Bab Delapan

1922 Words
Bel pulang sekolah di SMA Edelweiss kini berdering sampai ke segala penjuru, tentu saja para siswa dan siswi langsung berhamburan keluar kelas setelah merapikan alat tulis ke dalam tasnya. Tapi berbeda dengan kelas 12 IPA 4, sedang ada pelajaran tambahan selama dua jam ke depan,  Biru sudah lelah, ingin segera pulang, lagian kasihan Kala kalau menunggunya terlalju lama. Mau minta bantuan Vano untuk menjemput Kala juga tidak mungkin, dia sedang penelitian untuk bahan skripsinya, tidak mungkin juga Kala naik kendaraan umum. Cherly dan kedua temannya sedang berjalan di koridor, tetapi langkahnya terhenti di depan kelas 12 IPA 1 karena melihat Kala sedang duduk sendirian di dalam sana. Ketiga cewek itupun langsung menemui Kala. Kala yang melihat kehadiran 3 orang yang pernah membullynya tempo hari pun terkejut. "Hai, Kala," ujar Cherly dengan senyuman tipis. "Gue minta maaf ya, karena udah siksa lo waktu itu." "Gue juga minta minta maaf," sambung Indy. "Gue juga," lanjut Keisha. Kala hanya diam seribu bahasa karena ia enggak yakin dengan permintamaafan mereka. Cherly yang merasa tidak ditanggapi, kembali berucap, "Kenapa, La? Lo enggak percaya?" "Mungkin," ujar Kala. Cherly melirik jam di pergelangan tangan kirinya. "Lo kalau nunggu Biru kelamaan, mending gue antar pulang, naik mobil gue." "Enggak deh, gue nunggu Biru aja, gue bisa lihat t****k biar enggak bosan." Cherly tetap tidak menyerah untuk mengajak Kala pulang bareng, entah apa motifnya sampai sengotot itu. "La, lo percaya kan, kalau orang jahat bisa juga baik, kita kan bentar lagi lulus, masa mau benci-bencian terus. Gue serius lho, La." Kala masih saja bergeming, membuat Cherly mengehela napas pasrah. "Ya udah deh, La. Kalau lo enggak mau bareng." Cherly dan kedua temannya itu balik badan ddngan perasaan kecewa, namun sebelum langkah mereka menjauh, Kala langsung bersuara. "Iya, gue mau." Ketiga cewek itu langsung saling bertatapan dengan senyuman yang terukir dari masing-masing bibirnya. Enggak ada salahnya terima ajakan Cherly, lagipula kelihatannya Cherly tulus. Tujuannya sekarang bukan antar Kala terlebih dahulu, tapi kafe di tempat yang jauh, Kala juga enggak tahu tempat ini, karena belum pernah ke sini. Keempat cewek itu pun turun, dan menempati meja yang di dekat jendela. "Sorry, La, gue lapar, jadi makan dulu ya, kalian semua gue yang traktir." Cherlu membaca menu yang ada di buku itu. "Kenapa tempatnya jauh banget, Cher?" tanya Kala. "Ini kafe langgganan gue enak banget. Lo mesti coba di sini sushinya enak banget." Cherly pun memanggil waiter dan memesan 4 porsi sushi, dan 4 gelas milkshake strawberry. "Guys, pinjam hape dong, gue mau chat nyokap gue, hape gue ketinggalan di rumah," ujar Indy memandangi ketiga cewek lainnya itu. "Hape gue ada di mobil. Hapenya Keisha aja." Keisha menggeleng sembari mengangkat ponselnya yang mati total. "Udah mati hape gue." Indy menatap Kala. "Kalau hape lo boleh gue pinjam enggak?" Kala langsung mengelurkan ponselnya dari saku rok, lalu memberikannya kepada Indy. "Passwordnya 000000." Setelah menerima ponsel dari Kala, Indy langsung pamit ke toilet. "Sorry guys, ke toilet bentar, kebelet banget." Tak lama kemudian pesanan datang, mereka pun menikmati makanan itu, seperti yang Cherly bilang sushinya enak banget. "La, rumah lo di mana?" tanya Cherly setelah mengunyah. "Di pondok indah." Cherly