Rachel meletakkan pensil dan mengibas-ngibaskan tangannya yang terasa pegal. Kepalanya berputar menengok ke arah jam dinding. Sudah hampir jam sembilan malam. Mungkin Karin sudah mengirimkan foto-fotonya. Rachel memutuskan untuk membereskan buku, pensil, serutan, penghapus dan memasukkan benda-benda itu ke dalam laci.
Kini ia beralih mengutak-ngatik laptopnyadan segera memeriksa e-mail. Benar saja. Ada satu e-mail baru dari Karin. Rachel segera membukanya.
Latar foto pertama terlihat tidak asing. Tunggu... itu foto dirinya dari samping sedang berbicara dengan seseorang di dalam mobil. Rachel sama sekali tidak tahu Karin memotretnya saat itu.
Foto kedua memperlihatkan dirinya sewaktu bermain tebak-tebakan lagu di dalam mobil bersama Ji-Yeon. Ia dan Ji-Yeon terlihat sedang bertatapan saat itu. Rachel mendengus, sekarang ia merasa menjadi seperti seorang artis yang difoto diam-diam oleh paparazzi.
Foto ketiga saat Rachel sedang menulis dan Karin mengajaknya berfoto. Wajah Rachel agak tertutup poni sementara wajah Karin terlihat jelas berser-seri dengan senyuman ceria. Di foto ini Seung-Hun dan Ji-Yeon juga terlihat, mereka sedang mengobrol, sepertinya mereka tidak tahu sedang difoto.
Foto keempat hanya ada rachel sendiri. Di bawah pepohonan maple dengan daun yang menguning di sisi jalan. Ia sedikit menunduk menatap buku catatan di tangannya sehingga wajahnya, dan seulas senyum tipis di bibirnya dapat terlihat dengan jelas. Rachel merasa kagum dengan cara pengambilan gambar Karin.
Foto kelima, Rachel masih berada di tempat yang sama. Posenya juga masih sama seperti foto keempat. Bedanya di foto ini ada Seung-Hun dan Ji-Yeon di sampingnya. Laki-laki itu menoleh menatapnya. Ji-Yeon juga sama. Tetapi Ji-Yeon lebih mencondongkan tubuhnya. Mungkin karena jaraknya paling jauh dengan Rachel.
Foto keenam memperlihatkan Rachel, Seung-Hun dan Ji-Yeon tersenyum menatap kamera. Rachel menepuk pipinya dengan kedua tangan. Foto yang satu ini –entah kenapa- membuatnya merasa sangat gembira.
Foto ketujuh. Terlihat Rachel dan Seung-Hun sedang duduk di kursi. Rachel sedang menunduk sambil menulis sementara Seung-Hun menatapnya sambil tersenyum. Foto kedelapan dan kesembilan memperlihatkan mereka berempat –dengan Karin yang memegang ponsel-sedang memakan odeng.
Foto kesepuluh. Astaga! Berapa banyak foto yang Karin kirim padanya?! Baiklah, foto kesepuluh di ambil ketika mereka sedang naik cable car. Saat itu ada cukup banyak pengunjung yang datang sehingga mereka agak berdesakan. Rachel terlihat tersenyum lebar sambil menarik lengan jaket Ji-Yeon. Ji-Yeon juga tersenyum lebar menatapnya. Bahkan Rachel sudah tidak ingat kejadian itu.
Foto kesebelas. Foto ini di ambil dari arah belakang sehingga wajah Rachel tidak terlihat. Di sebelahnya ada Ji-Yeon yang memandangnya sehingga sebagian wajahnya terlihat.
Foto keduabelas. Foto terakhir. Yaitu foto Rachel, Seung-Hun dan Ji-Yeon, kedua laki-laki itu tersenyum, sama seperti dirinya. Mereka juga sama-sama memiringkan kepala ke arahnya. Satu foto lagi yang membuatnya merasa sangat gembira. Rachel baru menyadari, melihat Ji-Yeon dan Seung-Hun tersenyum bersamaan adalah hal yang membahagiakan.
