Serangkaian upacara adat sudah mulai dilakukan. Beberapa hari lalu keluarga Satya datang untuk melamar Kirana secara resmi dengan membawa barang-barang seserahan, sebagai simbol kesanggupan Satya untuk mencukupi kehidupan calon istrinya.
Menjelang hari pernikahan, kediaman orang tua Kirana sudah dipenuhi dengan berbagai macam hiasan yang terbuat dari janur, kembang mayang dan berbagai macam bunga, baik sintetis maupun asli. Dekorasi serba putih dengan sentuhan warna lilac menghiasi ruang keluarga yang menjadi tempat diselenggarakannya pengajian dan siraman.
Kirana tampak anggun dalam balutan kebaya berwarna broken white bertabur payet dengan make up flawless natural, sementara rambutnya dibiarkan tergerai indah berhias bandana dari ronce melati. Diiringi gendhing ketawang gadis itu keluar dari kamar untuk melakukan prosesi sungkeman.
Suasana khidmat dan haru menyelimuti acara tersebut. Tidak hanya Kirana dan kedua orang tuanya, semua tamu yang menyaksikan momen tersebut ikut menitikkan air mata.
Kirana duduk bersimpuh di hadapan kedua orang tuanya, membacakan surat yang ia tulis sebagai permohonan izin dan permintaan maaf.
“Papa, Mama …,” Baru dua kata, tetapi suara Kirana sudah tercekat dan mata yang terasa panas. “dengan segala kerendahan hati … Kirana memohon ampun atas semua kesalahan yang Kirana lakukan selama ini.”
Tangis gadis itu akhirnya pecah, begitu pula dengan Mamanya dan tamu undangan. Sedang Danu mendongak untuk menghalau air mata yang sudah menggenang di pelupuk.
Kirana menyeka bulir bening yang membasahi wajahnya. Punggungnya bergetar dibarengi dengan suara isakan yang coba ia tahan. Kirana menarik nafas panjang mencoba memenuhi paru-parunya dengan oksigen.
“Maafkan, hiks … Kirana karena belum bisa menjadi anak baik dan membanggakan untuk Papa dan Mama.” Linangan air mata semakin deras disertai suara yang mulai terbata-bata.
“Terima kasih untuk semua yang Papa dan Mama berikan untuk Kirana, yang nggak akan pernah bisa Kirana balas. Terima kasih sudah menjadi orang tua terhebat, orang tua yang selalu sabar dalam menghadapi tingkah laku Kirana.”
Kirana kian menunduk. mencengkram kuat mikrofon yang ia gunakan di atas paha. Bayangan ketika sang mama tidak bisa tidur karena mengkhawatirkannya tiba-tiba melintas. Rasa bersalah menyeruak memenuhi rongga d**a, membuatnya semakin kesulitan bernafas.
Danu mengusap punggung istrinya yang semakin tersedu-sedu, berusaha menenangkan meski air matanya juga ikut menitik.
Tidak jauh berbeda, Bima juga tidak bisa menahan tangis. Sebentar lagi adik yang selalu membuatnya pusing dan khawatir akan menjadi milik orang. Gadis kecilnya akan mengemban tugas yang cukup berat di usianya yang masih terlalu muda.
Jika ada yang bertanya apakah dia rela melepaskan adik tersayang pada pria yang belum jelas bagaimana tabiatnya? jawabannya adalah belum.
Cukup lama Kirana berada dalam posisi tersebut, sebelum akhirnya dia kembali mengangkat mikrofon, melanjutkan meski masih sesenggukan. Suaranya pun terdengar serak.
“Pa, Ma … Kirana memohon doa restu dari Papa dan Mama. Besok Kirana akan memulai kehidupan baru sebagai seorang istri sekaligus ibu.”
Tidak seperti kalimat permohonan restu pada umumnya. Kirana sengaja tidak menyebutkan Satya sebagai pria yang ia pilih karena memang begitu kebenarannya.
“Doakan agar Kirana bisa membangun keluarga harmonis, seperti Papa dan Mama membangun keluarga kita. Mendidik anak-anak dengan baik, seperti Mama dan Papa mendidik Kirana dan Mas Bima.” Kirana memberi jeda untuk bernafas. Meski tidak menangis seperti di awal, air mata gadis itu tetap menetes mengiringi setiap kalimat yang diucapkan.
“Doakan juga agar Kirana diberikan kemudahan untuk menghadapi segala permasalahan yang mungkin akan Kirana hadapi dikemudian hari.” Ini adalah permintaan yang paling utama karena Kirana tahu jika jalannya dalam mengarungi kehidupan bersama Satya tidak akan mudah.
Astika yang sejak tadi menunduk, langsung mengangkat wajahnya setelah mendengar kalimat putrinya. Firasatnya sebagai seorang ibu mengatakan jika apa yang akan dilalui Kirana tidak semudah yang ia lalui saat menikah dengan papa Bima.
“Tegur dan nasihati jika ke depannya masih ada kesalahan yang Kirana lakukan. Bagaimanapun juga, Kirana masih tetap anak Papa dan Mama.
Kirana selalu berdoa semoga Papa dan Mama selalu diberi kesehatan dan panjang umur. Kirana sayang kalian. Papa dan Mama adalah orang tua terbaik.” Kirana mengakhiri dengan kondisi masih terisak.
