Biru tidak fokus menerima pelajaran dengan baik, sebab Kala belum ditemukan, ia pun cerita kepada teman-temannya perihal Kala yang hilang sejak kemarin.
Kalau fisik Kala normal mungkin Biru tidak akan sekhawatir ini, ditambah Kala itu orang yang polos, mudah dijahati oleh orang.
Sedangkan di tempat lain Andrea yang sedang berada di dalam toilet, tak sengaja menguping pembicaraan orang di luar.
"Untung aja Kak Daniel kenal Julian, jadi gampang hubungi," ujar Keisha. "Kira-kira Julian bakal apain Kala ya?
Cherly mengendikkan bahunya. "Bodoh amat, perkosa kek, bunuh kek, gue enggak peduli. Siapa suruh Biru enggak mau balas cinta gue, yang jadi korban kan saudara kembar dia."
"Kenapa enggak lo balasin ke Biru aja, kan yang bikin lo kesal si Biru, bukan Kala, gue rasa ini enggak adil buat Kala," ujar Indy, setidaknya ia masih bisa berpikiran rasional daripada kedua temannya itu.
"Biru terlalu kuat untuk dikalahkan, sementara Kala gampang banget bikin dia menderita. Ya, salah satu cara bikin Biru hancur yaitu hancurin kembarannya."
Ada dua fakta yang Andrea dapatkan, yang pertama Biru dan Kala adalah kembaran dan selama ini dirinya tidak pernah tahu. Dan yang kedua, Kala saat ini sedang dalam bahaya.
Andrea pun cepat-cepat keluar dari toilet itu dengan santai, seakan tidak terjadi apa-apa.
Setelah mencari biru ke sana ke mari, akhirnya Andrea menemukan Biru di kantin bersama teman-temannya.
"Lo temannya Kala, kan?" tanya Biru yang diangguki oleh Andrea.
Dengan napas yang terengah-engah, Andrea mengumpulkan oksigen. "Kala lagi dalam bahaya, tadi gue dengar Cherly sama teman-temannya bahas Kala di toilet. Kayaknya sekarang Kala lagi sama Julian."
Mendengar nama Julian membuat Biru jadi mematung, nama laki-laki itu kembali terdengar setelah bertahun-tahun menghilang. Biru tidak pernah lupa dengan laki-laki yang hampir membuat Kala gila saat itu.
"Thanks infonya."
Biru langsung beranjak dari tempatnya, untuk mencari keberadaan Cherly, tentu saja Alde dan Tirta mengikut langkah Biru.
Dengan perasaan kesal Biru menarik Cherly yang baru saja keluar toilet untuk mengikutinya ke taman belakang.
"Lepas, sakit!" ujar Cherly.
Biru pun menghempaskan tangan itu dengan keras. "Mana Kala?"
Cherly mengendikkan bahunya. "Ya mana gue tahu! Kan lo kembarannya kok nanya gue?"
Bukan hanya Biru yang kaget, melainkan Alde dan Tirta. Padahal selama ini mereka mengira kalau Biru dan Kala benaran jadian.
"GUE BILANG KALA DI MANA, CHERLY!" teriak Biru dengan keras. Untung saja taman belakang itu sepi jadi tidak ada yang dengar.
"Gue bilang enggak tahu ya enggak tahu, Biru."
Biru menatap tajam mata Cherly. "Gue tahu lo bohong, jadi lebih baik lo kasiha tahu, sebelum gue patahin leher lo."
Cherly tersenyum tipis. "Ya udah kalau mau patahin mah, gue enggak peduli!"
Cherly orang yang keras, ia tidak mungkin memberitahu keberadaan Kala kepada Biru, biarin saja Biru kelimpungan mencari keberadaan Kala.
"Cherly, lo jujur atau gue bogem lo sekarang juga?"
"Silakan, orang gue enggak tahu Kala di mana, malah maksa!" ujar Cherly tetap tenang.
Saat Biru ingin menonjok wajah Cherly, namun langsung dihalangi oleh Tirta. "Tahan, Ru, dia cewek. Kita cari cara lain buat bikin ini cewek biar jujur."
Biru menghela napas kesal. "Kalau sampai gue tahu lo ada kaitannya sama ini semua, gue enggak akan tinggal dia. Persetan dengan jenis kelamin lo."
