Chapter 12

1714 Words
Rachel merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Rasanya sudah sangat lama tapi matanya masih belum mau terpejam. Sebenarnya Rachel tidak suka membuang-buang waktu seperti ini. Tetapi ia sama sekali tidak memiliki tenaga untuk bangun dan bekerja. Perutnya sudah terasa lapar lagi. Ia pernah membaca judul sebuah artikel –ya, hanya judulnya saja- jika kelaparan tidak akan membuat seseorang mati. Kalau tidak salah begitu. “Kau akan tetap mati jika terus membiarkan dirimu kelaparan.” Rachel tersentak, sedetik kemudian kepalanya berputar ke arah pintu. Ia tidak sadar sudah menyuarakan pikirannya sendiri. “Kenapa diam saja?” Seung-Hun memiringkan kepalanya ke satu sisi sambil tersenyum. Laki-laki itu memang murah senyum. Dan terkadang Rachel merasa ingin meninjunya ketika Seung-Hun tersenyum seperti itu pada perempuan. Alasannya sederhana. Seung-Hun tidak menyadari jika terlalu sering menunjukkan senyumnya itu bisa membuat banyak perempuan luluh lantak. Kenapa Rachel bisa tahu? Karena kebanyakan teman-teman kelasnya sendiri yang menceritakan perasaannya setiap kali melihat senyuman Seung-Hun. Menyebalkan. Apa bagusnya senyuman laki-laki itu? Oke, kenapa Rachel jadi kesal pada Seung-Hun begini? “Biar aku tebak,” Seung-Hun melipat tangannya di d**a. “Kau pasti belum makan sejak pagi.” Tepat sekali. Dan semua itu karenamu, pikir Rachel kesal. Ia menyadari belum bisa menghentikkan pikiran anehnya pada Seung-Hun. Seung-Hun mengangkat sebelah tangannya yang menjinjing sebuah plastik putih. “Aku membawa makan siang. Ayo kita makan, kau sudah lapar, kan?” Kepala Rachel berputar cepat memandang Seung-Hun lagi. “Bukannya kau sudah makan?” “Apa?” “Maksudku... ini sudah lewat jam makan siang. Jadi kupikir kau sudah makan,” kata Rachel berusaha terdengar sebiasa mungkin. Selanjutnya Rachel tidak mendengar perkataan Seung-Hun karena kembali sibuk dengan pikirannya sendiri. Seung-Hun belum makan siang? Itu berarti Seung-Hun tidak makan bersama perempuan itu. Harusnya ia sudah menduga ini. Seung-Hun pasti lebih peduli padanya dari pada perempuan lain. Rachel mendapati dirinya mulai beranjak dari tempat tidur. Mengangkat dagu dan berjalan mengikuti Seung-Hun –yang sedang mengomel- dengan bangga. Eh, tunggu! Rachel menghentikan langkah. Barusan itu apa yang ia pikirkan?! Yang benar saja! Dasar otak aneh! Pasti otaknya menjadi kacau karena ia belum makan sejak pagi. Ia mengangkat wajah memandang punggung Seung-Hun. Tentang perempuan itu... apakah ia perlu menanyakannya? Seung-Hun memindahkan yangnyeom tongdak dari dalam sterofoam ke atas piring. Yang ia tahu penggunaan sterofoam itu tidak baik bagi kesehatan, karena itu ia cepat-cepat memindahkannya. Baginya menjaga kesehatan adalah hal yang penting, apalagi Rachel. Gadis itu sama sekali tidak peduli dengan kesehatannya sendiri. Rachel terdiam, kedua tangannya mencengkeram puncak sandaran kursi. Ia tahu makanan yang dibawa Seung-Hun adalah salah satu menu di kafe itu. Rachel jadi penasaran kenapa Seung-Hun tidak makan di sana dan malah membungkusnya untuk ia makan bersama Rachel. Mungkin perempuan itu memang bukan siapa-siapa. Oh, tidak. Pikiran aneh itu datang lagi. Tangan Seung-Hun bergerak cepat menyiapkan meja makan. Ia juga mengambil dua gelas dan sebotol air putih dari kulkas. “Kenapa malah melamun? Duduklah.” Rachel tidak terkejut karena ia memang tidak sedang melamun. Ia menuruti ucapan Seung-Hun dan duduk. Seung-Hun menuangkan air ke dalam gelas Rachel. Laki-laki itu sudah terlalu baik padanya. “Katakan apa yang sedang kau pikirkan, sejak tadi kau tidak banyak bicara,” Seung-Hun menatapnya lurus-lurus. Rachel tidak langsung menjawab. “Aku sedang writer’s block,” tidak, Rachel tidak berbohong. Pikirannya sedang kacau dan itu membuatnya writer’s block. “Writer’s block?” Seung-Hun tersenyum cerah. “Mungkin kita bisa pergi ke Namsan