Woo-Sung menatap adiknya yang masih terbungkus selimut tebal di atas tempat tidur. Apakah adiknya tidak kuliah? Yang benar saja... ini bukan hari Minggu dan biasanya Ji-Yeon selalu pergi kuliah kecuali hari minggu. Entah kenapa lama-lama memandang Ji-Yeon membuat Woo-Sung merasa gemas. Rasanya sangat gemas sampai ingin mencakar-cakar wajah adiknya itu.
“Ji-Yeon, bangunlah. Kau ada kuliah, kan?” kata Woo-Sung datar.
Ji-Yeon tak bergeming.
“Ji-Yeon!” Woo-Sung menyibak selimut Ji-Yeon. Adiknya itu masih tetap diam. Tak bergerak. Tak bersuara sama sekali!
“JI-YEON!” teriak Woo-Sung sambil mengguncang-ngguncangkan pundak Ji-Yeon.
Ji-Yeon melenguh pelan. Tangannya bergerak meraih selimut dan membungkus tubuhnya lagi. Il Woo-Sung mendesah putus asa. Hampir putus asa. Sampai tiba-tiba sebuah ide muncul di otaknya. “Hime menelepon.”
Ji-Yeon tersentak dan langsung duduk. Menyibakkan selimut dan bergegas mencari ponsel. Rasanya Woo-Sung tidak bicara terlalu keras. Tetapi kalimat singkatnya ternyata ampuh membangunkan Ji-Yeon.
“Dimana ponselku? Dimana...” pandangan Ji-Yeon berhenti pada Woo-Sung.
Woo-Sung balik menatapnya sangar.
“Kakak tidak menyembunyikan ponselku, kan?” Ji-Yeon merendahkan suaranya agar tidak terdengar seperti menuduh.
“Ponselmu sudah aku buang di bak mandi. Itu hukuman untukmu karena tidak bangun pagi.”
“Kakaaak...”
“Biasanya kau bangun pagi dan sudah pergi tanpa permisi. Tapi kenapa sekarang kau bangun terlambat?”
Ji-Yeon berpikir sejenak. Hari ini ia tidak menemui Rachel pagi-pagi karena Rachel akan pergi mengerjakan tugas. Jadi menurutnya tidak masalah bangun agak siang sekali-sekali.
“Apa yang kau pikirkan?” Woo-Sung melipat tangan di d**a. “Apa yang kau lakukan semalam?”
Semalam? Semalam ia bermimpi makan malam dengan Rachel...
“Makan malam dengan Hime,” tanpa sadar Ji-Yeon menyuarakan pikirannya.
“Dimimpimu!” Woo-Sung memukul kepala Ji-Yeon dengan bantal. Ia merasa kesal melihat perubahan wajah adik satu-satunya yang berubah seperti orang i***t.
Ji-Yeon bergumam tidak jelas. Memang di mimpiku, pikirnya. Sebenarnya Ji-Yeon ingin bertanya apa Rachel benar-benar meneleponnya. Tapi tidak. Bisa-bisa Woo-Sung akan mengiterogasinya saat ini juga.
* * *
Rachel mendongak menatap langit biru yang terlihat cerah. Perlahan menghirup udara dan mengembuskannya dengan perasaan bahagia. Rachel selalu menyukai musim gugur. Karena pada musim ini langit selalu terlihat indah. Biru dengan sedikit awan yang bergumpal seperti permen kapas. Menikmati pemandangan langit memang sangat menyenangkan. Tetapi ia harus bergegas menuju tempat makan terdekat karena sejak pagi ia belum sempat sarapan. Jika Seung-Hun tahu dia pasti akan marah-marah. Sudut bibir Rachel terangkat membentuk seulas senyum, ia sedikit menunduk menatap sepatunya.
“Cerewet, Seung-Hun memang cerewet,” gumamnya pada diri sendiri. Dan kenyataannya Rachel menyukai kecerewetan Seung-Hun.
Baiklah. Sampai kapan ia akan berdiri di sini. Sambil bergumam dan tersenyum sendiri Rachel memandang jam tangan Doraemon-nya. Sudah hampir waktu makan siang. Pantas saja perutnya terus meraung-raung minta diisi. Ia mengangkat wajah dan mulai melangkah santai. Di dekat kampusnya ada sebuah kafe yang cukup sering ia kunjungi. Hanya dalam waktu tiga menit saja ia sudah sampai di depan gedung kafe berlantai dua itu. Ia berdiri di depan jendela kaca besar yang memperlihatkan seisi ruangan. Ia memandang sekeliling. Tidak terlalu ramai. Setidaknya mungkin belum, Rachel sangat yakin sebentar lagi kafe ini akan dipenuhi banyak orang.
