Seluruh rangkaian acara usai, kini menyisakan lelah. Seharian sudah mereka menyalami tamu dan sedikit berbasa-basi. Azalia sempat bertemu dengan beberapa sanak saudaranya, yang dulu menyampakkannya, bahkan mengolokinya. Beberapa sepupu dari kerabat ayahnya itu ada yang tampak tak percaya melihat pencapaian Azalia. Mereka tak pernah menyangka kalau gadis itu akan menikah dengan CEO.
Jika dilihat lebih jelas, tampak pada wajah-wajah itu raut dengki. Namun mereka menyembunyikannya dengan ucapan selamat pada Azalia. Beruntungnya Azalia tak pernah menyimpan dendam sedikit pun pada mereka. Gadis yang kini berstatus sebagai istri CEO itu sungguh memiliki hati yang baik.
Azalia bersama Zein sudah berada di sebuah vila VIP yang suasananya sangat damai, juga letaknya yang strategis. Balkon kaca di kamar mereka langsung menampakkan keindahan pantai yang penuh dengan pepohonan, juga gulungan-gulungan ombak kecil yang menambah keindahan itu.
Azalia sudah selesai mandi dan memakai pakaian tidur, yang lengan dan celananya panjang. Kerudung pun masih setia dia gunakan. Wanita itu mengintip Zein yang sedang sibuk dengan ponselnya, Zein masih mengenakan pakaian pengantin. Pria itu memang menyuruh Azalia untuk mandi lebih dulu.
"Kau tidak ingin solat maghrib berjamaah?" tanya Azalia yang hanya menongolkan kepalanya dari pintu kamar.
Zein menoleh ke arahnya, lalu bangkit dari duduknya. Pria itu melangkah menuju pintu kamar, hendak masuk. Azalia menegakkan tubuhnya saat Zein memasuki pintu.
"Tunggu di sana," pinta Zein sambil menunjuk sofa di ujung kamar.
Pria itu langsung masuk ke toilet setelah menaruh ponselnya di meja. Azalia menurutinya setelah meliriknya untuk memastikan kalau dia serius ingin salat. Segera dia duduk di sofa yang tak jauh dari toilet. Dia menunggu Zein, dengan perasaan canggung. Jari-jarinya tampak tak tenang, giginya pun tak berhenti menggigiti bibirnya.
Hingga akhirnya suara pintu terbuka. Azalia memalingkan wajahnya ke arah berlawanan, dia bahkan membelakangi Zein yang baru keluar. Pria itu tampak bertelanjang d**a, dia melangkah melewati Azalia dan segera mencari pakaian di lemari. Azalia langsung berbalik lagi ke arah berlawanan saat Zein berdiri di sana.
Tak lama kemudian, terdengar suara tubuh Zein yang jatuh di kasur. Azalia menoleh pada pria yang kini berstatus sebagai suaminya. Tampak Zein yang sudah terlentang dengan mata terpejam. Wanita itu segera bangkit dari duduknya dan protes.
"Katanya mau solat?" protesnya.
"Memangnya aku bilang begitu?" tanya Zein balik.
Azalia menahan sebal dalam hatinya, membuat wajahnya memerah. Wanita itu segera melangkah meninggalkan Zein.
"Mau ke mana?" Zein menghentikan langkah Azalia.
"Mau cari ikan!" jawab Azalia sebal. "Ya mau solat, lah." Wanita itu melanjutkan langkahnya.
Zein berpikir panjang. Jika Azalia salat di masjid, hal itu akan membuat orang-orang merasa aneh. Apalagi mereka baru saja melaksanakan pernikahan. Ditambah lagi, masih ada beberapa kerabatnya yang juga menginap di daerah sini.
"Azalia, perempuan lebih baik solat di rumah," ucap Zein yang baru saja berlari mengejar Azalia.
Azalia sudah hendak memakai sandal. Apa yang diucapkan Zein itu memang benar.
"Tapi ini bukan rumah, dan aku mau solat berjamaah."
Azalia pun ada benarnya, tempat itu bukanlah rumah, melainkan vila.
Zein tampak kacau sebab tak bisa lagi menjawab. Hingga akhirnya dia mengalah, "Oke, oke, kita solat berjamaah."
Azalia terdiam di tempatnya, melihat Zein, memastikan kalau pria itu serius. Hingga akhirnya mereka salat berjamaah di dalam kamar. Azalia tak menyangka kalau Zein memiliki suara yang merdu saat membaca Al-Qur'an. Surah yang dia kuasai pun masuk kategori surah panjang. Bagaimana mungkin hal itu ada padanya.
Hati Azalia terasa tenang dibuatnya. Hal yang baru saja terjadi membuat pikirannya tentang Zein sedikit berubah. Lantunan ayat yang keluar dari bibirnya membuat Azalia jatuh seketika. Tak mungkin pisau bernyawa cocok untuk menjulukinya, pikir Azalia. Mungkinkah dia telah jatuh cinta.