untuk refreshing.” Tidak! Justru itu akan membuat pikirannya semakin kacau! “Seung-Hun, aku sungguh-sungguh sedang writer’s block,” kata Rachel dengan tatapan kosong memandang meja. Seung-Hun mengangkat wajah menatap Rachel lagi. “Setelah ini kita bisa melakukan sesuatu, mungkin jalan-jalan di sekitar taman. Atau datang ke rumahku, sudah lama kau tidak berkunjung ke rumahku.” Rachel menggeleng. ”Kurasa tidak perlu.” * * * Sebelah tangan Ji-Yeon terangkat menempelkan ponsel ke telinga. Sebelah tangannya yang lain bergerak memutar-mutar kunci mobil. Menunggu Rachel menjawab telepon terasa sangat lama baginya. Woo-Sung membuka pintu dan berhenti ketika melihat adiknya duduk di sofa ruang tamu. Sedang menelepon siapa? Pikirnya. Oh ya, ia ingat. Siapa lagi kalau bukan gadis bernama Hime itu. Woo-Sung berdeham. “Kakak sudah pulang,” kata Ji-Yeon sambil meliriknya sekilas. “Menelepon Hime.” Ji-Yeon tahu itu bukan pertanyaan. Jadi ia hanya tinggal mengangguk membenarkan. “Kau akan pergi?” Ji-Yeon mengangguk lagi. Woo-Sung menghela napas dan berlalu. Belakangan sikap adiknya itu memang aneh. Siapa sebenarnya Hime itu sampai membuat adiknya berubah sikap? Ia jadi penasaran. Mungkin nanti Ji-Yeon akan mengenalkan Hime padanya. * * * Rachel baru menyadari ponselnya berdenting ketika ia selesai mengganti pakaian. Ia bergegas ke tempat tidur untuk mengambil ponsel. Terlambat. Bunyi dentingan itu sudah tidak terdengar lagi. Tangannya meraih benda itu dan memandang layarnya. “Ouji,” gumamnya. Sebelum Rachel sempat memutuskan untuk balik menelepon Ji-Yeon, ponselnya sudah lebih dulu memunculkan suara dentingan kecil. Rachel tersenyum dan segera menjawab telepon dari Ji-Yeon. “Hime, kau sudah siap? Aku akan menjemputmu sekarang,” suara Ji-Yeon terdengar ceria. “Hmm. Aku tunggu di apartemen.” Rachel menurunkan tangannya dan berbalik. Mengambil sebuah sweater dari lemari dan berjalan keluar. Malam ini Rachel membiarkan rambut pendeknya tergerai. Dengan begitu ia tidak perlu mengenakan syal untuk menghalangi udara dingin di lehernya. * * * Ji-Yeon berjalan cepat turun dari mobil lalu membukakan pintu untuk Rachel. Rachel tersenyum dan beranjak turun. Ia melangkahkan kakinya keluar, dan ketika itu ia meyadari dugaannya salah. Malam ini sangat dingin. Memakai rok pendek tentu bukan keputusan yang tepat. Bahkan udara yang dingin juga masih terasa di lehernya. Ji-Yeon kembali menutup pintu setelah Rachel keluar dan berdiri di sampingnya. “Aku sudah memesan tempat dan makanan di sini. Jadi setelah kita duduk otomatis pelayan akan membawakan makanan untuk kita.” “Sungguh? Aku jadi merasa sangat spesial,” Rachel mengedarkan pandangan ke gedung restoran yang bernuansa klasik itu. Menarik juga. Ia menoleh lagi ketika siku Ji-Yeon menyentuh lengannya. Ji-Yeon tersenyum dan dengan isyarat mata ia meminta Rachel agar bergandengan dengannya. Rachel tertawa kecil. Lalu ia melingkarkan sebelah tangannya pada lengan Ji-Yeon. Ji-Yeon membawanya ke sebuah meja di samping jendela. Tempat yang paling Rachel sukai ketika berkunjung ke rumah makan manapun. Sepertinya Ji-Yeon memang mengerti dengan kesukaannya ini. Belum lama mereka duduk, dua orang pelayan datang menghampiri mereka. Salah seorang diantaranya membawa sebuah penampan yang tertutup. “Tuan Ji-Yeon ssi, selamat datang di restoran kami, steik panggang pesanan Anda siap dihidangkan.” Si pelayan yang membawa penampan mulai menyajikan makanan dengan rapi di meja. Setelah selesai ia membungkuk dan melangkah mundur sampai sejajar dengan pelayan yang tadi bicara. “Selamat menikmati,” si pelayan melanjutkan. Lalu mereka membungkuk bersama dan berlalu. Ji-Yeon sedikit membungkuk dan tersenyum tanpa bicara apa-apa. “Wah, aku terkesan,” kata Rachel sambil tersenyum lebar. Alis Ji-Yeon terangkat menatapnya. “Aku senang kau terkesan,” dan ia tersenyum. Rachel mengambil pisau dan garpu di