Gemercik air Azalia rasakan mengalir dari mesin pencuci baju. Wanita itu sedang berdiri di depan mesin cuci, menunggu air penuh. Lalu suara Zein mengejutkannya.
"Sedang apa?"
Azalia menoleh pada Zein yang berdiri di sana.
"Memangnya aku terlihat sedang mencari ikan? Jelas-jelas aku sedang mencuci," celetuk Azalia.
Zein memalingkan matanya geram, tak suka dengan jawaban Azalia.
"Tak perlu dicuci!" perintahnya.
"Memangnya besok mau pakai baju apa kalau ini tidak dicuci?" tanya Azalia, yang terdengar seperti celaan bagi Zein.
"Tinggalkan benda itu sekarang juga!" suruh Zein lagi.
"Tidak mau."
"Tinggalkan atau aku jeburkan kau ke kolam!" ancam Zein.
Azalia tak mengindahkan ancaman itu. "Memangnya di sini ada kolam," ucapnya meremehkan.
Zein yang merasa geregetan segera melangkah mendekati wanita itu, lantas mengangkut tubuh mungil Azalia. Azalia yang tak siap pun melayang digendongan Zein. Dia sempat berteriak meminta turun sebelum akhirnya Zein beneran melemparnya ke kolam.
"Mas! Aku gak bisa berenang!!" teriak Azalia yang tertelan air.
Azalia merasakan wajahnya yang basah sebab percikan air. Wanita itu segera membuka matanya. Betapa terkejutnya dia saat melihat Zein yang sedang berdiri dengan gelas berisi air di tangannya.
Barusan Zein menyipratkan air ke wajah Azalia menggunakan tangannya. Dia kehabisan cara bagaimana harus membangunkan wanita itu. Sampai akhirnya Zein memilih cara ini.
Azalia tersadar kalau tadi hanya mimpi. Tak terbayangkan baginya jika Zein benar-benar melemparnya ke kolam. Azalia merutuki dirinya yang hampir terjaga sepanjang malam, membuatnya terlambat bangun dan tidak mendengar alarm ponselnya. Bahkan Azalia merasa dia baru memejamkan mata.
"Tidak mau solat tahajud?" ucap Zein yang melihat Azalia terduduk dan menatapnya penuh was-was.
Zein yang mematikan alarm di ponsel Azalia. Dia membaca note yang tertulis di sana "Semangat Tahajud!" mendorong Zein untuk membangunkan Azalia yang masih terlelap.
"Astaghfirullah aladzim," ucap Azalia yang barusan melihat jam. Sebentar lagi waktu subuh tiba.
Azalia segera bangkit dari kasurnya dan lekas bersiap untuk salat tahajud. Saat kakinya hendak memasuki kamar mandi, satu hal yang mengganjal hatinya. Apa yang dilakukan Zein bangun sepagi ini? Dia ingin bertanya. Namun, melihat Zein yang tampak sibuk melakukan pemanasan badan, membuat Azalia mengurungkan niatnya. Dia seperti sudah bisa menebak apa yang dilakukan pria itu.
***
Pagi datang menyapa, Azalia berdiri tak jauh dari mesin cuci. Namun dia belum melakukan apa-apa pada mesin cuci itu. Mimpi itu masih menggerayangi pikirannya. Dia jadi takut untuk mencuci baju. Bagaimana kalau Zein benar-benar akan melemparnya ke kolam.
Namun setelah Azalia ingat lagi, tempat ini tidak memiliki kolam. Tentu saja vila ini tidak memiliki kolam, Azalia sudah mengecek seluruh sudutnya kemarin. Lalu dia bingung dengan mimpinya sendiri.
"Astaghfirullah, lagian itu cuma mimpi, tidak mungkin Zein akan melemparku kolam karena aku mencuci baju," ucap Azalia dengan dirinya sendiri, dia menggelengkan kepalanya. Azalia segera memasukkan beberapa baju kotor ke dalam mesin.
Akhirnya memang tidak terjadi apa-apa, bahkan Zein tidak muncul setelah dirinya selesai mencuci baju. Mimpi itu hanya bunga tidur saja. Azalia pun tak mengerti, kenapa bisa dia bermimpi seperti itu.
Azalia mengelilingi vila untuk mencari Zein. Dia ingin memasak, tapi tidak ada bahan makanan apa pun di vila ini, mereka juga tak sempat membeli apa-apa kemarin. Dia menghampiri Zein yang sedang sibuk dengan ponselnya. Azalia tak tahu apa yang dilakukan suaminya dengan ponsel itu. Zein tampak melekat terus dengan benda itu.
"Mas...," panggil Azalia lirih. Setelah bingung bagaimana harus memulai, akhirnya Azalia memilih untuk memanggilnya Mas.
Namun Zein masih sibuk dengan ponselnya. Sedikit pun dia tak merasa terpanggil oleh Azalia. Wanita itu mengulangi panggilannya, kali ini lebih keras.
