Sudah lebih dari seminggu Kirana tidak melakukan Face Time bersama ketiga sahabat bobroknya dalam formasi lengkap. Selama itu hanya Febi yang bisa dia hubungi secara intens. Karena hanya gadis manja itu yang sedang Bambung.
Berbeda dengan Monik yang sudah kembali ke Ibukota karena mendapat tawaran kerja di salah satu perusahaan pelayaran. Sedang Laura sibuk mengurus berkas-berkas untuk melanjutkan pendidikannya. Memang diantara mereka hanya gadis keturunan Tionghoa itu yang memiliki semangat kuliah tinggi.
Tut …! Tut …! Tut …!
“Bentar, Ki. Gue pakek baju dulu!” Seru Monik yang suaranya terdengar semakin menjauh.
Kirana menelisik ruangan yang terlihat dari layar ponselnya.
“Ini bukan kos-kosan Monik, lebih mirip kamar hotel," gumam Kirana, menyimpulkan.
Monik sudah menampakkan diri, meski dari jarak beberapa meter dari ponselnya. Gadis itu tampak sedang berbicara dengan seseorang.
Karena penasaran, Kirana memperbesar volume ponselnya setelah menyambungkan dengan Airpods. Tidak jelas apa yang sedang dibahas, yang jelas dari suara yang terdengar samar, Kirana bisa memastikan jika lawan bicara Monik adalah seorang pria.
Mata Kirana membeliak saat lawan bicara Monik menyerahkan segepok uang biru sebelum pergi.
Monik mendekati ponsel yang disandarkan pada vas bunga sambil tersenyum lebar.
"Mana yang la—"
"Mon, tolong bilang kalau apa yang ada di otak gue salah." Kirana memotong ucapan Monik.
Monik yang tidak paham menaikan sebelah alisnya. "Memangnya di otak lo ada apa?"
Kirana berdecak, lalu menghela nafas panjang. Gadis itu membenahi posisi duduknya sambil menyelipkan rambut di kedua telinga.
"Mon, lo kalau ada masalah cerita ke gue atau ke yang lain. Nggak perlu malu."
Penuturan Kirana membuat lawan bicaranya mengernyitkan dahi, bingung.
"Lo ngomong apa, sih, Ki? Siapa yang punya masalah?" tanya Monik yang masih tidak paham maksud Kirana.
"Mabok lo, ya?" tukasnya kesal.
Kirana kembali berdecak. "Lo kalau ada masalah keuangan ngomong sama kita. Jangan kayak gini."
"Astaga, Ki!" pekiknya kemudian tertawa, saat paham kemana arah pembicaraan Kirana. "Pikiran lo, kok, jelek banget. Gue nggak kayak gitu."
Kini giliran Kirana yang bingung.
"Cowok yang tadi?" tanya Kirana dengan telunjuk yang mengarah pada Monik, bermaksud menunjuk tempat di mana dia melihat seorang pria.
Wajah t***l Kirana membuat tawa Monik meledak. "Hahaha … cowok yang tadi?"
Kirana mengangguk bodoh.
"Yang ngasih duit gue?" tanya Monik yang semakin terbahak saat kembali mendapat anggukan dari Kirana.
"Astaga, Ki. Itu kan Abang gue. Masa lo nggak tau? Kebetulan kapalnya dia lagi nyandar di sini. Ya, udah gue samperin dia ke hotel. Lo tau kan, kosan gue nggak bebas," terang Monik yang sudah berhenti tertawa.
Ah, bagaimana dia bisa lupa dengan kakaknya Monik. Cowok hitam manis yang berprofesi sebagai Chief Engine kapal pesiar. Sebagian besar keluarga Monik memang bekerja di bidang kelautan.
Obrolan mereka terhenti saat Laura dan Feby bergabung.
"Lihat, nih, gaun gue udah jadi. Udah siap jadi bridesmaid." Kalimat pertama yang diucapkan Feby ketika muncul di layar ponsel Kirana. Gadis itu berdiri, berputar ke kiri-kanan memamerkan gaunnya.
Dua hari setelah hari pertemuan keluarga, Astika langsung mencari kain dan membagikannya kepada gadis-gadis yang ditunjuk sebagai pengiring pengantin wanita.
"Gercep banget, lo." Monik mengomentari.
"Harus gercep. Ini kan untuk hari sakral Kirana. Kali aja dipercepat karena si Om sudah nggak sabar," seloroh gadis asal kota gudeg itu disertai gelak tawa.
"Mulutnya!" tegur Laura.
"Tau, nih, si Febi." Monik ikut menimpali.
"Lo tau, kan kalau Kirana lagi nyari bukti buat batalin perjodohan ini," imbuh Monik mengingatkan.
Ya, Kirana sudah menceritakan semua yang terjadi dan kecurigaannya pada sahabat-sahabatnya. Mereka ingin sekali membantu, tetapi apa boleh buat lingkungan pertemanan mereka Jakarta bukan Surabaya, ini kendala terbesarnya.
Alhasil, mereka hanya bisa membantu dengan mencari akun media sosial orang-orang tersebut—untuk mendapatkan informasi—dan itu tidak mudah.
"Pernikahannya memang dipercepat," ucap Kirana sendu setelah beberapa saat terdiam
"HAH!" serentak tiga dara di seberang sambungan berteriak kaget dengan wajah mendekati layar.
Kirana pun sama terkejutnya seperti mereka saat semalam Papanya memberi tahu kabar tersebut. Jelas hal ini mengacaukan rencana yang telah disusunnya.
"Serius, lo, Ki?" Monik bertanya dan Kirana hanya mengangguk.
"Duh, mana seragam gue belum jadi lagi," keluh Monik kemudian.
"Untung gue gercep!" Feby menyahuti dengan bangga.
Sedang Laura fokus menatap Kirana yang terlihat tidak bersemangat. Menulikan telinga terhadap perdebatan si Bar-bar dan si Lemot.
"Ki ...." Bukan hanya Kirana, panggilan lembut dari Laura juga menarik atensi dua orang lainnya. "Bastian udah nemuin bukti?"
Gelengan lemah diberikan Kirana sebagai tanggapan.
"Jadi … kapan?"
"Minggu ini. Cuma ijab qabul, resepsinya tetap di tanggal yang udah ditentuin."
"Artinya empat hari lagi." Laura memperjelas.
Sebelumnya, Kirana sudah optimis bisa membatalkan pernikahan ini, saat Bastian menemukan informasi mengenai salah satu dari wanita-wanita yang berhubungan dengan calon suaminya.
Namun, harapannya lebur seketika saat sang papa memberitahu kabar buruk itu. Semua ini diluar ekspektasinya. Risma bergerak lebih cepat untuk menjebaknya dalam kehidupan pelik Satya.
"Bukti yang kemarin?" Monik ikut bertanya.
"Itu nggak nunjukin apa-apa, Mon. Wanita itu suka sama Satya, belum jelas kenapa gue harus waspadai dia."
Papanya tidak akan percaya dengan bukti lemah seperti itu.
"Berdoa aja semoga ada keajaiban, sebelum pernikahan itu terjadi," harap Laura yang diangguki tiga gadis lainnya.
Hening. Mereka larut dalam pikiran masing-masing. Hingga Feby memecah kebisuan yang terjadi.
"Ki, kenapa Om Danu nggak nyelidikin Satya sebelum nerima perjodohan ini?"
"Keluarga papa punya utang budi sama keluarga Tante Risma." Kirana menarik nafas sebelum bercerita.
"Dulu keluarga bokap gue susah. Akung cuma kerja sebagai Mantri di Puskesmas. Singkatnya, waktu Akung sekolah lagi supaya bisa buka praktek mandiri, keluarga Tante Risma banyak membantu."
"Emang keluarga Tante Risma kaya banget ya, Ki?" tanya Monik penasarannya.
"Bisa dibilang gitu. Juragan sawah dan sapi. Lo tau kan, orang dulu, apalagi yang hidup di desa, kalau punya sawah luas, trus sapinya banyak sudah termasuk crazy rich."
"Jadi, ini semacam ajang balas budi." Monik menyimpulkan.
"Bisa dibilang gitu," jawab Kirana lesu.
Mereka menatap iba pada Kirana. Ini pertama kalinya mereka melihat gadis itu seperti orang yang kehilangan semangat hidupnya. Biasanya, sepelik apapun masalah yang dihadapi, Kirana selalu optimis dan tetap tersenyum.
"Lo nggak boleh pesimis, Ki. Pasti ada jalan keluarnya." Feby menyemangati.
"Ki, seberapa kuat mereka mau menyatukan kamu sama Satya, kalau pada dasarnya kalian bukan jodoh, pasti ada cara untuk menghindar. Begitu juga sebaliknya, sejauh apapun kamu lari, kalau kalian memang jodoh pasti bersatu," ujar Laura bijak.
"Jangan takut! Kami selalu ada buat lo. Cerita apapun masalah lo, kami pasti berusaha membantu."
Kirana bersyukur karena memiliki teman-teman seperti mereka. Meskipun mereka berbeda keyakinan dan suku, mereka tetap saling membantu.
***
Kesibukan mulai terlihat di kediaman orang tua Satya. Memajukan tanggal pernikahan membuat Risma dan Desti harus mengeluarkan tenaga ekstra.
Salah satunya melengkapi barang-barang yang akan digunakan untuk seserahan. Seperti sebelumnya, Kirana menyerahkan masalah hantaran kepada keluarga Satya. Gadis itu hanya mengatakan jika dia menyukai sesuatu yang sederhana.
Terus terang saja, Desti sedikit kelimpungan saat mencari barang-barang tersebut, dia takut Kirana tidak menyukainya. Apalagi Risma selalu menekankan jika ingin memberikan yang terbaik untuk calon menantunya itu.
"Kamu yakin Kirana menyukai ini." Risma bertanya sambil meneliti satu persatu barang-barang pilihan Desti yang sedang dikemas dengan cantik oleh karyawan dari butik Meylani.
"Insyaallah, Bu," jawab Desti yang sedang membantu menghias kotak hantaran bertema rustic.
Risma menghela nafas. Dia sedikit khawatir karena calon menantunya tidak menyebutkan secara spesifik mengenai apa yang disuka dan diinginkan.
Desti yang melihat kegundahan wanita yang merawatnya sejak kecil, langsung menghentikan aktivitasnya dan menggenggam tangan Risma.
"Jangan khawatir, Kirana bukan gadis yang banyak menuntut. Dia akan menerima apa kita kasih. Lagi pula, setiap memilih barang Desti selalu mengirimkan foto dan meminta pendapatnya," terangnya.
Risma sedikit lega. "Urusan kue-kue sudah beres kan, Nduk?"
Desti tersenyum. Risma yang tegas juga bisa gelisah dan cerewet jika menyangkut hal-hal sakral seperti ini. "Sampun, Bu. Percaya sama Desti."
Desti memeluk Risma. Dibalik sikap keras dan tegasnya, wanita itu sangat menyayangi dan selalu mengkhawatirkan orang-orang disekitar.
Desti ingat, saat pertama kali dia mengadu tentang perselingkuhan mantan suaminya. Sebelum memberi pelukan, Risma lebih dulu memarahinya dan menyalahkannya karena tidak mendengarkan perkataannya.
Desti juga tahu jika Budhenya itu hampir setiap malam menangisi nasib pernikahannya.
"Sebetulnya Ibu merasa bersalah sama Kirana. Tapi, nggak ada pilihan lain untuk menghentikan kegilaan Mas-mu. Terutama untuk mendidik si kembar."
"Desti masih penasaran kenapa Ibu Kekeh memilih Kirana padahal dia masih muda." Desti bertanya.
Risma tersenyum. "Gadis itu punya jiwa kompetitif, dia tidak suka ditantang. Dia akan berusaha untuk menang dalam hal apapun."
"Termasuk menaklukkan hati Belva dan Selva?" tanya Desti memperjelas.
"Benar. Mereka butuh sosok yang tangguh dan berpendirian teguh. Kalau kamu liat bagaimana tenangnya dia menghadapi Belva, kamu pasti akan mengerti kenapa Ibu memilihnya."
"Lalu, Mas Satya."
"Itu bukan prioritas. Karena pada dasarnya dia sudah tertarik hanya saja dia menyangkal perasaannya."