samping piring dan mulai memotong steik-nya. Ia memandang potongan steik di garpunya sekilas lalu memasukkannya ke dalam mulut. “Hmm... ini enak.” “Kau menyukainya? Kita bisa ke sini kapanpun-“ Suara dentingan ponsel menyela ucapan Ji-Yeon. Ia pun merogoh saku celana dan mengeluarkan ponselnya. “Pesan dari siapa?” “Kakakku. Dia bertanya aku pergi ke mana. Sewaktu aku masih di rumah dia tidak tanya. Kakak itu memang aneh,” Ji-Yeon memandang ponselnya dengan kening berkerut kesal, lalu meletakknya di meja. “Kalau begitu kakakmu itu sama dengan adiknya, ya?” gurau Rachel berusaha menghibur Ji-Yeon, mungkin saja ia merasa kesal. “Meskipun aku aneh tapi aku keren, bukan?” Rachel merasa lega karena Ji-Yeon membalasnya dengan nada bercanda, dengan itu kerutan di keningnya sudah tidak terlihat lagi. “Ngomong-ngomong soal kakakmu aku belum pernah melihatnya. Dia itu seperti apa?” “Orang-orang mengatakan aku sangat mirip dengan kakak.” “Sungguh? Apa dia sudah punya pacar?” pertanyaan itu keluar tanpa Rachel proses di otaknya terlebih dulu. Entahlah, mungkin ia hanya sekedar penasaran. Mata Ji-Yeon melebar. “Kenapa kau bertanya begitu? Jangan-jangan kau menyukainya,” katanya dengan tatapan curiga. Rachel menggeleng. Menelan makanannya lalu mulai bicara, “mana mungkin aku menyukai seseorang yang tidak pernah aku lihat.” Wajah Ji-Yeon berubah lega. Benar juga, pikirnya. “Dulu kakak pernah punya pacar –aku lupa namanya- tapi hubungan mereka berakhir di tengah jalan.” “Kenapa bisa begitu?” Ji-Yeon mengangkat bahu. “Pacar kakakku yang meminta kakak untuk pergi.” “Alasannya?” Rachel membenarkan posisi duduknya, ia mulai penasaran dan ingin mendengarkan cerita Ji-Yeon dengan nyaman, mungkin saja ia terinspirasi untuk menjadikan kisah kakak Ji-Yeon sebagai cerita. “Bukannya melebih-lebihkan, tapi kenyataannya memang banyak perempuan yang menyukai kakak. Dan karena itu banyak orang yang membenci pacar kakak.” “Oh...” Rachel sangat mengerti bagaimana perasaan mantan pacar kakak Ji-Yeon. Karena ia sendiri juga pernah mengalaminya dulu. Sewaktu awal ia dekat dengan Ji-Yeon dan Seung-Hun, tapi untungnya hal itu tidak bertahan lama karena dengan sendirinya orang-orang tahu jika ia hanya berteman dengan Seung-Hun dan Ji-Yeon. “Kasihan sekali... pasti dia sangat tertekan. Lalu kakamu bagaimana?” Untuk kedua kalinya Ji-Yeon mengangkat bahu. “Kakak tidak menceritakannya padaku. Tapi aku sangat tahu dia masih mencintainya, dan aku juga yakin kakak pasti berusaha untuk memintanya kembali.” Sudut bibir Rachel terangkat, ia kagum juga dengan sikap kakak Ji-Yeon. “Tapi menurutku yang kakak lakukan itu salah,” lanjutnya ringan. “Eh?” Ji-Yeon mengangguk tegas. “Jika aku menjadi kakak, tentu aku sudah meninggalkannya.” Rachel terkesiap. Ia memandang laki-laki di hadapannya dengan bingung. “Cinta itu harusnya diperjuangkan bersama bukannya malah dilimpahkan pada salah satu pihak saja. Dan menurutku mantan pacar kakak itu tidak menghargai perjuangan kakakku selama ini.” Rachel menggoyang-goyangkan tangannya yang memegang garpu. “Menurutku tidak begitu. Dia tidak bermaksud membebani kakakmu, tapi dia pasti merasa sangat tertekan.” Ji-Yeon tidak jadi memasukkan potongan steik ke dalam mulutnya dan berpaling memandang Rachel. “Cerita kakak itu sudah sangat lama. Sejak ia masih kuliah, jadi lupakan saja,” ia masih memandangnya cukup lama. Tentu dengan tatapan mencari seperti biasa. Rachel mengerjap. Sepertinya Ji-Yeon tidak ingin berdebat dengannya. Ia tidak mengangguk juga tidak menjawab. Hanya membalas tatapan Ji-Yeon dengan tatapan yang sama. Di saat seperti ini Rachel sering bertanya-tanya, apa yang Ji-Yeon cari darinya. Kalau diperhatikan Ji-Yeon memang tidak pernah memandang orang lain dengan tatapan seperti ini. Apa mungkin ini yang Karin maksud? Memandang dengan cara yang berbeda...?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD