Sudah hampir jam sepuluh malam tapi Rachel belum menelepon Seung-Hun. Ia jadi ragu. Sore tadi Rachel berkata akan meneleponnya atau Ji-Yeon? Atau menelepon mereka berdua sekaligus?
Han Seung-Hun terpekur. Ia meletakkan ponselnya di meja. Mungkin yang Rachel maksud ia hanya akan menelepon Ji-Yeon, bukan dirinya. Ah, tidak. Seung-Hun sangat tahu gadis itu sangat pelupa. Jadi mungkin saja Rachel lupa tidak meneleponnya dan langsung tidur. Lagipula Rachel sendiri mengatakan tidak akan tidur larut.
Ya... mungkin saja begitu.
Seung-Hun bangkit, meraih ponsel dan beranjak ke kamarnya. “Semoga saja memang begitu.”
* * *
Rachel terlonjak ketika mendengar suara dentingan tepat di samping telinganya. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh meja. Rupanya ia hampir tertidur di meja kerja. Pandangannya beralih pada ponsel yang menyala. Ia meraihnya, terlihat nama Karin terpampang di sudut atas layar ponsel. Ibu jarinya bergerak mengusap layar lalu menempelkan ponsel itu di telinga.
“HALO?”
Rachel cepat-cepat menjauhkan benda itu dari telinga. Membekap mulutnya yang menguap dan menempelkan ponsel ke telinganya lagi.
“Lama sekali menjawab teleponnya?”
“Maaf. Lain kali pelankan suaramu,” Rachel menyingkirkan helaian rambut yang menutup wajahnya.
“Gomennasai,” kata Karin sambil tertawa kecil.
Meski tidak bisa berbahasa Jepang tapi Rachel tahu kata itu berarti maaf. Ia mengangguk tanpa suara.
“Kau sudah melihat ramyeon dariku?”
“Sudah. Tadinya kupikir kau agak gila memberiku ramyeon instan sebanyak itu.”
Terdengar suara tawa di ujung sana.
“Itu karena selama di Seoul aku sering menghabiskan ramyeonmu. Oh ya, kau juga bisa membagi ramyeonnya dengan Seung-Hun.”
“Kau sudah gila!” sela Rachel cepat. “Dia melarangku makan ramyeon instan terus. Jika dia tahu aku punya ramyeon instan sebanyak itu, bisa-bisa dia mengomel sepanjang hari.”
“Sungguh?” suara Karin terdengar jelas menggodanya.
“Hm, kau membuatku dalam masalah.”
“Ah, kau ini. Seung-Hun memang pacar yang baik, bukan?”
“Pacar?” kening Rachel berkerut samar, “dia bukan pacarku.”
“Sudahlah jangan pura-pura,” kata Karin dengan nada mendesak.
Rachel tidak mengerti dengan jalan pikiran Karin. Bagaimana bisa sepupunya ini mengira Seung-Hun adalah pacarnya?
Karin terus mendesak agar Rachel mau mengaku. Ia harus memutar otak untuk mengalihkan obrolan yang aneh ini.
“Hei, Karin” Rachel mendapati dirinya bicara terlalu cepat, dan bukan tidak mungkin Karin akan curiga.
Karin berhenti bersuara.
Rachel menarik napas, mempersiapkan dirinya untuk bicara. “Aku sedang membuat cerita...”
“Cerita?”
Rachel mengangguk. “Jadi begini,” ia masih berpikir, belum menemukan topik yang pas untuk mengalihkan perhatian Karin.
“Oh, begini,” Rachel menegakkan punggung. “Aku membuat cerita yang berisi pendapat orang-orang tentang cinta,” rachel merasa lidahnya hampir kesleo ketika mengatakan “cinta”. Ia juga tidak tahu kenapa justru kata itu yang keluar. Mungkin karena Karin adalah penggemar drama korea?
“Kau meminta pendapatku?”
Rachel tersenyum, sepertinya Karin tidak menyadari taktiknya ini.
Karin terdengar bergumam. Mungkin ia sedang berpikir.
“Aku tahu!” Karin berseru. “Cinta adalah sesuatu yang bisa merubah sikap seseorang.”
Rachel mengernyit. Ia tidak benar-benar mendengar suara Karin karena ia bicara cepat sekali. “Ap-“
“Seperti Ji-Yeon,” Karin menyela Rachel cepat.
“Hah?”
“Kau tahu, Ji-Yeon adalah orang yang dingin dan pendiam. Tapi dia berubah saat bersamamu, jadi kurasa Ji-Yeon menyukaimu.”
Rachel jadi semakin tidak mengerti dengan Karin. Tadi ia membicarakan Seung-Hun bahkan mendesaknya untuk mengaku jika ia adalah pacar Rachel. Tetapi sekarang berpindah pada Ji-Yeon. Apa maksudnya? “Kau salah sangka, Ji-Yeon bukan orang yang pendiam dan dingin,” Rachel memijit pelipisnya. Mendadak ia merasa pusing mendengar ucapan Karin.
“Itu kan menurutmu. Coba saja lihat Ji-Yeon ketika bersama orang lain, pasti berbeda.”
Rachel termenung. Ia tidak pernah mengamati Ji-Yeon ketika ia sedang bersama orang lain. Tapi ketika Ji-Yeon bersama Seung-Hun ia terlihat biasa. Mungkin karena Seung-Hun adalah teman baiknya. Jadi jika yang dikatakan Rachel itu benar pasti karena Ji-Yeon menganggapnya sebagai teman baik. Ya, pasti begitu. Karin itu memang suka mengada-ada, kata Rachel dalam hati sekaligus meyakinkan diri.
“Rachel? Kau masih di sana?”