Setelah salam, Zein masih tampak terdiam dalam duduknya. Pikirannya melayang jauh, sangat jauh, sampai pada masa-masa kecilnya yang bahagia. Dia masih ingat, betapa hangatnya masa itu. Saat dia melihat ibu dan ayahnya salat bersama. Lalu ayahnya berbalik dan membiarkan ibunya mencium tangannya. Zein yang masih sangat kecil sempat berlari menghampiri mereka, untuk ikut bersaliman. Namun sekarang hal itu hanya ingatan saja baginya.
Azalia yang sedang tertunduk dalam dzikirnya, tiba-tiba melihat tangan Zein yang menjulur di bawahnya. Wanita itu mengangkat kepala, wajah Zein tampak biasa saja, tapi Azalia paham maksud uluran tangannya. Segera dia meraihnya untuk menciumnya.
Namun, belum sempat Azalia menciumnya, Zein langsung bangkit dan menariknya. Azalia sempat tak mengerti dengan pria itu. Barusan dia merasa damai karenanya, sekarang dia kembali merasa sebal. Zein membuat emosinya naik turun.
Azalia hanya bisa beristighfar dalam hati, melihat Zein yang kini sudah terbaring lagi di kasurnya. Wanita itu menghela napas, sabar.
"Tidak ingin menunggu solat isya?" tanya Azalia.
"Tidak," jawabnya singkat.
Meski tersentak, Azalia tak bisa berkata-kata. Dia melanjutkan saja dzikirnya sampai adzan isya berkumandang. Azalia melaksanakan salat isya seorang diri.
Setelah selesai salat, Azalia berdiri di samping ranjang yang sisinya kosong. Dia sedang memikirkan bagaimana untuk tidur. Bahkan dia belum melepaskan kerudungnya dari tadi.
"Tidur saja," ucap Zein tiba-tiba, membuat Azalia tersentak, sebab dari tadi mata pria itu terpejam.
Jantung yang tadinya normal, kini menjadi deg-deg-an. Azalia pikir suaminya itu sudah berkelana di dunia mimpi. Dari tadi pun Zein tampak tenang di tempatnya. Merasa kalau Zein barusan mengigau, Azalia memberanikan diri untuk mengibaskan tangan di atas wajahnya.
Namun sialnya, dugaan Azalia tentang Zein yang mengigau salah. Tangannya yang mengibas-ngibas itu dicengkeram erat oleh pemilik wajah. Azalia gelagapan dibuatnya.
"Sudah kubilang tidur saja," ucap Zein, lalu menyingkirkan tangan itu.
Azalia mengelus-elus tangannya, dan memasang raut sebal. Ingin rasanya dia marah dan memukul pria ini dengan bantal. Sayangnya Azalia tak berani. Tak bisa meredam kejengkelannya, Azalia langsung menjatuhkan tubuh di kasur. Dia tetap mengenakan kerudungnya. Wanita itu membelakangi Zein yang terlentang. Raut sebal masih tergambar di wajahnya, membuat pipinya menggelembung merah.
Azalia tidak bisa tenang. Kakinya bergerak-gerak, dan tubuhnya tidak bisa diam. Membuat Zein yang masih belum tidur juga terganggu.
"Diam atau aku akan mendiamkanmu!" titahnya, kali ini penuh ancaman.
Azalia langsung diam, meski begitu dia tidak merasa takut dengan ancamannya. Malah membuatnya semakin sebal.
"Mana bisa makhluk hidup disuruh diam, memangnya bantal guling," jawab Azalia, yang sepertinya ada benarnya juga.
Gantian Zein yang merasa sebal. Wanita ini pintar sekali menjawab keotoriterannya. Lalu Azalia merasakan sebuah tangan dan kaki mengikat tubuhnya dari belakang. Wanita itu tersentak dan segera merapatkan tangannya. Zein benar-benar membuatnya terdiam.
"Kau pikir aku bercanda!" ucap Zein sebal di atas kepala Azalia.
Glek.
Azalia meneguk salivanya. Dia tak menyangka akan seperti ini jadinya. Wanita itu tampak tegang berada di pelukannya. Tentu saja ini hal pertama bagi Azalia. Wanita itu benar-benar terdiam sekarang. Dia takut akan sesuatu kalau saja dirinya bergerak.
"Satu hal yang harus kau ingat, aku tidak pernah main-main dengan ucapanku," ucap Zein yang tak kunjung melepaskan kaitannya.
Pria itu perlahan terlelap, dengan sangat damai. Berbeda dengan Azalia, hampir sepanjang malam matanya terjaga, dalam pelukan itu. Dia masih sangat takut akan satu hal. Bagaimana kalau Zein melakukannya saat dia tidur. Ah, tidak, tidak, tidak, Azalia membuang jauh-jauh pikiran itu.