Ponselnyaa berdenting. Rachel meraih ponselnya dan membaca sebuah tuliasandi layar. “Karin,” gumamnya lalu segera menjawab telepon.
“Moshimoshi,” Karin berseru penuh semangat.
Rachel tersenyum.
“Sudah melihat foto yang aku kirim?”
“Sudah. Tapi kebanyakan dari foto-foto ini membuatku merasa seperti artis yang difoto diam-diam oleh paparazzi.”
Suara tawa Karin terdengar agak samar. Maklum saja, telepon internasional tentu tidak akan selancar telepon biasa.
“Baiklah, sekarang kau berhutang penjelasan padaku.”
“Penjelasan?” Rachel tidak mengerti dengan arah pemikiran sepupunya ini. Atau jangan-jangan Karin akan menanyakan pertanyaan-pertanyaan aneh seperti kemarin?!
“Sebenarnya apa hubunganmu dengan Ji-Yeon dan Seung-Hun?”
Nah, dugaan Rachel benar-benar terbukti. “Kenapa kau terus menanyakan hal itu?”
“Oh, aku baru ingat. Bahkan Ji-Yeon juga memanggilmu Hime. Apa itu semacam panggilan kesayangan?”
“Bukan,” sahut Rachel datar.
“Lalu?”
Rachel mendesah putus asa. Sepertinya ia harus bercerita panjang lebar agar Karin tidak terus mengejarnya. ”Dulu Ji-Yeon sangat suka membaca manga, dan ia juga menyukai anime. Dari situlah ia jadi tahu sedikit tentang bahasa Jepang. Ji-Yeon memanggilku Hime karena...entahlah. aku tidak ingat,” Rachel memang tidak mengingat pasti alasan Ji-Yeon memanggilnya Hime. Tetapi ia sangat ingat sejak itu Ji-Yeon bersikap seolah-olah Rachel adalah seorang putri sungguhan.
“Kau lihat fotomu dengan Ji-Yeon sewaktu di mobil? Apa kau percaya jika waktu itu Seung-Hun terlihat kesal?”
“Um... tidak...”
Karin mendesah berlebihan. “Dengar. Dugaanku adalah Ji-Yeon dan Seung-Hun sama-sama menyukaimu.”
Rachel tergelak. “Hah, yang benar saja.”
“Kau tahu, sewaktu Ji-Yeon mengantarku ke Botanical Garden, sikapnya berubah seratus delapan puluh derajat. Dia jadi dingin dan pendiam.”
“Kau terlalu berlebihan,” sahut Rachel ringan.
Sepertinya Karin tidak putus asa. Ia kembali melanjutkan. “Kau lihat foto terakhir, Seung-Hun dan Ji-Yeon sama-sama memiringkan kepala ke arahmu.”
Rachel mengernyit. Memangnya hal itu berpengaruh?
Karin menambahkan, “Berdasarkan pengalamanku seseorang yang menyukai orang lain akan cenderung mendekatkan tubuhnya pada orang yang ia sukai.”
Teori macam apa itu? Pasti Karin terlalu banyak berkhayal, pikir Rachel mulai bosan. “Sebenarnya apa tujuanmu meyakinkanku jika mereka menyukaiku?”
“Um... itu karena... tentunya kau tidak ingin kehilangan orang-orang yang kau sayangi, kan?”
Rachel mengangguk. “Ya, aku menyayangi mereka sebagai teman. Mereka adalah teman yang baik, selalu ada untukku, perhatian, bahkan kadang cerewet.”
“Lalu bagaimana jika ternyata mereka menyukaimu?”
“Tidak,” Rachel berdeham lalu melanjutkan. “Hal itu tidak akan terjadi. Aku percaya pada mereka.”
