Chapter 7

1383 Words
Setelah jam kuliahnya selesai, Rachel memutuskan untuk langsung pulang ke apartemen tanpa mampir kemanapun. Karena hari ini Rachel harus membuat dua artikel, dan jika masih sempat ia ingin melanjutkan naskahnya juga. Sebentar lagi ia akan sampai di gedung apartemennya. Ah, itu dia! Sebuah bangunan berlantai lima dengan pintu kaca yang gelap. Di atas pintu terdapat sebuah tulisan besar yang terbaca “WELCOME” berwarna hijau. Saat malam hari tulisan itu akan menyala dengan lampu-lampu kecil warna pelangi yang mengelilinginya. Tangan telanjangnya memutar kenop pintu dan mendorongnya. Tepat saat itu terdengar bunyi dentingan samar dari dalam ransel. Sebenarnya Rachel tahu ponselnya terus berbunyi selama perjalanan pulang. Entahlah, mungkin mengabaikan telepon sudah menjadi salah satu hobinya. Sesaat sebelum menaiki tangga, Rachel menyempatkan diri untuk menyapa seseorang di bilik kecil samping tangga. Pria paruh baya itulah pemilik sekaligus penanggung jawab gedung ini. Orang-orang biasa memanggilnya paman Okada. Ya, orang itu memang asli Jepang. Rachel tidak tahu kenapa ia menetap di Korea, mungkin karena istrinya orang Korea asli. Rachel berhenti di depan pintu nomor dua dari tangga. Dimana di samping pintu terdapat sebuah papan kayu kecil bertuliskan 1922. Ia menepuk keningnya sendiri sambil tersenyum kecil. Untuk apa mencari kunci jika pintu apartemennya tidak dikunci? Ia akui, melupakan sesuatu adalah kemampuan terhebatnya. Tetapi sayang hal itu tidak berlaku untuk seseorang. Ya, seseorang... Tangannya bergerak membuka pintu, namun belum sempat ia melangkah, ia sudah di buat terkejut oleh seruan dari ruang tamu. “Selamat datang!” Rachel hampir berteriak. Untung saja hal itu tidak terjadi. Karena jika sampai ia berteriak sudah tentu ia akan mengundang keributan dan kepanikan tetangga apartemen. Rachel hanya terlonjak sambil memegangi d**a. Lalu matanya bergantian menatap dua orang tak diundang yang sudah hampir membuatnya terkena serangan jantung. “Kalian ini...” Rachel sampai sulit berkata-kata. Ia melepas sepatu dan menghadiahkannya pada Seung-Hun dan Ji-Yeon. “Silakan masuk. Jangan malu-malu anggap saja rumah sendiri,” kata Ji-Yeon sambil menepuk-nepuk tempat kosong di sebelahnya seolah tidak mempedulikan lemparan sepatu Rachel yang mengenai lengannya barusan. Seung-Hun menaruh sepatu Rachel di atas meja. Lalu berpaling memandang Rachel dan tersenyum tanpa dosa. “Kalian ini... kenapa tiba-tiba bisa ada di sini? Membuatku terkejut saja.” “Maaf,” kata dua temannya serempak. “Kalian mau apa datang ke sini? Aku sedang sibuk,” Rachel sedikit memutar tubuhnya untuk menggapai kenop pintu dan menariknya. Raut wajah Ji-Yeon berubah datar, Rachel sangat tahu itu berarti Ji-Yeon tidak suka. “Aku ingin memastikan kau tidak terlalu memaksakan diri.” Nah, apa maksudnya perkataan Seung-Hun itu? Seolah tahu pertanyaan di kepala Rachel, Seung-Hun melanjutkan. “Sekarang kau aktif menulis cerita pendek dan artikel di beberapa majalah, ditambah kau akan membuat novel.” “Lalu?” Rachel masih belum mengerti. Seung-Hun kembali tersenyum dan melanjutkan lagi dengan sabar. “Jadi