Malam ini, mau tidak mau, Azalia tinggal di rumah Arumi, atau lebih spesifiknya, tinggal di rumah CEO yang beberapa hari lalu membuat Azalia sport jantung. Arumi kembali menghampiri mereka.
"Sudah Ibu kabarin bude kamu, katanya tidak apa-apa." Arumi melempar senyum setelah mendaratkan b****g di kursi.
"Iya ... te-terima kasih, Bu," ucap Azalia. Gadis itu masih merasakan jantungnya berolahraga.
Setelah selesai makan dan Azalia membereskan bekas makanan itu, Arumi mengantarnya ke kamar tamu. Kamar itu letaknya masih di lantai satu. Azalia bersyukur karena kamar itu jauh dari tempat Zein. Setidaknya sekarang jantungnya bekerja dengan normal.
"Istirahat yang cukup, Lia. Ibu tinggal, ya," ucap Arumi.
Azalia memutar tubuhnya untuk melihat Arumi yang berdiri di ambang pintu. "Iya, Bu, terima kasih. Ibu juga istirahat yang cukup."
Arumi meninggalkan Azalia yang tampak sedang beradaptasi dengan kamarnya. Gadis itu menyapu pandangnya ke seluruh penjuru ruang. Kamar itu sangat luas untuk seorang tamu. Ada toilet juga di dalam sana.
Sebuah cermin lebar yang tampak seperti di salon kecantikan menempel di dinding. Azalia dapat melihat pantulan dirinya di sana. Lalu dia mendekati meja rias, tidak terlihat banyak barang di atas itu, hanya ada sisir, dan beberapa bandana. Kakinya melangkah lagi. Kali ini dia menggeser sedikit kain gorden yang menutupi kaca jendela. Azalia dapat melihat sebuah kolam renang di halaman itu.
Dia bergegas membersihkan diri setelah puas menikmati suasana malam dari jendela. Tak lupa Azalia mengambil wudhu. Dia selalu melakukan rutinitas itu, jika ingat. Namun faktanya pun dia jarang sekali lupa. Itu sudah menjadi kebiasaannya.
Azalia menanggalkan kerudungnya di depan cermin rias, lalu menggunakan sisir untuk merapikan rambutnya. Rambut panjang dengan keriting yang menggantung di bagian ujung itu kini tergerai tanpa pengikat. Azalia melangkah ke ranjang setelah puas merapikan wajah. Gadis itu terlelap setelah berdoa.
Pukul tiga dini hari, alarm dari ponselnya terdengar lembut. Azalia membuka matanya lalu menarik lampu di nakas. Dia mematikan alarm itu. Segara Azalia mengambil wudhu untuk salat tahajud. Gadis itu selalu membawa mukena dalam tas bahunya.
Setelah salam, samar-samar Azalia mendengar suara di depan kamarnya. Dia bangkit dari sajadah untuk melihat keadaan di sana. Namun keraguan menyelimuti batinnya. Azalia menahan tangannya pada gagang pintu, dia berpikir lama. Suara itu terdengar semakin keras, seperti makhluk bernyawa sedang mengemas sesuatu.
Azalia meneguk salivanya. Dia mengumpulkan keberanian untuk menarik gagang pintu, tapi tidak lebar. Gadis itu mengintip dari celah pintu yang sedikit terbuka, dan dia tidak melihat siapapun di sana.
Sedangkan Zein yang sedang berlari di atas treadmill electric --semacam alat olahraga untuk jalan/lari di tempat-- melihat pintu kamar tamu itu terbuka sedikit. Alat olahraga yang letaknya di sudut ruangan itu membuat Azalia tak dapat melihatnya hanya dengan mengintip.
Zein menghentikan sejenak kegiatannya, lalu melangkah mendekat ke sana. Didorongnya pintu yang terbuka tanggung-tanggung itu dari samping. Azalia tak melihat Zein sebab terhalang pintu, tapi dia bisa merasakan pintu itu bergerak.
Gadis itu menegakkan tubuhnya, lalu sosok yang tiba-tiba muncul membuat Azalia reflek berteriak.
"Waaaaa!" teriak Azalia, agak panjang.
Zein yang mendengar suara teriakan pun sedikit terkejut. Dibekapnya mulut yang menimbulkan bising itu. Dia tak ingin tidur maminya terganggu. Sedangkan di kamar Arumi, hampir dia terjaga kalau saja teriakan itu terus berlanjut.
Azalia yang merasakan serangan sebab kepalanya ditahan dan mulutnya dibekap segera memberontak. Dia menggigit tangan itu sekuat tenaga. Zein merasakan gigitan ratu semut di tangannya, langsung dia melepas bekapan itu dari Azalia. Jangan sampai dia rabies sebab gigitan itu, pikir Zein.