mengangguk. "Wah, berarti orang tua lo tajir banget ya? Terus kenapa lo sekolah pakai beasiswa?" "Itu besiswa pintar btw, bukan beasiswa tidak mampu," balas Kala. Keisha ikut menimpali. "Berarti lo satu daerah sama Biru dong? Soalnya Biru kan anak pondok indah juga." Kala mengangguk. "Satu daerah aja, tapi rumahnya lumayan jauh." Keisha melihat ke sekeliling, belum ada tanda-tanda Indy balik ke meja mereka, akhirnya Keisha memutuskan menyusul Indy ke toilet. "Guys, gue ke toilet dulu nyusul Indy, takutnya kenapa-kenapa." Tak lama dari itu Cherly juga beranjak dari tempatnya untuk mengantri di kasir, sembari mengantri, Cherly mengirim chat ke seseorang di seberang sana. Cherly Kusuma: gue shareloc, dia lagi duduk sendirian di meja dekat jendela. Setelah membayar, Cherly menyusul kedua temannya di toilet. Tak lama kemudian seorang laki-laki yang lebih tua satu tahun dari Kala menempati kursi di depan Kala. Kala terkejut dengan kehadiran laki-laki yang pernah jahat kepadanya beberapa tahun lalu. "Halo, Senandung Kala Senja." Kala hendak berdiri, namun tangannya langsung ditahan oleh laki-laki itu. "Lepasin, Kak. Gue enggak pergi!" Laki-laki yang bernama Julian itu tersenyum tipis. "Santai, Kala. Gue enggak mau berbuat jahat kok, tadi kebetulan lihat lo sendiri, terus gue samper." "Gue mau pulang." "Gue antar?" Kala menggeleng. "Bisa sendiri." Julian terkekeh pelan lalu memandanga kaki Kala. "Dengan keadaan kaki lo yang kayak gitu?" Tanpa aba-aba, Julian langsung beranjak dsn menggendong tubuh Kala, perempuan itu berontak seraya meminta tolong. "Maaf semua, ini istri saya lagi ngambek," ujar Julian kepada pengunjung kafe lainnya, agar tidak ada yang menghentikan aksi itu. Setelah di mobil, Kala duduk samping jok pengemudi, dan alat penyangganya tertinggal di dalam kafe juga. Julian menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang. "Lo sekarang makin cantik dan tubuh lo berisi." Julin terkekeh. "Coba Celia masih hidup pasti dia udah segede lo sekarang." Mendengar nama Celia membuat Kala pusing, kepala dia rasanya sakit, kenangan masa lalu langsung berputar bagai kaset rusak. Kala memegang kepalanya, berusaha menghilangan ingatan itu, sudah lama sekali traumnya tidak muncul, dan sekarang kambuh lagi. "Please, jangan sebut nama Celia," ujar Kala dengan dengan air mata yang kini menggenang di pipinya. Bagus, itu yang gue mau adalah kembali merusak mental lo, Kala. Lo adalah penyebab kematian adik gue, walaupun gue enggak bisa bayar dengan nyawa. Gue harus buat masa depan lo hancur. *** Tadi bilangnya cuma tambahan dua jam, ini sudah tiga jam tambahannya, dan saat malam mulai gelap, mereka baru keluar kelas. "Gila, ini sih namanya my trip my adventure, datang sunrise, pulang saat sunset. Gila-gila," kesal Alde sembari merapikan alat tulisnya. "Ayo balik," ajak Tirta. Saat Biru membuka pesan di aplikasi chat untuk mengernyitkan keningnya karena sejam yang lalu Kala mengirim pesan. Kalamprettt: Ru, gue balik duluan, ya. Kelamaan nunggu lo soalnya. Biru langsung menelepon Kala, tetapi nomornya tidak aktif. Ia langsung balik ke rumah untuk memastikan Kala baik-baik saja. Biru keluar kelas tanpa menunggu kedua temannya itu, membuat Alde dan Tirta saling memandang. "Pasti tentang Kala," ujar Alde. "Apa sih hebatnya Kala, pincang gitu." Tirta langsung menoyor kening Alde. "Enggak usah ngatain fisik orang. Ayo balik." *** Julian