Biru saat ini sudah tampil rapi dengan jaket kulit berwarna hitam lengkap dengan sarung tangan, lalu menyemprotkan sedikit parfum ke pakaiannya agar tetap wangi, dan tak lupa menyisir rambut dengan jari-jarinya.
Setelah itu ia meraih kunci motornya, dan segera keluar kamar. Hari ini ia akan balapan dengan Tirta dan Alde di sirkuit, Sentul-Bogor.
Balapan dengan kedua sahabatnya itu adalah hobi setelah dapat SIM, tidak ada taruhan atau apa pun itu, hanya saja yang sampai finish terakhir harus mentraktir jajanan di kantin selama sebulan full. Hal itu membuat persahabatan ketiga cowok itu semakin erat.
Ini adalah rutinitas yang merela lakukan sebulan sekali di saat gabut.
Saat sampai di ruang tamu, ia berpapasan dengan Kala.
"Ru, mau ke mana?"
"Main."
"Naik motor, ya?"
Biru mengangguk.
Kala menampakkan senyuman di bibirnya. "Ru, gue ikut, boleh?" Biru langsung menggeleng. "Please, Ru, gue pengin ngerasain naik motor, terus rambut gue terbang kena angin," pinta Kala dengan wajah memelas, seakan ini adalah hari terakhir dia berada di dunia.
"Emang bisa? Kalau kaki lo kenapa-kenapa gimana?"
Kala menggeleng dengan tatapan sendu. "Enggak apa-apa, please."
Biru pun menghela napas pasrah. "Oke, tapi gue mau balapan jauh, di Sentul. Mau?"
Kala mengangguk. "Oke."
"Lo tunggu di depan, gue ambil motor di garasi." Setelah itu Biru melenggang.
Setelah motornya Biru tiba, Kala bingung cara naiknya, apalagi ini motor gede.
Biru yang mengerti permasalahan Kala, langsung turun dari motornya, lalu menggendong Kala. "Lepas alat panyangganya."
Kala meletakkannya begitu saja, sementara Biru menggendong Kala dengan mudah, seperti membawa kapas.
"Pegangan, Kala," ujar Biru setelah keduanya sudah duduk di jok.
"Pegang apa?"
"Jaket gue kek, apa kek, terserah, asal lo enggak terbang pas gue bonceng."
Kala pun meletakkan tangannya di sisi kanan dan kiri jaket Biru, namun tiba-tiba Biru menancap gas, membuat Kala spontan langsung melingkarkan tangannya ke perut Biru.
"Udah enggak apa-apa," ujar Biru saat Kala ingin melepaskan pelukannya. "We are twins. Right?"
Kala merasakan keanehan dengan jantungnya, jantungnya berdetak begitu cepat saat sedekat ini dengan Biru, bahkan mungkin Biru bisa mendengar suara detakannya.
Mengabaikan soal detak jantung, ia melihat ke sekeliling yang tampak ramai, langit malam yang penuh taburan bintang, dan lampu kota yang indah dipandang mata, ternyata naik motor itu menyenangkan, angin sepoi-sepoi menembus kulit.
Kala menyenderkan kepalanya di punggung Biru, merasakan kedamaian, tenang, dan sangat nyaman. Untuk kali ini Kala benar-benar merasakan punya kembaran.
***
Alde dan Tirta sudah sampai terlebih dahulu di area balapan, mereka terkejut saat Biru membawa perempuan, biasanya balapan mereka tanpa melibatkan pasangan.
"Hai Kala," sapa Tirta dan Alde.
"Ayo mulai," ujar Biru.
"Lo yakin bawa dia, Ru?" tanya Alde yang diangguki oleh Biru.
Biru tidak ingin membahayakan Kala, jadi lebih baik ia mengendarai motornya pelan. Tidak apa-apa kalah sebelum berperang, yang penting Kala baik-baik saja.
Alde dan Tirta sudah jauh di depan sementara Biru tertinggal jauh di belakang.
"Kok pelan, Ru? Kan balapan."
"Gue bawa orang, mana mungkin kencang yang ada lo terbang. Lagian gue khawatir sama kaki lo."
Hah? Biru khawatir? Enggak salah dengar, kan?"
"Ya udah gue turun aja, tunggu di sini, nanti lo jemput gue."
"Enggak, gue enggak mau digantung sama ayah kalau lo kenapa-kenapa."
Sementara di lain tempat dalam waktu bersamaan, Vano mencari Kala di kamarnya tidak ada, di setiap ruangan juga tidak ada, mau hubungi tetapi ponselnya ditinggal.
Padahal malam ini, Vano mau ajak Kala jalan, sesuai ucapannya kemarin malam.
Apa Kala lupa, ya?
Vano pun menghampiri Kennard dan Kejora yang sedang duduk di ruang TV.
Pasangan yang sudah berumah tangga selama delapan belas tahun itu masih tampak mesra.
"Tante, Om. Kala mana? Kok enggak ada?"
"Tadi tongkatnya ditinggal di depan," ujar Kejora. "Mungkin lagi jalan sama Biru, motornya Biru juga enggak ada."
Kennard menatap lurus ke arah TV. "Lihat aja nanti kalau beneran Biru bawa Kala naik motor, ayah bakal gantung dia di pohon tomat."
Vano mendelik. "Sekalian aja di pohon tauge, Om." Vano jadi teringat perkataan dokter. "Bukannya kata dokter, kaki Kala jangan dulu naik motor, bisa menghambat kesembuhan."
Kennard mengangguk. "Iya makanya, Om mau marahin mereka." Kennard beralih ke Vano. "Ngomong-ngomong, kamu kok nyariin Kala?"
"Mau ajak jalan."
Kejora menatap Vano. "Van, kamu serius suka sama Kala?"
"Iya, aku udah tertarik sama dia dari bayi malahan. Masa aku enggak serius."
"Ingat, kalian itu sepupu, Van," ujar Kejora mengingatkan.
"Enggak ada larangan menikah dengan sepupu, apalagi kami enggak ada hubungan darah," ujar Vano.
Apa yang dikatakan Vano memang benar, hukum menikahi sepupu adalah boleh karena sudah berbeda generasi, banyak masyarakat di luar sana yang menikahi sepupu sendiri, ditambah mereka tidak ada hubungan darah.
Kennard berucap, "Yang Om perhatikan Biru juga suka Kala, cuma gengsi, ya 11 12 lha kayak ayahnya ini."
"Om enggak masalah?"
"Enggak, kalau memang mereka saling suka, kenapa harus dilarang?"
Vamo tidak menyangka bahwa Kennard menyetujui. "Terus akta?"
"Tinggal dicabut dari kartu keluarga, ubah akta kelahiran, beres. Itu juga kalau mereka menikah."
Kali ini Kejora yang bersuara. "Kala wajib tahu siapa orangtua kandungnya, Vano. Tapi sekarang bukan waktu yang tepat, suatu saat nanti kami akan kasih tahu."
***
Saat ini Kala dan Biru sedang menikmati batagor di warung tenda pinggir jalan. Seumur-umur Kala baru merasakan sebahagia ini, naik motor, ikut balapan, terus makan di warung pinggir jalan malam-malam.
Kala terlalu anak rumahan untuk merasakan dunia luar seperti ini. Kehidupannya lebih banyak di kamar, kalau enggak belajar, ngerjain tugas ya rebahan sambil main HP, baca n****+ atau nonton drama.
"Sorry ya, lo kalah gara-gara gue."
Biru mengangguk. "Iya enggak apa-apa."
"Thanks, Ru, lo buat gue sebahagia ini sekarang."
Biru menatap layar ponselnya yang ia silent, 95 kali miscall, 30 spam chat dari Kennard. Belum lagi ditambah misscall dan spam chat dari Vano dan Kejora.
"Lo enak, tapi gue yang bentar lagi kena amuk karena bawa anak kesayangannya naik motor."
Kala melihat notifikasi di ponsel Biru. "Ya ampun ayah enggak mungkin marah, gue enggak kenapa-kenapa."
Biru mengendikkan bahunya. "La, lo udah nemuin jawaban kenapa kita enggak mirip sama sekali padahal kembar?"
Kala menggeleng.
"Oh ya udah."
Kala kembali bertanya, "Lo tahu, Ru?"
Biru tidak menjawab, tetap asyik mengunyah makanannya sampai habis, sementara Kala menjadi kepikiran atas pertanyaan Biru tadi.
Biru menatap es jeruknya yang sudah habis, kemudian beralih ke milik Kala. "Minta minum ya, La."
Biru langsung menyedot es jeruk melalui sedotan bekas Kala.
"Kenapa enggak ganti dulu sedotannya, Ru? Itu kan bekas gue."
Biru menaikkan sebelah alisnya. "Terus?"
"Kata orang kan kalau—"
Biru menyela. "Sama aja kayak ciuman? Kala-Kala, sedotan doang, kecuali kalau lo sakit menular baru enggak mau gue."
Sisi lain yang Kala temukan pada Biru malam ini adalah ia orangnya enggak jaim untuk makan di pinggir jalan, dan enggak jijik minum di sedotan bekas orang.
***