* * *
Rachel mengetuk-ngetukkan ujung sepatu sneakernya ke lantai. Kebiasaannya setiap kali selesai memakai sepatu. Sekarang sudah hampir jam tujuh, dan Rachel sudah siap berangkat ke kampus untuk mengerjakan tugas bersama teman-temannya.
Ia membuka pintu dan tak lupa menguncinya. Mulai sekarang ia harus ingat untuk selalu mengunci pintu.
“Hm... sepertinya ada yang kurang,” Rachel berhenti di depan tangga. Kira-kira apa Seung-Hun akan datang ke apartemennya lagi pagi ini? Mungkin iya mungkin juga tidak. Tapi jika iya kasihan juga perjalanan Seung-Hun jadi sia-sia. Sebaiknya ia memastikannya saja.
Rachel merogoh saku coats warna cream yang dikenakannya. Ia sedang malas mengetik, jadi ia langsung menelepon Seung-Hun saja. “Halo?” tanpa menunggu lama Seung-Hun sudah menjawab teleponnya.
“Ada apa Rachel, tumben sekali kau meneleponku pagi-pagi?”
“Aku hanya ingin memastikan, pagi ini kau akan datang ke apartemenku tidak? Aku hanya ingin memberitahumu aku sedang tidak ada di apartemen.”
“Kau pergi ke mana? Tadinya kukira kau ingin aku datang ke sana,” Seung-Hun tertawa kecil.
“Mengerjakan tugas,” sahut Rachel dengan senyum tertahan.
Hening sesaat.
“Ya sudah kalau begitu. Dah...” Rachel memutus hubungan.
Kalau di ingat-ingat Seung-Hun tidak menjawab akan datang ke apartemennya atau tidak. Terserahlah. Yang terpenting ia sudah mengatakan pada Seung-Hun jika ia tidak ada di apartemen.
Rachel mulai melangkah santai menuruni tangga. Bunyi dentingan kecil terdengar, Rachel langsung menjawab telepon yang saat itu ponselnya belum ia masukkan kembali ke saku coats.
“Halo.”
“Aku lupa menanyakan sesuatu,” suara Seung-Hun terdengar jernih. “Kau sudah sarapan? Jangan lupa untuk sarapan.”
Rachel tertawa kecil dan berhenti di anak tangga paling dasar. “Iya, Ibu. Aku akan sarapan nanti,” guraunya.
Terdengar suara tawa dari seberang.
“Aku serius. Jangan lupa sarapan, itu sangat penting.”
“Iya aku tahu. Seung-Hun ssi,” Rachel masih tidak ingin berhenti menggoda Seung-Hun.
“Jangan memanggilku begitu,” suara Seung-Hun berubah kesal.
Alis Rachel terangkat mendengar reaksi Seung-Hun. Dia paling tidak suka jika Rachel memanggilnya dengan Seung-Hun ssi. Sama seperti Ji-Yeon. Dia tidak suka jika Rachel memanggilnya dengan nama asli. Apalagi jika Rachel menambahnya dengan ssi, bisa-bisa Ji-Yeon mengamuk saat itu juga. Memang agak aneh. Tapi sejak Ji-Yeon memanggilnya Hime, Rachel juga harus memanggil Ji-Yeon dengan Ouji.
“Baiklah, baiklah,” Rachel mengalah. “Aku sungguh-sungguh akan sarapan nanti.”
“Kau berjanji?”
Rachel menggeleng. “Tidak, aku tidak janji,” lalu ia tertawa, “tapi aku akan sarapan.”
“Oke, sampai jumpa. Hati-hati di jalan,” kata Seung-Hun terdengar ragu.
Rachel mengangguk sekali dan memutus hubungan. Bukan Seung-Hun namanya jika tidak mengingatkan Rachel ini dan itu. Seung-Hun memang cerewet, pikir Rachel sambil lalu. Dan Rachel sangat menyukai kenyataan itu.