“Ya,” suaranya terdengar sumbang. Rachel menjauhkan ponselnya sebentar lalu berdeham.
“Aku sangat penasaran dengan hubunganmu. Jika Seung-Hun bukan pacarmu, lalu apa hubunganmu dengan Ji-Yeon?”
“Kami berteman Karin,” desahnya. Sekarang Rachel ingat dengan salah satu sikap sepupunya ini. Yaitu serba ingin tahu, mudah penasaran dan suka mendesak. Baiklah, itu bukan salah satu.
“Aku tidak percaya. Seung-Hun pacarmu, kan?”
“Bukan.”
“Bukan? Lalu seseorang yang memperhatikanmu dua puluh empat jam, menatapmu dengan tatapan yang berbeda, dan memiliki kunci cadangan apartemenmu itu disebut apa?!”
Rachel berpikir sejenak. “Teman,” ia menarik napas cepat.” Sudah dulu ya?” Rachel cepat-cepat memutus hubungan.
Ia menatap layar monitor laptop yang tampak gelap. Ada satu hal yang ia lewatkan dari perkataan Karin. Menatapnya dengan tatapan yang berbeda, pikirnya.
“Aku tidak mengerti,” gumamnya. “Menurutku Seung-Hun adalah orang yang baik dan dapat dipercaya. Dan kurasa Seung-Hun bersikap perhatian pada banyak orang, bukan hanya denganku. Ji-Yeon juga sama...”
Ia mendongak menatap langit-langit yang tertutup platform putih. “Mereka teman yang baik,” bisiknya. Ia mengambil ponsel lalu beranjak dari kursi.
* * *
“Hime!”
Rachel mendongak tepat menatap sebuah wajah datar tanpa ekspresi. Il Ji-Yeon yang memanggilnya barusan, tetapi wajahnya sama sekali tidak terlihat ramah.
“Ouji,” Rachel bergumam lebih pada dirinya sendiri. Ia merasa bingung kenapa pagi-pagi Ji-Yeon sudah terlihat kesal.
Ji-Yeon berjalan ke arahnya tanpa suara, menarik kursi dan duduk di hadapan Rachel. “Kau melupakan sesuatu?” tanyanya masih tanpa ekspresi.
Rachel melipat tangan di atas meja. Menatap Ji-Yeon dan monitor laptopnya bergantian. “Kenapa kau bisa ada di sini?”
Ji-Yeon mendecakkan lidah. Tentu Rachel sangat tahu laki-laki di hadapannya ini tidak suka mendengar pertanyaannya. Sudah pasti yang ia inginkan adalah jawaban atas pertanyaannya.
“Tadinya aku ingin ke apartemenmu, tapi aku melihatmu di sini,” jelas Ji-Yeon enggan.
“Hmm,” Rachel menegakkan punggung lalu mulai memainkan jari-jarinya di atas keyboard.
“Hime, kenapa kau tidak meneleponku semalam? Padahal kau kan sudah janji,” Ji-Yeon mencondongkan tubuhnya, berharap bisa mendapat perhatian Rachel sepenuhnya.
Bola mata Rachel bergerak memandang Ji-Yeon, sementara wajahnya masih agak menunduk menghadap monitor. “Sungguh?”
Ji-Yeon membuang muka dan menghempaskan punggungnya pada sandaran kursi.
“Maaf... aku tidak ingat.”
Tak ada jawaban. Ji-Yeon memandang ke luar jendela dengan wajah datar.
“Ouji...” panggilnya dengan nada bercanda.
Ji-Yeon tetap tak bergeming.
“Sungguh aku minta maaf. Baiklah, bagaimana jika aku meneleponmu sekarang?”
“Sudah terlambat,” sahut Ji-Yeon datar. Suaranya terdengar dingin.
Rachel mengeluarkan ponsel dari ranselnya, ia membuka layar kunci dan menelepon nomor Ji-Yeon. Terdengar dering ponsel. Ji-Yeon berpaling memandangnya dan merebut ponselnya.
“Hime jangan menggodaku, aku sedang kesal.”
Akhirnya Rachel dapat melihat senyuman di bibir laki-laki jangkung itu. “Aku tidak suka melihat wajah datarmu yang seperti dinding, dingin, aku tidak suka,” akunya.
Ji-Yeon tersenyum singkat. Ia tahu Rachel tidak suka melihatnya begitu, dan ia ingin agar Rachel membuatnya tidak memperlihatkan wajah datar itu padanya.
“Nah, sekarang kembalikan ponselku,” Rachel mengulurkan tangannya. Tepat saat itu terdengar bunyi dentingan kecil yang berulang.
Kening Ji-Yeon sempat berkerut, tetapi hilang setelah membaca tulisan di layar ponsel. Lalu tanpa meminta ijin dari Rachel ia menjawab telepon itu.
“Ya, halo?” kata Ji-Yeon cepat, bahkan sebelum ponsel putih itu menempel di telinganya. “Ya, Hime bersamaku... Di kafe biasa dekat apartemen... Oke,” Ji-Yeon memutus hubungan dan mengembalikan ponsel Rachel.
“Jangan seenaknya menjawab telepon ponsel orang lain begitu,” kata Rachel berlagak terlihat kesal.
“Memangnya kenapa? Bagiku kau bukan orang lain, tapi Hime,” Ji-Yeon sengaja menekankan kata “Hime” di akhir kalimatnya.
Rachel tersenyum. Ji-Yeon juga. Untuk beberapa saat mereka hanya saling bertatapan. Tatapan Ji-Yeon terhadapnya masih sama seperti biasa. Tatapan yang mengisyaratkan seakan Ji-Yeon sedang mencari sesuatu dari balik sorot matanya.