“Oh?” pandangan Rachel berhenti pada seorang laki-laki berjaket abu-abu. Sudut bibirnya terangkat. Rachel baru akan melambaikan tangan ketika ia melihat seorang perempuan bersamanya. Mereka berjalan bersama menuju salah satu meja di dekat jendela. Rachel tercekat. Perasaan aneh apa ini? Kenapa mendadak tubuhnya terasa kaku?
Siapa perempuan yang bersama Seung-Hun itu? Tanyanya dalam hati. Sejauh yang ia tahu Seung-Hun tidak pernah pergi dengan perempuan manapun, apalagi hanya berdua. Pengecualian untuk Rachel sendiri tentunya. Mereka terlihat akrab dan sangat dekat. Seperti kakak adik? Sepertinya bukan. Seung-Hun tidak pernah bercerita tentang kakaknya. Yang Rachel tahu Seung-Hun hanya memiliki seorang adik laki-laki.
Rachel tidak bisa menghentikan otaknya untuk tidak berpikiran aneh. Entah kenapa sesuatu dalam dirinya seolah mengatakan ia harus lari! Berlari meninggalkan tempat itu sebelum Seung-Hun melihatnya. Karena jika Seung-Hun melihatnya, bukan tidak mungkin ia akan mengenalkan Rachel dengan gadis itu dan mengatakan padanya bahwa perempuan itu adalah pacarnya. Oh, astaga! Apa yang ia pikirkan?!
Rachel mulai menggerakkan kakinya. Semakin cepat, dan semakin cepat sampai ia benar-benar berlari. Ia jadi mensyukuri kebiasaan dirinya yang suka memakai sneakers, bukan sepatu berhak tinggi. Karena jika tidak sudah pasti ia akan kesulitan berlari.
Ya ampun... ia tidak bisa mengalihkan perhatian. Ia tidak bisa berhenti memikirkan Seung-Hun dan perempuan itu. Perasaan aneh macam apa ini...?
Tanpa sadar langkahnya mulai melambat. Ia berhenti di dekat sebuah halte kosong. Rachel terpaksa menyeret kakinya lagi untuk duduk di sana. Ia menyadari kakinya terasa lebih berat dari pada sebelum ia berlari. Tapi ia tidak mempermasalahkan itu. Karena ada hal lain yang menyita seluruh perhatian dirinya. Sebelah tangan Rachel bergerak menekan d**a. Sakit. Jantungnya berdegup sangat cepat, pasti karena ia habis berlari.
Suara desingan mobil yang lewat mengembalikan kesadaran Rachel ke dunia nyata. Wajahnya berubah murung. Rachel sangat tidak suka dengan apa yang ia rasakan sekarang. Kalaupun perempuan itu memang pacar Seung-Hun lalu kenapa? Apa masalahnya? Lagipula, ia juga bukan siapa-siapa Seung-Hun.
Tunggu... kata-kata macam apa itu?! Kata-kata itu seakan menunjukkan perasaannya pada Seung-Hun jika ia memiliki perasaan lebih dari seorang teman. Astaga! Ini tidak bisa dibiarkan! Rachel mendengus lalu sebelah kakinya bergerak menendang angin. Berkali-kali ia menegaskan pada dirinya sendiri jika ia tidak menyukai Seung-Hun.
Bus berhenti tepat di hadapannya. Rachel tersentak. Sekarang ia menyadari sudah ada banyak orang di sekitarnya, beberapa baru turun dari bus. Dan yang lain mulai beranjak menaiki bus. Kemana bus ini akan pergi? Mungkin ia harus ikut naik dan membuang jauh-jauh pikirannya. Rachel menggeleng dan mendesah seperti orang yang sedang putus asa. Sebaiknya ia pulang dan tidur saja. Dengan begitu pikiran buruknya ini akan menghilang dengan sendirinya.
Rachel mulai beranjak meski langkahnya terasa berat. Selera makannya sudah hilang. Ia tidak peduli. Jika Seung-Hun masih peduli padanya ia pasti akan menelepon dan mengingatkannya untuk makan siang. Seperti biasa!
“Oh... astaga...” Rachel memukul-mukul keningnya sendiri. Pemikiran itu muncul lagi, atau tepatnya belum hilang dari otaknya.