Azalia bergerak cepat untuk membuat jarak yang sangat jauh darinya. Jantungnya mulai berolahraga lagi. Apa-apaan pria ini, berani-beraninya menyentuh dirinya, pikir Azalia. Gadis itu memasang raut marah pada pria yang masih berdiri di ambang pintu.
Zein dapat melihat Azalia yang mengenakan mukena, berdiri dengan perasaan geram. Gadis itu kini terlihat seperti karung sandal bagi Zein. Matanya menatap Azalia intens dari atas sampai bawah. Apa dia tidur pakai mukena? pikir Zein.
"Stop!" titah Azalia saat Zein hendak melangkah maju.
Zein menahan kakinya yang sudah maju selangkah. "Memangnya kau siapa mau memerintahku," balas Zein.
Deg.
"Aku diminta untuk menginap di sini dan istirahat di kamar ini. Setidaknya sekarang kamar ini hakku karena aku seorang tamu. Dan tuan rumah yang baik tak seharusnya masuk saat tamu masih berada di sini, apalagi kalau dia laki-laki."
Azalia melangkah mundur. Dengan tampang menyebalkan, Zein tetap melangkah masuk ke kamar itu. Azalia sudah siap menghajarnya kalau-kalau dia bergerak agresif.
Zein menatap Azalia sinis dengan ujung matanya, sambil terus berjalan. "Tidak perlu berpikir macam-macam. Kau tidak ada apa-apanya bagiku," ucap Zein datar sebelum melangkah masuk ke toilet di dalam sana.
Azalia tegak mematung, mulutnya terbuka dengan tampang konyol. Memang benar-benar menyebalkan. "Memangnya dia kira aku berpikir apa!" gerutu Azalia.
Gadis itu lekas menukar mukenanya dengan kerudung miliknya. "Kalau tidak ada apa-apanya, kenapa berencana menikahiku! Dasar, orang aneh!"
Kakinya melangkah keluar kamar setelah rapi dengan kerudung. Azalia pun sudah mengemasi tas kecilnya. Dia menuju ruang tengah untuk sekadar duduk dan menunggu Ibu Arumi bangun.
Namun dia merasa tak nyaman jika hanya duduk. Biasanya Azalia membaca Al-Qur'an setelah salat tahajud. Malangnya, dia tak sedang membawa Al-Qur'an di tasnya. Azalia memutuskan untuk membaca lewat HP saja. Dia mulai mencari surah Al-Mulk di sana.
Perlahan, bibirnya terbuka untuk memulai bacaan. Azalia membacanya dengan suara kecil. Mungkin hanya orang yang berjarak satu meter darinya saja yang mampu dengar. Namun ternyata tidak. Zein yang barusan keluar dari kamar tamu, setelah menyadari Azalia tak ada di sana, mendengar suara yang begitu menenangkan.
Zein bergerak lambat ke sumber suara. Dia bisa melihat dan mendengar lebih jelas sekarang. Gadis itu sedang duduk dengan kepala tertunduk. Ponselnya menyala, dan bibirnya penuh doa. Suara itu mengingatkannya pada sesuatu. Namun bagian lain dalam dirinya seolah mengingkari ingatan itu.
Zein melangkah lebih dekat. Azalia yang menunduk dapat merasakan bayangan seseorang di depannya. Gadis itu berhenti sejenak untuk mengangkat kepala.
"Sorry, kembali saja ke kamarmu. Di sini terlalu dingin."
Tentu Azalia tidak salah dengar. CEO belagu itu ternyata bisa minta maaf juga. Gadis itu bangkit dari kursinya setelah melepas pandangan dari Zein. Azalia tidak berkata apa-apa, hanya berjalan menuju kamarnya kembali.
Zein yang merasa ucapannya tak direspon lekas memutar tubuhnya untuk melihat gadis itu. "Azalia," panggilnya.
Mendengar namanya dipanggil, Azalia berhenti. Namun tetap pada posisinya, tidak berbalik menghadap Zein. Dia menunggu pemanggilnya itu bersuara lagi.
"Ibuku sangat ingin kau jadi menantunya. Tolong jangan kecewakan dia."
Seketika, raut wajah Azalia penuh dengan kerut. Apa-apaan yang dia dengar barusan. Gadis itu langsung memutar tubuhnya saat mendengar langkah kaki Zein yang hendak menjauh.
"Tunggu dulu tuan yang terhormat. Aku tidak bisa menikah dengan seorang pria yang tidak aku cintai." Ucapan Azalia membuat langkah Zein terhenti.
"Kalau begitu," Zein menjeda ucapannya, "akan kubuat kau mencintaiku."
Pria itu kembali melanjutkan langkahnya, meninggalkan Azalia yang kini mulutnya terbuka sebab terkejut. Kedua mata gadis itu berkedip sesekali. Ucapan CEO itu terdengar seperti sindiran baginya. Tak mungkin Azalia mencintainya.