Azalia sudah berada di kampusnya sekarang. Setelah tadi dirinya menolak permintaan Arumi yang menyuruhnya berangkat bersama Zein. Azalia langsung berangkat dari rumah Arumi, tak sempat dia kembali ke rumah bude. Beruntungnya kemarin Azalia dibelikan baju oleh Ibu Arumi.
Gadis itu melangkah dengan pikiran berat. Zein membuatnya diliputi kebimbangan. Dia mengingat kembali apa yang terjadi tadi pagi.
"Mencintaimu?" Azalia bertanya penuh ironi. "Hatiku bukan milikku apalagi milikmu. Jangan merasa kau lebih bisa mengendalikannya. Hati ini sudah ada pemiliknya," ucap gadis itu sebelum akhirnya melangkah lagi.
Zein tertegun mendengar ucapan itu. Dia mengira jika Azalia sudah memiliki calon. Padahal yang Azalia maksud tadi adalah Allah lah pemilik hati itu.
Matahari perlahan naik. Setelah mandi dan salat subuh, Azalia keluar dari kamarnya. Gadis itu bingung harus apa, rumah besar ini tampak sepi. Dia berjalan menuju dapur dan mendapati seorang pembantu rumah tangga sedang menyapu lantai. Azalia menghampirinya.
"Selamat pagi, Bi," sapanya.
"Pagi, Nona," jawabnya.
"Biar Lia bantu, Bi."
Azalia sudah hendak meraih sapu di tangan bibi. Pekerjaan yang bisa dia lakukan sekarang hanya itu, sebab semalam dia sudah mencuci piring bekas mereka makan. Padahal Arumi sudah melarangnya, tapi gadis itu tetap bersikeras.
"Tidak usah, Non." Bibi melarang Azalia meraih sapunya.
"Panggil Lia aja, Bi," pinta Azalia.
"Iya, deh, Nona Lia."
"Lia aja, Bi..., gak perlu pakai Nona," pinta gadis itu lebih jelas.
"Ya udah, Neng Lia aja kalau gitu," tawarnya.
Azalia tertawa geli, melihat respon bibi yang lucu baginya. "Ibu mana, Bi?"
"Itu di halaman belakang, Neng."
"Lia ke sana dulu ya, Bi."
"Iya, Neng."
Azalia melangkah dengan hati-hati menuju halaman belakang, yang semalam tampak begitu indah dari kamarnya. Dia dapat melihat Ibu Arumi yang sedang duduk dengan sebuah majalah di tangannya. Ada teh hangat dan roti di meja samping kursinya.
"Selamat pagi, Bu," sapa Azalia.
Arumi menghentikan sejenak kegiatannya untuk melihat Azalia. "Hei, pagi, Lia. Sudah cantik saja," puji Ibu Arumi setelah melihat Azalia.
Azalia tersenyum sopan. "Terima kasih, Bu."
"Sini, duduk dulu," suruh Arumi.
"Azalia ada kelas di kampus hari ini, Bu. Sepertinya Azalia langsung berangkat saja."
"Benarkah? Baiklah kalau begitu, sebentar Ibu panggilkan Zein biar antar kamu." Arumi sudah bangkit dari duduknya.
"Tidak perlu repot-repot, Bu. Azalia bisa berangkat sendiri, kok. Lagian kasihan, mungkin Kak Zein masih tidur sebab kelelahan," ucap Azalia beralasan.
"Gak mungkin Zein masih tidur, Sayang. Ibu tau dia selalu bangun pagi."
Azalia meneguk salivanya. Dia kehabisan ide untuk beralasan. Keadaan ini sungguh terasa sulit baginya. Mau tidak mau gadis itu harus menunggu Arumi kembali. Azalia tak bisa tenang selama menunggu mereka. Jari-jari tangannya bergerak gusar, kakinya pun tak bisa diam di tempatnya.
"Sudah siap?"
Suara yang tiba-tiba berada tepat di belakangnya itu membuat Azalia terkejut. Lebih terkejut lagi saat Azalia memutar tubuhnya, Zein tepat berada satu jengkal di depannya. Keningnya itu hampir saja menyentuh dahu hingga bibir Zein, kalau saja Azalia tak lekas mundur.
Namun sialnya, pergerakan yang terlalu cepat dan tergesa itu membuat kaki Azalia menginjak ujung gamisnya sendiri. Tubuhnya mengalami grativasi yang tak bisa dihindari. Lalu, entah beruntung entah sial, Zein mengambil langkah tanggap untuk menarik tangan Azalia. Untuk beberapa saat tubuh itu tertahan oleh Zein.
Namun tak berlangsung lama. Melihat raut dan pergerakan Azalia yang penuh penolakan, Zein lekas melepaskan tangannya dari gadis itu. Sesaat, Azalia langsung jatuh terduduk di atas lantai. Zein memejamkan matanya tak ingin melihat kepedihan itu.
"Aw," keluh Azalia.
Zein mengalihkan matanya dari gadis yang tersungkur di depannya. "Bukan salahku," ucapnya datar tak ingin disalahkan.