Kini giliran Danu yang memberikan doa dan juga wejangan singkat untuk putri bungsunya.
“Kirana putri kecil Papa, jadilah istri yang taat. Patuhi perintahnya selama itu baik dan jika keliru … ingat dia dengan cara yang baik. Jangan pernah membentak apalagi berkata kasar. Kamu harus sabar.” Danu menghela nafas lalu menatap lekat netra putrinya yang masih basah.
“Setiap rumah tangga memiliki cobaannya masing-masing. Papa yakin Kirana mampu menghadapi seberat apapun masalah itu nanti.”
Setelah memberi sedikit wejangan, Danu juga menyampaikan permintaan maaf pada putrinya.
Serangkaian acara adat telah dilaksanakan. Mulai dari pengajian hingga Midodareni. Tidak ada acara bridal shower karena ketiga sahabatnya baru datang sehari sebelum akad berlangsung.
Kirana sudah berganti dengan piyama. Tubuhnya benar-benar lelah setelah menjalani serangkaian acara hari ini. Namun, bukannya memejamkan mata, gadis itu malah termenung.
Bagi Kirana ini seperti mimpi. Rasanya baru kemarin dia menjadi Mahasiswa dan bertemu dengan ketiga gadis yang kini menjadi sahabatnya. Waktu berlalu sangat cepat. Sekarang dia sudah lulus dan dalam waktu kurang dari dua puluh empat jam, status dan kehidupannya akan berubah.
Tok! Tok! Tok!
Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Kirana. Dia berseru mempersilahkan si pengetuk masuk. Kirana tersenyum menyambut seseorang yang masuk ke kamarnya.
“Sudah mau tidur, Dek?”
Astika, wanita itu menyambangi kamar putrinya. Mungkin ini akan menjadi kali terakhir ia bisa bebas masuk ke ruangan pribadi Kirana.
“Belum,” jawabnya lirih disertai senyuman.
Kirana menggeser duduknya menjadi sedikit ke tengah, memberikan ruang untuk Astika duduk.
“Gimana perasaanmu? Gugup?" tanya Astika yang sudah duduk di samping Kirana. Mereka sama-sama bersandar pada kepala ranjang dengan kaki yang ditutupi selimut.
Kirana kembali menggeleng sambil memilin ujung selimut. “Nggak tau, Ma. Rasanya ini seperti mimpi.”
Dia berharap ini benar-benar mimpi, saat terbangun esok pagi semuanya sudah kembali seperti sedia kala, atau kalau bisa dia ingin memundurkan waktu ke masa saat dia masih SMA.
Astika menanggapinya dengan senyuman, lalu menarik bahu Kirana, memeluk putrinya yang sebentar lagi akan menjadi seorang istri. Gadis itu membalas perlakuan Astika dengan melingkarkan tangan pada pinggang dan menjatuhkan kepala di bahunya.
Astika mengusap lengan dan menempelkan sisi wajahnya di pucuk kepala Kirana. “Kamu bahagia?”
Kirana tertegun mendengar pertanyaan itu. “Belum. Mungkin setelah menikah Ki akan bahagia.” Dia tidak yakin dengan jawabannya sendiri.
“Sebentar lagi Kirananya Mama jadi seorang istri dan juga ibu. Mama tahu Ki perlu beradaptasi dengan status baru nanti dan itu pasti sulit. Tapi mama minta Ki untuk selalu sabar, terutama saat menghadapi anak-anak.”
Kirana mendengarkan dengan baik, sedangkan Astika menghela nafas panjang untuk mengurai sesak di d**a. Dia belum siap melepas putrinya. Terlebih saat tahu bagaimana perilaku anak-anak Satya.
Dia baru pertama kali bertemu dengan anak kembar itu di acara seserah tiga hari yang lalu. Dari sorot mata dan mimik wajah mereka, Astika bisa menyimpulkan jika Selva dan Belva tidak menyetujui pernikahan ayah mereka.
“Mereka punya trauma dan luka yang cukup besar. Mereka nggak pernah dapat kasih sayang dan perhatian dari sosok ibu. Kamu harus maklum, Ki.” Astika ingin memberikan solusi untuk menghadapi dan menangani si kembar, tetapi dia tidak memiliki pengalaman tentang itu.
“Apa Ki mampu meluluhkan hati mereka?” Kirana bertanya dengan suara lirih.
“Anak Mama pasti mampu.” Meski sangsi, tetapi dia berusaha meyakinkan putrinya.
“Mama akan selalu mendoakan agar kamu diberi kemudahan, Ki,” sambungnya dalam hati.
“Kirana harus berikan contoh yang baik pada mereka.”
Kirana tidak menanggapi, ia memejamkan mata, menikmati usapan lembut dan dekapan hangat dari wanita yang melahirkannya. Sedang Astika larut dalam pikirannya sendiri.
“Kunci dari pernikahan itu komunikasi. Apapun masalahnya bicarakan secara terbuka tapi dalam keadaan sama-sama tenang, jangan memendam dan berasumsi sendiri.”
Kirana merenggangkan sedikit pelukannya dan mendongak menatap Astika. “Bagaimana kalau ada wanita lain?”
Astika terdiam, pertanyaan Kirana tidak terduga. “Cari tahu dulu kebenarannya. Jika memang dia berkhianat … lepaskan. Karena perselingkuhan itu bukan perbuatan khilaf, tapi dilakukan secara sadar.”