"Mas," panggil Azalia.
Akhirnya Zein menoleh, dengan sorot dan tatapan tajam, membuat Azalia tak yakin dengan niatnya untuk bertanya. Seketika nyalinya habis digerogoti tatapan itu. Azalia menggeser bola matanya untuk melihat ke arah lain.
"Tidak ingin makan?" tanya Azalia.
Sorot tajam itu berubah menjadi biasa. Zein bangkit dari duduknya setelah menyimpan ponselnya di saku. Dia berdiri tepat di hadapan Azalia.
"Kau lapar?" tanyanya.
Azalia tak lekas menjawab. Kakinya melangkah mundur sebab jarak antara mereka membuat Azalia sulit bergerak. Zein mengikis jarak itu dengan langkahnya yang panjang.
"Aku juga lapar," ucapnya dengan suara yang membuat Azalia merinding. "Tapi aku tidak mau makanan matang."
Azalia mengerutkan keningnya, mencoba berpikir positif. Namun, melihat air wajah Zein yang tampak menyebalkan, membuat Azalia berpikir macam-macam dan reflek ingin berlari. Zein segera mengembalikan wajahnya pada ekspresi semula, datar.
Pria itu tertawa singkat dengan senyum miring. Dia melepaskan tatapannya yang dari tadi tertuju pada Azalia.
"Bercanda," ucapnya. "Aku sudah memesan makanan, sebentar lagi datang. Tidak perlu berpikir macam-macam."
Azalia cemberut, apa-apaan ucapannya itu. Seenaknya saja mempermainkan perasaan orang. Menyebalkan. Dia berkata seperti itu seolah dirinya sudah sering mempraktekkan, pikir Azalia. Banyak hal yang belum Azalia tahu tentang suaminya. Dia pun masih menerka-nerka bagaimana sifat pria itu sebenarnya.
"Siapa yang berpikir macam-macam," ucap Azalia tak mengalah begitu saja, meski tadi dia memang sempat berpikir macam-macam.
"Benarkah kau tidak memikirkannya?" tanya Zein dengan wajah menyebalkan itu lagi.
"Tentu saja tidak," jawab Azalia cepat. Dia tak akan termakan lagi dengan permainan Zein.
Namun Zein tampak serius kali ini. Azalia sudah siap dalam pertahanannya, dia bukan w************n yang bisa dipermainkan. Dia akan bergerak cepat untuk melakukan tolakan kalau-kalau Zein bertindak agresif lagi.
Zein melangkah mendekatinya lalu mengaitkan lengannya pada leher Azalia. Pria itu menyeretnya agar mengkuti langkahnya. "Sudah ayo makan, makanannya sudah sampai," ucap Zein menyudahi masalah itu.
Azalia yang mood-nya sudah terlanjur memburuk, melepaskan kepalanya dari rangkulan Zein. "Aku bisa jalan sendiri," ucap Azalia.
Zein, si otoriter, tidak menerima segala macam bentuk penolakan. Apalagi dari istrinya. Azalia yang berdiri tak jauh darinya menatap sebal. Langsung saja Zein menggotong tubuh Azalia dan membawanya ke meja makan.
"Hah!" Azalia tersentak.
Zein menggotong tubuhnya seperti mengangkat karung beras. Tiba-tiba Azalia teringat tentang mimpinya semalam. Hal ini sama persis seperti yang Zein lakukan saat menggotong tubuhnya.
"Mas! Turunin aku! Mas!!" panik Azalia. Dia sudah was-was kalau saja Zein akan melemparnya ke pantai.
"Aku suamimu bukan mamasmu!" jawab Zein tegas.
"Terus aku harus memanggilmu suami gitu?" tegas Azalia balik. "Suami turunkan aku!" kata Azalia sambil memukul punggung Zein.
Wanita pengantar makanan yang sudah berdiri di depan pintu-pintu kaca vila mereka, melihat peristiwa penggotongan itu.
Zein menaruh Azalia di atas meja makan. Kini Azalia terduduk dengan perasaan bingung di atas meja makan kayu itu.
"Tunggu di sini!" titah Zein.
Azalia diam mematung dalam duduknya, di atas meja makan. Seketika wajahnya menjadi konyol. Dia merasa seperti hidangan sebab diturunkan di sini. Suaminya itu sedang ada masalah apa, sih, pikir Azalia. Zein melangkah ke pintu untuk mengambil pesanannya.
"Pesanannya, Tuan, hehe," ucap wanita pengantar makanan itu dengan perasaan aneh.
"Terima kasih," jawab Zein dan segera menutup pintu itu kembali.
Wanita pengantar makanan itu sempat terkejut mendengar suara pintu yang ditutup cepat. Dia tidak habis pikir dengan pasangan baru ini. Hal itu membuat jiwa kejombloannya seketika meronta-ronta.