aku ingin memastikan kau tidak terlalu memaksakan diri untuk memenuhi deadline.” Entah penjelasan Seung-Hun yang terlalu berputar-putar atau memang karena kepala Rachel yang sedang pusing sehingga membuatnya sulit untuk memahami perkataan laki-laki bermata sipit itu. “Itulah kau, Hime. Selalu lupa segalanya ketika sedang bekerja,” Ji-Yeon memandangnya dengan wajah datar. “Apa kau juga melupakan aku ketika sedang bekerja?” Rachel tidak bisa menyembunyikan senyumnya. Anehnya, Ji-Yeon masih saja memandangnya dengan wajah datar seakan serius dengan ucapannya. “Kurasa itu berarti iya,” Seung-Hun tersenyum masam. Ia merasa sedikit kecewa karena Rachel tidak menanggapi ucapannya. Ji-Yeon membanting ponselnya di meja dengan wajah kesal yang dramatis. “Besok aku akan memasang fotoku di meja kerjamu agar kau tidak melupakanku.” “Aku benar-benar sibuk hari ini. Pulanglah,” Rachel memperingatkan sambil tersenyum. Alis Ji-Yeon bertaut kesal, ia mengabaikan perkataan Rachel dan berkata, “Hime, kenapa kemarin kau tidak menjawab teleponku dan tidak membalas pesan dariku?” “Oh?” Rachel menggaruk pipinya yang tidak gatal sambil berpikir. Kembali memandang Ji-Yeon sambil tersenyum canggung. “Maaf ya.” “Tidak meminta maaf padaku juga?” Kepala Rachel berputar memandang Seung-Hun. “Iya, aku juga minta maaf padamu. Nah, sekarang kalian pulanglah.” Seung-Hun melipat tangan di d**a dan meluruskan kakinya. “Aku sudah menunggu lama tapi malah disuruh pulang,” ia memandangi Rachel yang berjalan menuju kamar. Rachel berbalik. “Aku kan tidak menyuruh kalian menunggu.” “Hime, aku datang ke sini untuk membantumu, karena kudengar dari Seung-Hun kau sangat sibuk.” Rachel menatap Ji-Yeon dengan alis terangkat. “Memangnya kau pikir pekerjaanku ini seperti mencuci piring bisa dibantu? Tentu saja tidak. Aku harus mengerjakan semuanya sendiri.” Ji-Yeon tersenyum lebar. “Mungkin Seung-Hun memang ingin membantumu mencuci piring,” guraunya. Rachel tertawa lalu mengibas-ngibaskan tangan. “Sungguh aku sangat sibuk hari ini. Aku harus membuat dua artikel yang harus selesai besok. Nanti aku akan menelepon. Pulanglah,” Rachel memandang mereka bergantian. Menarik napas dan menambahkan, “aku akan baik-baik saja. Aku tidak akan lupa makan dan aku akan tidur tepat waktu.” “Memangnya jam berapa waktu tidurmu? Jam satu? Jam dua?” Seung-Hun memandangnya sambil tersenyum dan beranjak bangun. “Sudahlah... aku tidak akan tidur selarut itu,” Rachel mengibaskan sebelah tangan membuat gerakan mengusir. Seung-Hun berjalan dan mengambil sepatunya di rak. Ji-Yeon terpaksa ikut mengalah dan bangun, ia juga mengambil sepatunya di rak dan memakainya dengan enggan. Setelah semua sepatunya terpakai ia kembali berbalik memandang Rachel. “Janji kau akan meneleponku nanti?” ia mengangkat jari kelingkingnya. Rachel mengangguk sambil tersenyum, “janji,” ia menautkan jari kelingkingnya pada jari kelingking Ji-Yeon yang besar. Sementara itu Seung-Hun masih mengikat tali sepatunya, jadi ia tidak tahu apa yang sedang mereka lakukan itu. Baru setelah selesai ia bangun dan berpamitan bersama Ji-Yeon. Rachel menutup pintu setelah Ji-Yeon dan