Azalia mengusap bokongnya yang nyeri setelah bangkit dari jatuhnya. Gadis itu merasa sebal dengan pria ini. Tidak tahu siapa yang harus disalahkan sekarang. Namun kalau Zein tadi tak berdiri sangat dekat di belakangnya, tentu Azalia tak akan jatuh seperti ini, dan mereka pun tak akan sempat bersentuhan.
Azalia merutuki dirinya. Berada di rumah ini terlalu lama akan membuatnya merasa sangat berdosa. Sudah dua kali mereka saling bersentuhan. Dan Azalia sangat menyesali hal itu. Di luar sana dia sangat menjaga diri dari lelaki yang bukan mahrom, tapi di dalam rumah ini justru dia banyak lalai.
Tanpa membuka suara dan mengulur waktu, Azalia berlari meninggalkan tempatnya. Zein yang tak menduga Azalia akan lari pun terkejut. Dia pikir gadis itu akan mengomelinya.
Di depan rumah, Azalia masih berdiri di samping mobil. Gadis itu enggan untuk masuk, padahal sang sopir sudah membukakan pintu untuknya.
"Silahkan, Nona," ucap Victor sebab Azalia tak kunjung melangkah naik.
Azalia menoleh ke belakang, melihat Arumi yang berdiri di ambang pintu dengan senyum. Gadis itu bingung, tapi tersenyum membalas senyum Arumi. Ragu Azalia melangkah dan masuk ke dalam mobil itu. Zein yang duduk di sampingnya terlihat sibuk dengan laptopnya.
Victor menutup pintu mobil, dan lekas kembali ke belakang kemudi. Mobil berjalan dengan kecepatan normal. Hening menemani suasana dalam mobil. Hanya suara papan ketik dari laptop yang bersentuhan dengan jari-jari tangan Zein yang terdengar.
Azalia membuka suara ketika mobil sudah lumayan jauh dari rumah. Dia hendak turun di sini. "Permisi, Pak. Saya turun di sini saja," ucap Azalia.
"Kau pikir ini taksi?" suara Zein membuat Azalia menoleh ke arahnya. Pria itu tetap fokus pada laptop. Sang sopir pun tidak mengindahkan permintaan Azalia.
"Bisa kau turunkan aku di sini sekarang?" pinta Azalia pada Zein.
"Sejak kapan kampusmu di pinggir jalan?" ucap Zein, yang tetap fokus.
"Aku ada janji dengan temanku di sekitar sini."
Azalia tidak berbohong, dia memang ingin bertemu Elsa sebelum sampai di kampus. Namun Zein tampaknya tak ingin Azalia turun.
"Kuturunkan kau jika aku melihat temanmu," kata Zein.
Azalia tersentak, matanya bergerak tak karuan. Apa hak pria ini mengatur dirinya. "Apa hakmu padaku? Aku akan tetap turun meski kau tak melihat temanku."
"Lakukan saja kalau kau bisa," ucap Zein, datar. Dia tak kunjung melepas fokus pada laptop.
Wajah Azalia sudah memerah sebab geram. Gadis itu membuka kaitan kunci pada pintu di sampingnya. Victor yang berada dibalik kemudi menyadari darurat pintu sebab Azalia membukanya.
"Tuan!" sahut Victor agar Zein mengalihkan sebentar perhatiannya dari laptop. Azalia benar-benar ingin melompat dari mobil.
Zein menoleh pada Azalia yang hendak mendorong pintu. Gila, itulah yang berada dalam pikiran Zein sekarang. Pria itu menarik Azalia dengan kekuatan miliknya. Sampai membuat Azalia tertarik hingga pintu tertutup kembali. Laptop di pangkuan Zein pun sampai tertindih oleh Azalia yang seperti melayang dibuatnya.
Mata Azalia membesar penuh emosi. Untuk ketiga kalinya hal yang selama ini dia hindari terjadi. Dia tidak bisa lagi menyembunyikan kemarahan dan kesedihannya. Bahaya adalah status yang sangat cocok untuk Azalia tanam dalam otaknya jika berada di dekat pria ini.
Gadis itu bergerak cepat, menjauh dari pangkuan Zein. "Kau tidak berhak melarangku untuk turun di sini! Turunkan aku sekarang juga!!!" titah Azalia, final.
Zein baru dapat melihat kemarahan dalam diri Azalia sekarang. Memang tidak terlalu mengerikan baginya, tapi dia tidak ingin membuat gadis ini tambah marah.
"Turunkan dia," ucap Zein pada Victor.
Mobil itu segera merapat ke bahu jalan. Tanpa menunggu lebih lama, Azalia langsung membuka pintu itu, dan pergi meninggalkan mobil. Zein dapat melihat Azalia yang berlari lebih cepat. Mobil itu belum bergerak sampai Azalia menghilang di tikungan. Zein menghela napasnya.
"Tolong kirim orang untuk mengawasinya!" perintah Zein pada Victor sebelum fokusnya kembali pada laptop.
"Baik, Tuan," jawab Victor sebelum mobil itu kembali melaju.