti. Dia dapat melihat lelaki berbadan besar dengan tato terjahit di kedua lengannya.
"Buru-buru amat, Neng. Mau ke mana?"
Azalia seperti kenal dengan wajah-wajah ini. Dia ingat, waktu itu pernah menghajar mereka sebab mengganggu dirinya. Waktu itu Azalia bergerak reflek sebab preman-preman itu ingin merampas barang miliknya. Jika waktu itu dia bisa lolos, mungkinkah sekarang akan lolos juga?
Azalia mundur selangkah dan memasang kuda-kuda. Preman-preman ini tampak lebih siap dari sebelumnya. Jantung Azalia bergetar hebat, tapi kali ini bukan karena CEO bermulut pisau itu.
"Hajar," suruh salah satu dari dua orang itu.
Satu preman berbadan besar itu sudah maju dan siap menghajar, bahkan dia sudah mengeluarkan suara yang mengerikan untuk menonjok. Azalia memejamkan matanya. Namun lima detik berjalan, Azalia masih tak merasakan apa-apa.
"Kasihan, Bos, cewek soalnya," ucap preman itu dengan iba, bahkan tinjunya masih menggantung.
Azalia membuka matanya, dan melihat gerakan preman itu tertahan. Preman yang dipanggil bos itu memasang raut konyol pada anak buahnya. Azalia tak menyia-nyiakan kesempatan ini. Langsung saja dia menendang bagian bawah perut lelaki di hadapannya.
"Aaakhh!" Lelaki itu kehilangan kendali sebab merasa keram di bagian tertentu.
"Ha rasain! Makan tuh kasian! Makan tuh cewek!" Seru bos preman itu saat Azalia berlari secepat kilat.
"Aduh, Bos...! Hancur masa depan," keluh preman itu sambil masih memegangi pangkal pahanya.
"Udah gak usah banyak bacot. Cepetan kejer!" perintah bosnya.
Tanpa membuang waktu lagi, dua lekaki berbadan besar itu mengejar Azalia yang lari dengan panik. Azalia merutuki dirinya, harusnya dia tidak melewati jalan sepi ini. Azalia lupa kalau pernah bertemu preman-preman ini di sini. Sekarang dia hanya bisa berlari dan berdoa yang terbaik untuk jiwa dan raganya.
Sebuah tangan kekar menarik tasnya untuk menepi. Azalia tersentak. Ada beberapa orang berjas hitam yang berdiri untuk menghadang preman-preman itu. Lalu satu orang lagi berdiri di sampingnya, orang ini yang barusan menarik tasnya. Azalia tak pandang kawan, dia siap menghajar kalau saja orang-orang ini bergerak agresif.
Namun Azalia dapat melihat keadaan saat ini, orang-orang itu membantunya. Terjadi perkelahian yang sangat sengit antara dua preman itu dengan empat pria berjas hitam. Azalia meneguk salivanya saat melihat preman itu mengeluarkan pisau untuk membunuh lawan di hadapannya.
Lalu dia dapat melihat jelas salah satu pria berjas itu mengeluarkan senjata. Dalam hitungan detik, sebuah peluru keluar dari ujung pistol, dan segera menembus kepala preman itu satu per satu. Azalia reflek menarik napasnya.
"Hah!"
Gadis itu menutup mulutnya dan segera mengalihkan pandangannya. Tak sanggup ia melihat darah yang mengucur deras dari tubuh preman itu. Azalia memutar tubuhnya, membelakangi tempat kejadian perkara itu. Seluruh tubuhnya bergetar sangat hebat, napasnya bergerak tak teratur. Dia sungguh tak percaya telah melihat kejadian menyeramkan ini.
"Urus mereka," ucap pria di samping Azalia.
Orang-orang itu segera mengurus apa yang sudah mereka perbuat, tanpa perasaan bersalah sedikit pun.
"Nona, kami akan mengantar Anda pulang," ucap pria itu.
Azalia tidak bisa percaya dengan kejadian ini. Pikirannya tambah berat saja sekarang. Apa yang sebenarnya terjadi. Siapa orang-orang ini.
"Ti-tidak perlu, permisi."
Azalia segera melangkah cepat meninggalkan TKP. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Dia tidak tahu bagaimana harus bertindak. Pikirannya sungguh kalut, dan perasaannya tidak tenang. Bagaimana mungkin! Dia melihat jelas peristiwa pembunuhan ini.
"Nona," panggil pria itu. Namun Azalia tetap melangkah, bahkan berlari.
"Biarkan dia pergi."
Sebuah suara muncul dari alat yang terpasang di telinga pria itu. Pria itu dapat mendengar dengan jelas, sehingga dia tidak lagi menahan Azalia.
"Baik, Tuan," jawabnya setelah mendekatkan mulut pada alat yang tersambung di sana.