Seung-Hun sudah hilang dari pandangannya. Untuk beberapa saat ia hanya memandang pintu putih itu. Lalu ia mengangkat wajah, berbalik dan berjalan menuju dapur. Ia merasa sepi. Tapi semua akan baik-baik saja seperti yang ia katakan. Mata Rachel melebar begitu melihat kantung plastik putih besar di atas meja. Dan ia bertambah kaget ketika mengetahui isi dari kantung pastik itu adalah ramyeon instan. Astaga... apa Karin ingin membunuhnya perlahan-lahan? * * * Il Ji-Yeon menatap layar ponselnya dan mendesah berlebihan sekali lagi. Sudah berjam-jam ia menunggu Rachel menelepon. Tapi sejauh ini ia merasa hanya diberi harapan palsu. Oh, astaga! Apa yang ia pikirkan? Harapan palsu?! Yang benar saja! Rachel memang pelupa, ia tahu itu. Jadi mungkin saja ia lupa menelepon. Tapi... melupakannya? Melupakan dirinya? Itu tidak mungkin! “Itu mimpi buruk,” Ji-Yeon bergidik ngeri. Ia merubah posisi duduknya menjadi berbaring. Lalu dalam hitungan detik saja ia kembali duduk. Memandang layar ponsel lekat penuh harap. Masih tidak berubah! Ia menjatuhkan dirinya pada sofa dengan posisi menelungkup. Sebelah tangannya di biarkan mengayun jatuh di lantai. Ia menunggu. Dan akan tetap begitu. Sepuluh menit berlalu. Ia mengangkat kepala untuk dapat melihat ponselnya yang tergeletak di lantai. Benda itu masih saja tidak menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Ia mendecak kesal, mengulurkan tangannya untuk meraih benda itu. Ah, sial! benda itu malah bergeser semakin jauh. Ji-Yeon terpaksa bangun dan melangkah. Tapi sebelah kakinya tersangkut dan ia jatuh tersungkur dengan satu kaki di atas sofa. “Astaga Hime! Kenapa kau tidak meneleponku juga?!” pekik Ji-Yeon frustasi. Ia masih belum beranjak bangun. Ia tidak mempedulikan pipinya yang dingin karena mencium lantai. “Siapa itu Hime?” Ji-Yeon mengangkat wajah dengan susah payah. Astaga, sejak kapan kakaknya berdiri di sana? Il Woo-Sung memandang adiknya dengan tatapan aneh. Ia beranjak dari pintu dan mengulurkan tangannya mengambil ponsel Ji-Yeon, bukannya malah membantu adiknya untuk bangun! “Kakak, jangan ambil ponselku!” dengan susah payah Ji-Yeon berusaha bangun dan berdiri menghadap sang kakak. Terlambat. Woo-Sung sudah melihat wallpaper di ponsel Ji-Yeon. Ia mengangkat wajah dari ponsel dan memandang Ji-Yeon penuh arti. “Ternyata kau diam-diam sudah punya pacar,” senyumnya mengembang, masih memandang Ji-Yeon dengan pandangan penuh arti. Ji-Yeon merebut ponselnya kembali. “Aku tidak punya pacar,” gumamnya tidak jelas, nyaris tidak bisa dimengerti sampai-sampai Il Woo-Sung hanya memahami kata “pacar” yang ia gumamkan. “Jadi kau menunggu telepon darinya? Kenapa kau tidak meneleponnya lebih dulu?” Woo-Sung melipat tangannya di d**a. “Hime, maksudku dia, dia sedang sibuk,” kata Ji-Yeon muram. Sebelah alis Woo-Sung terangkat. “Sibuk? Sesibuk apa sampai melupakan pacar sendiri?” senyumnya melebar. Ji-Yeon berbalik dan menghempaskan tubuhnya di sofa. Rachel memang bukan pacarnya. Ya... mungkin belum. Tetapi ia yakin Rachel tidak akan melupakannya. Ia menunduk menyembunyikan senyum. Semoga saja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD