Setelah selesai bimbingan skripsi, Vano mengajak Abel ke gramedia y
ang ada di mal Jakarta selatan. Laki-laki itu meminta Abel untuk memilih n****+ apa pun yang menurutnya bagus, karena Abel begitu menyukai dunia fiksi.
Tentu saja, dengan senang hati Abel memilih. n****+ yang ia piliah ada yang genre teenlit, romance, young adult, dan metropop. Bacaan Abel adalah yang alurnya ringan tetapi kena di hati.
"Jangan pilih n****+ yang 21+ ya."
Abel menatap n****+ yang ada di tangannya yaitu untuk rate 21+, auto ia balikin lagi ke raknya, padahal n****+ itu n****+ terjemahan yang alurnya keren walaupun di dalamnya ada beberapa degan 21+.
Setelah selesai mengitari rak n****+ dari yang best seller sampai yang nyempil-nyempil, Abel hanya memilih sepuluh n****+ yang menurutnya menarik, kemudian mereka langsung ke kasir.
"Toalnya 986.500," ujar petugas.
Vano memberikan kartu debitnya, lalu ia memencet 6 digit angka di alat gesek.
"Terima kasih," ujar petugas setelah selesai melakukan transaksi.
Abel tidak sabar untuk segera pulang ke rumah, dan baca semua n****+ yang ia pilih tadi, apalagi itu pemberian dari Vano, sahabat yang ia sukai diam-dia."
"Van, biar gue aja yang tenteng."
"Jangan lo cewek, kalau gue cowok jadi sanggup."
Hal sesederhana itu yang diucapkan Vano mampu membuat Abel berbunga-bunga, menurutnya itu bentuk dari perhatian.
Langkah Vano terhenti di sebuah toko yang menjual kotak kado. Hal itu membuat Abel mengernyitkan dahinya, untuk apa Vano ke sini?
Vano memberikan yang ia tenteng kepada salah satu karyawan di toko itu. "Mbak, tolong bungkusin semua n****+ ini, ya."
"Baik, tunggu sebentar ya, Mas." Setelah itu sang karyawan langsung melakulan tugasnya.
"Van, kenapa pakai kotak kado segala?"
"Biar surprise."
"Surprise?"
Vano tersenyum manis ke arah Abel, senyuman yang selalu buat ambyar, dan detak jantung Abel bekerja dengan tempo yang cepat. "Iya, gue mau kasih ke gebetan gue."
"Jadi n****+ itu buat gebetan lo?"
Vano mengangguk. "Kebetulan dia suka banget n****+ sama kayak lo, nah gue enggak tahu apa-apa tentang n****+ jadi minta tolong lo."
Jantung Abel seakan berhenti berdetak, dan napasnya tercekat, ia terlalu percaya diri ternyata semua ekspektasi tak benar-benar nyata. Abel menertawai kebodohannya sendiri.
Harapan meraih hati Vano semakin tipis. Abel hanya berusaha tersenyum untuk menutupi rasa sakit yang menyelimutinya saat ini.
Bodoh, terlalu GR lo, Abel.
"Ngomong-ngomong, siapa cewek itu?" tanya Abel setelah menetralkan detak jantugnya.
"Kalau udah resmi nanti gue kenalin ke lo."
Ternyata kita sama-sama berjuang, gue memperjuangkan lo, dan lo memperjuangkan perempuan lain.
***
Tidak memandang murid pintar atau murid biasa, deringan bel istirhata adalah deringan yang mereka sukai, selain dari deringan telepon dari doi atau gebetan.
Terbebas dari mata pelajaran yang buat otak ngebul, ada yang langsung ke kantin, ke lapangan, ke taman, ke rooftop, atau ke tempat lainnya, tak terkecuali Kala.
"La, kantin kuy!" ujar teman dekatnya selama berada di SMA Edelweiss. Hanya Andrea atau yang kerap disapa Rea itu teman dekatnya. Kala terlalu introvert untuk memiliki teman yang banyak, mengingat fisiknya yang cacat membuat Kala semakin insecure.
Lagian anak-anak di kelasnya mendekati Kala hanya karena ada maunya, contoh; dalam hal menyalin tugas, ingin sekelompok dengan Kala saat presentasi atau tugas lainnya, atau saat melakukan ujian, mereka akan menjadi manusia yang manis, memperlakukan Kala seperti seorang teman yang baik. Dan saat tidak dibutuhkan, melirik atau menyapa Kala saja enggan.
Percayalah, tidak semua anak IPA 1 itu pintar, ada yang masuk lewat jendela, dan yang faktor keberutungan juga banyak.
Kala berdiri dari tempatnya, tetapi saat hendak keluar kelas, tiba-tiba ada segerombolan siswi yang datang, dilihat dari lambang di lengan mereka bertuliskan angka X, yang artinya kelas 10.
Salah satu dari mereka langsung mendorong Kala hingga terjatuh, ia sama sekali tidak merasa bersalah bahwa yang ia dorong sekarang adalah seniornya, sekarang udah tidak zaman senior bully junior, yang ada sebaliknya.
Saat Andrea ingin membantu Kala untuk berdiri, tetapi beberapa siswi lainnya langsung mencegah aksi Andrea.
"Kenalin kami ini Blue Lovers, kami enggak suka ya, idola kami jadian sama cewek kayak lo, enggak pantas," ujar siswi yang bername tag Tere Larasati itu. "Cantik? Enggak juga, muka lo pasaran? Kaki? Aduh cacat aja bangga? Oh atau karena lo pintar? Ya, mungkin itu sedikit kelebihan yang lo punya!"
Kala tersenyum miring. "Pacaran? Gimana mungkin gue pacaran sama kemb-"
Namun suara Kala langsung terhenti saat seseorang dari arah pintu menyela ucapannya. "Kalau kami pacaran emangnya kenapa? Ada yang salah?"
Ucapan Biru membuat semua orang yang ada di situ terkejut, termasuk Kala.
Biru langsung medekat ke arah Kala, dan membantu gadis itu berdiri.
Kemudian Biru menatap siswi-siswi yang mengaku blue lovers ini. "Seharusnya kalian dukung kalau semisalnya gue pacaran sama siapa aja!"
"Tapi kan ada yang lebih segala-galanya kayak Kak Cherly, Kak Amanda, Kak Ajeng, Kak-"
Biru langsung menyela ucapan Tere. "Tapi kalau hati gue maunya Kala, kalian bisa apa?"
"Kami itu cuma pengin yang terbaik buat Kak Biru."
Biru membuang napas kasar. "Bacot lo bocil!" Biru langsung menuntun Kala keluar kelas. "Minggir semua gue mau lewat."
Ini adalah pemandangan yang asing, selama hampir 3 tahun berada di Edelweiss mereka tidak pernah ke kantin bareng.
"Ru, kenapa lo enggak bisa bilang aja yang sebenarnya, we are twins."
Biru mendelik. "Gue enggak mau kejadian kayak waktu SMP keulang lagi."
"Tapi yang ada gue semakin dibenci, Biru."
"Iya sih, tapi kalau mereka tahu lo kembaran gue juga keadaannya makin paran nanti."
Setelah sampai di kantin, Biru dan Kala langsung ke tempat Alde dan Tirta. Setelah itu itu Biru memesan makanan.
Ada rasa canggung, karena Kala memang tidak terbiasa duduk dengan laki-laki selain keluarganya.
Alde menatap Kala. "Lo pacar pertamanya Biru, mantap gan. Lo udah sampai mana aja sama dia? Biru suka di atas atau bawah?"
Tirta langsung menampol kepala Alde. "Bege, lo kira Biru itu lo? Otak lo isinya s**********n doang sih!"
"Biru di atas, gue di bawah."
"Eh?" Tirta terkejut.
"Goyangan dia mantap enggak?" tanya Alde.
Biru datang membawa dua porsi siomay dan dua es jeruk.
"Mantap lo, Bro. Kuat berapa ronde? Kata Kala lo suka di atas, ya?"
Biru mengangguk. "10 ronde, Al."
Kala mengernyit. "10 ronde? Emang Biru main tinju?"
Alde langsung syok, sementara Tirta tertawa puas, dan Biru tetap menikmati siomaynya.
"Alde, Kala itu enggak ngerti maksud pertanyaan lo," ujar Tirta setelah tertawa.
"Ah polos, enggaak like."
Kala menjawab, "Emang gue like sama lo?"
"Asem!"
Ponsel Kala berdering, gadis itu langsung merogoh ponselnya dari saku rok, ternyata chat dari Vano yang mau jemput.
Baru saja Kala ingin membalas, namun Biru langsung merampasnya.
Senandung Kala Senja: Enggak, aku pulang sama Biru.
Setelah itu Biru memblokir nomor Vano, dan mengembalikan ponsel itu kepada pemiliknya.
"Kok larang? Biasanya juga abang yang jemput."
"Kali ini dan seterusnya sama gue. Apa gunanya punya pacar satu sekolah tapi pulangnya sama orang lain?"
"Kan biasanya juga gitu, Ru."
Tirta menimpali. "Peka dong, La. Biru itu cemburu."
"B aja, sok tau."
Alde mendelik. "Gengsi digedein!"
"Kagak."
"Harga gengsi lo berapa sih? Sini gue beli!" kesal Tirta.
***