Cherly tersenyum tipis, lalu berbisik kepada Biru. "Enggak usah banyak bacot. Berdoa aja biar kembaran lo selamat."
Setelah itu Cherly dan kedua temannya meninggalkan para cowok itu.
***
Wajah Kala terasa kering karena bekas air mata, rambutnya kacau, pikirannya tidak menentu, dan saat ia tidak berdaya karena perutnya yang lapar.
Julian benar-benar mengurung Kala di kamar, tanpa segelas air minum pun yang tersedia.
Beberapa menit kemudian, Julian pun muncul membawakan nasi uduk untuk Kala, tetapi nasi itu sudah bau walaupun bungkusannya belum dibuka, sudah menyengat.
"Mau makan enggak?" tanya Julian.
Kala menggeleng.
"Oke." Julian meletakkan nasi bungkus itu di atas meja.
Tanpa aba-aba, Julian langsung menggendong Kala ke kamar mandi. Ia meletakkan Kala di bathub, lalu menyalakan air untuk mengisi bak mandi itu.
"Ini sampo, sabun, odol, sama sikat gigi baru, kalau udah panggil gue."
Kala hanya mengangguk.
Setelah Julian keluar, Kala langsung melepas pakaiannya hingga tak tersisa apa-apa, lalu melemparnya ke area kering yang tidak terkena air.
Setelah puas mandi, Kala pun mencari handuk, namun handuk itu menggantung di pintu, ia menggigit bibirnya. Bagaimana cara ia mengambil handuk itu, kalau ia langsung panggil Julian yang ada laki-laki akan melihat dirinya yang naked.
Setelah berpikir keras, Kala pun akhirnya memanggil Julian, persetan dengan keadaannya yang seperti ini, yang ada ia bisa mati kedinginan.
Saat Julian masuk ke kamar mandi, ia menghela napas melihat keadaan Kala yang telanjang bulat di hadapannya.
Sial, ada yang mengeras, gue laki-laki normal!
Julian mengambil handuk untuk mengeringkan tubuh Kala, setelah itu dililitkan sampai sebatas d**a, kemudian Julian langsung menggendong Kala sampai ke kasur.
"Gue laki-laki normal yang butuh pelepasan," ujar Julian.
Kala menggeleng, ia takut kejadian beberapa tahun lalu kembali terulang sekarang. Kala menangis dan terus memohon agar Julian tidak melakukan hal itu.
"Dulu sempat gagal, Kala. Sekarang harus berhasil."
Kala ingin kabur tapi tidak bisa. Kakinya yang memaksa Kala untuk tetap stay.
Julian melepaskan kaosnya, kemudian dia langsung berbaring di samping Kala, ia menarik handuknya dan membuang ke sembarang Arah.
Saat Kala ingin tengkurap, namun langsung ditarik oleh Julian.
Kala menangis dan meronta agar Julian tidak nekad melakukan yang tidak semestinya.
Julian menarik tengkuk Kala lalu mencium bibirnya tanpa ampun. Seberapa pun Kala menangis, meronta, dan memohon, tidak menghentikan aksinya.
Julian beralih ke leher Kala, lalu meninggalkan karya yang banyak, yang semakin membuat Kala menangis.
Tubuh Julian benar-benar mendekapnya sehingga seakan tidak ada jarak di antara mereka.
Setelah puas bermain di bagian leher, ia pun memegang pada bagian yang tidak seharusnya, membuat Kala berteriak kesakitan karena ia menggigitnya dengan keras.
Kala terus berdoa agar pertolongan segera datang, namun sayang seribu sayang, pertolongan itu belum juga datang.
Julian benar-benar tidak punya hati, ia tidak peduli dengan Kala yang memohon agar berhenti, ia tidak peduli dengan tangisan perempuan di hadapannya. Yang ada ia terus melampiaskan nafsunya pada Kala.
Julian menatap Kala dengan senyuman penuh hasrat. Ia menyeka air mata Kala. "Aku akan ajarin kamu indahnya surga dunia." Ia langsung membuka sabuk celana jeansnya.
***
Apa yang Julian lakukan saat ini hanya mengikuti nafsu dan hasratnya, tanpa tahu dampak dari perbuatannya membuat mental Kala semakin memburuk.
Julian puas telah merenggut apa yang Kala jaga selama ini, ia bermain dengan mahkota perempuan itu.
Sementara Kala terus menangis, dirinya sudah tidak berdaya, badannya benar-benar rapuh, pikirannya sudah kemana-mana. Seharian ini belum ada makanan dan air minum yang masuk. Dan sekarang dipaksa untuk memuaskan hasrat laki-laki ini.
Setelah lelah, akhirnya Julian menghentikan permainannya. Ia bahagia karena apa yang pernah tertunda di masa lalu, kini ia dapatkan di masa kini.
Julian beranjak dari kasur dengan senyuman bahagia. "Cacat fisik, cacat mental, dan sekarang cacat harga diri. Selamat, Senandung Kala Senja."
Ia pun langsung ke kamar mandi untuk segera membersihkan dirinya. Setelah ini ia berencana menelepon taksi untuk mengantar Kala pulang ke rumahnya. Namun, sebelum itu ia harus membelikan Kala pakaian terlebih dahulu.
***
"Lo yakin info dari Andrea? Dia salah dengar aja kali," ujar Alde santai sambil makan kuaci yang ia beli di kantin beberapa waktu lalu.
Memaksa Cherly juga percuma, gadis itu sangat keras, bahkan ia rela mati daripada kasih tahu keberadaan Kala.
Biru pun langsung beranjak dari tempatnya. "Gue bolos dulu, mau lanjut cari Kala."
"Jangan gila, kita ada ulangan harian guru killer abis ini."
"Ntar susulan bisa, kalian bilang aja gue sakit. Kala lebih penting."
Setelah itu Biru langsung keluar kelas, ia berpapasan dengan Indy yang tengah membawa buku paket untuk dikembalikan ke perpustakaan. Memang, di antara Cherly dan Keisha, Indy yang paling pintar di antara mereka.
Biru langsung menghampiri Indy. "Ndy, gue tahu lo orang baik, Kala di mana?"
Indy hanya bergeming, tetapi Biru tetap berusaha, ia mengikuti Indy sampai ke perpustakaan, sampai gadis itu selesai mengembalikan buku paket.
"Jangan tanya gue, Biru. Gue enggak ikutan."
"Tapi lo tahu kan di mana rumah Julian?"
Indy tidak menggubris, dia masih terus berjalan, sementara Biru tetap memaksa karena harapannya sekarang hanya Indy.
"Ndy, lo enggak kasihan sama Kala? Walaupun kalian enggak temanan, minimal punya rasa empati sesama manusia. Lo enggak kasihan sama orangtua gue yang bingung cari anaknya."
Indy masih bergeming.
"Ndy, Kala udah cacat dari lah—"
"Di apartemen Raffles Hills," ujar Indy datar.
Setelah itu Biru berterima kasih, dan ia langsung ke alamat yang diberitahukan oleh Indy tersebut.
Dengan menempuh perjalanan kurang dari satu jam, Biru sampai di apartemen elitte tersebut.
Ia langsung menemui resepsionis untuk menanyakan huniannya Julian Aresta, setelah mendapat informasinya, Biru langsung naik ke lantai 33, tempat Julian.
Setelah memencet bel beberapa kali, akhirnya pemilik apartemen pun keluar, terlihat Julian dengan rambut basahnya.
Biru langsung ke dalam tanpa permisi. Ia berjalan mencari Kala ke setiap sudut ruangan, lalu meneriaki namanya tanpa henti, tetapi tidak ada tanda-tanda bahwa Kala di sini.
"Julian! Di mana Kala?"
Julian terkekeh pelan. "Cari Kala di sini? Enggal salah? Mana gue tahu."
Biru menarik kerah kemaja Julian lalu menatapnya dengan tajam. "Sampai gue tahu Kala dijebak sama lo, lo habis!"
"Lalu apa kabar adik gue yang meninggal gara-gara lo?"
Biru tersenyum miring. "Celia bunuh diri bukan karena gue!"
Biru menonjok wajah Julian dengan tiba-tiba membuat Julian tidak dapat menghalau.
Julian kembali berdiri tegap, lalu berbisik kepada Biru. "Lo harus rasain jadi gue waktu kehilangan Celia."
"Itu enggak ada hubungannya sama gue!"
Julian memukul wajah Biru. "b******k!"
Dan akhirnya terjadilah adengan baku hantam di ruangan ini, tanpa adanya penengah.
***
Seorang supir taksi langsung memanggil satpam untuk membantu mengangkat Kala. Pasalnya, di tengah perjalanan gadis itu pingsan.
Akhirnya satpam dan supir taksi itu langsung membaringkan Kala di sofa, setelah itu sang supir taksi pamit. Dan satpam memanggil majikannya di kamar.
Kejora langsung keluar dan melihat keadaan Kala yang begitu damai.
"Ini siapa yang antar, Pak?" tanya Kejora ke satpamnya yang bernama Budi itu.
"Tadi supir taksi yang antar, Bu, saya lupa tanya di mana ketemu Non Kala."
Kejora mengangguk, lalu Budi langsung pamit keluar.
Ia pun segera mengirim pesan ke grup chat Kennard's Family untuk memberitahukan bahwa Kala sudah pulang ke rumah.
Kejora mengambil minyak angin kemudian ia letakkan ke hidung Kala, berharap dengan begitu anaknya bisa sembuh.
Walaupun Kala bukan anak kandungnya. Namun, Kala sudah dianggap seperti anak sendiri. Ia tidak pernah membedakan antara kasih sayang ke Biru atau pun Kala, karena keduanya sama-sama anaknya.
Perlahan mata Kala pun terbuka, tetapi pandangannya kosong, seakan tidak ada kehidupan.
Kejora yang melihat hal itu jadi merinding, ia menggoyang-goyangkan tubuh Kala, tapi tidak ada respons, ia hanya diam.
"Kala, ini Bunda, sebenarnya apa yang terjadi, Sayang?"
Kala tidak merespons, ia hanya diam, seakan kejadian beberapa jam yang lalu telah merenggut dunianya. Perasaan hancur yang ia rasakan beberapa tahun lalu tidak ada apa-apanya dibanding sekarang.
"Kala, makan ya. Bunda ambilin makanan."
Baru beberapa langkah Kejora berjalan, tiba-tiba terdengar tangisan dari arah Kala. Gadis itu menangis, menjerit, sambil memegangi tubuhnya sendiri, kemudian ia menjambak rambutnya sendiri.
Kejora mencoba menenangkan Kala, tetapi sia-sia, bukannya berhenti, Kala semakin menangis dan meronta.
"Sayang, dengar Bunda, semuanya baik-baik aja, jangan nangis lagi."
Kejora ikut meneteskan air mata, melihat Kala seperti ini, jujur ia takut menghadapi Kala sendirian, karena asisten rumah tangganya juga sedang cuti.
Tak lama kemudian Vano muncul dengan panik karena melihat keadaan Kala yang sepert orang kesetanan.
Setelah mendapat chat tadi, Vano langsung buru-buru cabut dari kampus.
"Kala, ini Abang."
Kala justru teriak melihat Vano, ia menjerit dan menangis, lalu membalikkan badannya, seakan melihat setan yang menyeramkan.
"Kenapa, Tan?"
"Tante juga enggak tahu, kayaknya ada kejadian buruk yang menimpa dia."
Vano menghela napas. "Ini lebih buruk dari depresinya beberapa tahun lalu."
Kejora membenarkan ucapan Vano. "Tante kasihan sama dia."
Siapa pun yang melihat keadaan Kala sekarang pasti akan merasa iba.
Tiba-tiba Kejora terpikir sesuatu. "Mungkin enggak sih, keadaan Kala ini adalah hukum karma akibat perbuatan orangtuanya dulu."
Apa yang Kejora katakan ada benarnya, karena kejahatan yang dulu pernah dilakukan orangtua bisa balik ke keturunan. Karena hukum alamnya memang seperti itu.
"Terlepas ini balasan atau bukan, kita harus tetap bawa dia berobat, Tante."
"Iya, Van. Sekarang kamu tenangin dia dulu, Tante mau ambilin makanan."
Vano menyentuh pundak Kala, namun gadis itu langsung hiteris dan menangis sejadi-jadianya.
Dalam jeritan itu terdengar suara lemah. "Jangan sentu aku."
Vano pun menjauhkan tangannya, lalu menutup mata sejenak. "Abang sayang sama Kala, jangan takut ya."
Namun Kala tidak peduli dengan ucapan itu, ia terus menangis, melihat Vano seperti melihat monster.
***