Aresta, laki-laki yang pernah mencoba melalukan pelecehan seksual terhadap Kala, empat tahun lalu. Padahal kematian Celia, adiknya. Bukan karena Kala, justru Celia adalah orang yang membully Kala saat SMP. Akibat dari kelakuan b***t seorang Julian, membuat Kala harus menjalani terapi psikis selama satu tahun. Seharusnya Julian saat itu diberi hukuman, tetapi karena alasan anak di bawah umur, jadi hanya direhabilitasi. Sekarang Julian kembali lagi dengan postur tubuh yang jauh lebih tinggi, dan wajahnya yang sudah tampak dewasa, dengan rahangnya yang kokoh, serta tatapannya yang tajam. Julian membawa Kala ke sebuah apartemen yang entah Kala tidak tahu ini di daerah mana, tetapi sepertinya masih di wilayah Jakarta. "Kak, gue mau pulang." Julian menyeringai. "Pulang? Enggak ah, mau bikin lo merasakan apa yang Celia rasakan dulu!" "Itu bukan kesalahan gue! Dia yang bully gue, dia yang bunuh diri!" Julian semakin mendekat ke arah Kala, lalu berbisik, "Gue pengin Biru hancur sehancur-hancurnya saat lihat kembarannya harus meregang nyawa, sama seperti yang gue rasain empat tahun lalu saat Celia meninggal." "Jangan bunuh gue!" Julian menggeleng. "Tahu apa yang paling ampuh untuk membunuh seseorang? Bukan benda tajam, tapi mentalnya gue bikin down, lalu akhirnya bunuh diri." Julian menjauhkan tubuhnya dari Kala. "Apa lagi lo pernah ada riwayat depresi, gampang banget gue bikin lo balik depresi lagi, sampai akhirnya lo bunuh diri!" Kala tidak tahu harus bagaimana, untuk berdiri saja ia tidak bisa, mau hubungi seseorang juga tidak ada ponsel, ia hanya bisa memanjatkan doa dalam hati, semoga Allah cepat mendatangkan bantuan untuk dirinya. "Senandung Kala Senja, panggilannya Kala. Nama yang bagus. Terlahir dari keluarga kaya, berotak cerdas, wajahnya cantik, tapi sayang pincang." Julian menendang kaki Kala. "Tapi ada yang aneh, wajah lo sama sekali enggak mirip sama mama, papa, dan Biru? Yakin lo anak kandung?" "Gue anak kandung!" Julian terkekeh. "Oh ya? Coba tes DNA, siapa tahu lo cuma anak yang dipungut dari tong sampah. Oh atau, lo cuma anak dari seorang p*****r, yang enggak jelas bapaknya, lalu dibuang!" Kala melemparkan bantal ke arah tubuh Julian. "Gue anak kandung!" "Oh ya? Sekarang kita berpikir lagi. Biru dan lo kembar, kan? Satu rahim, berbagi makanan yang sama, tapi kenapa lo doang yang cacat?" Kala berusaha membentengi dirinya agar tidak menangis, ia tidak ingin terlihat lemah depan Julian. "Dasar anak haram, anak p*****r, anak pungut, mending mati aja lo, enggak ada gunanya lo hidup. Nyusahin. Habisin duit aja cuma buat terapi kaki lo yang enggak sembuh-sembuh." Akhirnya benteng pertahanan Kala pun runtuh, ia memeluk tubuhnya sendiri, ucapan Julian terus berputar di otaknya bagai kaset rusak, jeritannya semakin terdengar, tetapi Julian tidak peduli, ia semakin memanas-manasi Kala. "Ingat, lo itu cuma nyusahin! Ke mana-mana harus diantar jemput, mending lo mati aja. Gue yakin keluarga lo cuma kasihan, enggak beneran sayang." Tangisan Kala semakin pecah, ia menjambak rambutnya sendiri, namun tak dihiraukan oleh Julian. "Kalau gue jadi lo sih, gue bakal bunuh diri, atau mau gue ambilin pisaunya?" "DIAM!" teriak Kala yang membuat Julian tersenyum bangga. Bagus, ternyata bikin orang kambuh depresi sangat mudah. Lo masuk dalam perangkap gue, Kala. "Kalau lo butuh pisau atau racun panggil gue aja." Julian langsung keluar dari kamar itu dan menguncinya rapat-rapat. *** Karena belum 24 jam Kennard belum bisa melaporkan kehilangan Kala. Kini, Kennard's family sedang panik mencari Kala. Kennard, Biru, dan Vano berpencar mencari Kala. Sementara Kejora disuruh menunggu di rumah, siapa tahu Kala pulang. Biru sudah menghubungi Andrea, tapi ia tidak tahu ke mana Kala. "La, lo di mana? Please jangan buat gue panik." Biru memukul setir mobilnya berkali-kali. Berkali-kali Biru menghubungi nomor Kala juga tapi tidak aktif, mau lacak lewat GPS juga tidak bisa. Astaga, lo diculik apa gimana? Padahal ini sudah jam 12 malam, tapi Kala belum juga ditemukan. Sejujurnya Kala itu anak rumahan, tidak pernah main sendiri, tidak punya tempat tongkrongan, dan temannya juga cuma Andrea, jadi aneh banget kalau Kala belum pulang jam segini, apalagi dengan keadaan kakinya yang kayak gitu. Tuhan, lindungi Kala di mana pun dia berada. Biru menerima panggilan dari Kennard. "Ru, pulang, ini udah jam 12 malam. Besok baru lanjut cari." "Iya, Pa." Biru langsung pulang dengan perasaan tidak menentu, ia khawatir ada orang jahat yang memanfaatkan Kala. Ia takut Kala dalam bahaya. Setelah sampai rumah, Biru langsung ke kamarnya, dan disambut oleh Vano yang melayangkan bogeman mentah ke wajah Biru. "Lo kalau enggak bisa jaga dia, enggak usah sok!" kesal Vano dengan berapi-api. "Gue kalau enggak penelitian tadi, gue bakal jemput dia, Biru." "Gue juga ada pelajaran tambahan tadi, gue udah minta dia nunggu." Vano kembali menendang perut Biru. "Kan lo bisa izin dulu buat antar dia pulang, abis itu lo balik lagi, Biru. Kalau udah kejadian gini mau nyalahin siapa?" "Lo kira jarak dari dari sekolah ke rumah itu dekat? Belum lagi macetnya! Gue enggak bisa sembarangan izin, Bang. Sekolah itu bukan punya nenek moyang gue, gue kelas 12!" Vano terkekeh. "Itu alasan lo doang, Ru. Lo dari dulu enggak pernah peduli sama dia. Lo itu mentingin diri lo sendiri. Lo malu kan punya kembaran yang cacat?" "Jaga omongan lo ya, gue enggak pernah malu sama keadaan Kala, gue juga peduli sama dia." "Atau jangan-jangan lo yang sengaja ninggalin dia, dan buat drama kalau lo ada pelajaran tambahan, padahal main!" Biru tidak terima dituduh seperti itu, ia langsung meninju wajah sepupunya itu, dan Vano balas menonjok. Perkelahian antara sepupu itu kini dimulai, saling menonojok, saling menendang. Tidak ada yang kalah ataupun menang karena keduanya sama-sama babak belur. "VANO, BIRU!" teriak Kennard dari arah pintu. Vano dan Biru pun menghentikan aksi mereka, sambil memegangi sudut bibir yang sudah berdarah. "Berantem kok di kamar? Mau Ayah bikinin ring tinju? Biar puas?" Keduanya menggeleng "Biru, minta maaf. Vano minta maaf." Mereka pun saling berjabat tangan. "Sekarang pelukan!" Tidak ada yang mau bergerak. "Oke, Biru. Ayah bakal sita semua fasilitas kamu. Vano, Om bakal telepon ayah kamu biar enggak usah transfer uang lagi." Sebagai dua orang laki-laki yang masih mengharapkan uang dari orangtua, akhirnya mereka pun berpelukan, padahal dalam hati saling menggerutu. "Bagus, lain kali kalau mau berantem ajak-ajak, biar Ayah yang jadi wasit!" ujar Kennard setelah itu keluar dari kamar Biru. Vano menoyor kening Biru sebelum keluar kamar. "Dasar bocah, diancam aja ciut." "Suka enggak nyadar diri, Bambang!" teriak Biru, lalu membanting pintu kamarnya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD