Bab Enam

1064 Words
Cherly, Indy, dan Keisha, memperhatikan Kala yang kini tengah duduk di kantin bersama Biru, Tirta, dan Alde. Cherly tampak kesal, ia mengepalkan jarinya dengan kencang, menatap mereka dengan perasaan amarah yang bertubi-tubi. Biru tak pernah menatapnya, sementara Kala dengan mudah bisa masuk ke hati Biru, padahal ia hanya gadis cacat, pikir Cherly. "Cher, sedikit banyak gue tahu tentang mereka," ujar Keisha kepada Cherly. Cherly beralih menatap Keisha, seolah informasi yang akan diberikan oleh temannya itu jauh lebih menarik, daripada pemandangan menjengkelkan yang barusan ia lihat. "Lo kenal Kak Daniel, sepupu gue yang sekarang kuliah di Bandung?" Cherly mengangguk. "Nah, Kak Daniel itu adalah kakak kelasnya Biru dan Kala waktu SMP," Keisha menjeda ucapannya. "Dan harus lo tahu Kala dan Biru itu kembar." Bukan hanya Cherly yang kaget, tetapi Indy yang sedang menegak es jeruknya langsung tersedak. "Maksud lo?" tanya Cherly. "Kata Kak Daniel, dulu waktu SMP banyak cewek-cewek yang suka sama Biru, tapi enggak ada satupun yang ditanggapin. Jadi, cewek-cewek itu manfaatin Kala yang notabene kembarannya Biru." Cherly menaikkan sebelah alisnya. "Manfaatin gimana?" "Minta Kala buat deketin mereka sama Biru, karena Kala enggak mau, dia langsung dikeroyok sama cewek-cewek itu, katanya sih disekap di gudang sekolah, salah satu dari cewek itu cucu dari pemilik sekokah." Cherly semakin penasaran. "Terus-terus ...." "Nah, Biru enggak terima dong kalau Kala disiksa sama cewek-cewek itu, akhirnya si Biru langsung temui mereka. Entah gimana kejadian sebenarnya, yang jelas salah satu dari cewek-cewek itu bunuh diri." Cherly dan Indy terkejut, tetapi mereka masih setia mendegarkan. "Nah Kak Daniel cuma tahu sampai situ, yang jelas masih ada beberapa kejadian setelah itu. Sampai akhirnya saat kenaikan kelas 9, Kala dan Biru pindah sekolah. Trending banget kasus itu dulu, tiga angkatan jadi heboh, apalagi posisinya si Biru ketua OSIS, dan si Kala siswi pintar yang sering menang olimpiade." "Terus orang tuanya mereka enggak urus kasus ini?" tanya Indy. "Nah ini dia, diproses sama pihak sekolah, cuma diskors beberapa hari gitu karena katanya ini cuma masalah tentang cinta anak ABG apalagi salah satu dari mereka kan cucu pemilik sekolah, terus orang tuanya lapor ke polisi juga tapi cuma direhab gitu, karena masih anak di bawah umur, dan kasus sepele katanya." Kita hidup di zaman, asalkan punya uang dan kekuasaan semuanya beres. Cherly menghela napas. "Gue paham, Biru enggak akui Kala sebagai kembarannya, karena takut kejadian saat SMP keulang lagi. Mengingat di SMA ini juga banyak yang suka sama Biru." Indy yang baru selesai menghabiskan dua porsi siomay, kini ikut bersuara. "Gimana kalau kita yang balikin memori itu ke Kala?" Cherly tersenyum. "Ide bagus, gue juga udah malas sama si Biru, gue kejar dia dari kelas 10, tapi enggak pernah ditanggapin. Saatnya balas dendam ke kembarannya itu!" Cherly menatap ke arah Kala yang sedang tertawa lepas bersama ketiga cowok itu. Sekarang biarin aja mereka semua bahagia, sebentar lagi akan Cherly ganti dengan air mata kesedihan, hitung-hitung ini akan menjadi kenangan mereka sebelum melepas seragam SMA. Ketiga cewek itu pun beranjak dari kantin, menuju kelas mereka di 12 IPA 3. *** Saat turun dari mobil, Biru membantu Kala untuk berjalan masuk ke rumah tanpa menggunakan alat penyangga. Menurut Biru, harus sering dilatih seperti ini, biar kakinya terbiasa gerak tanpa alat penyangga. Apalagi dokter pernah menyarankan melakukan hal ini di rumah, tetapi Kala tidak pernah lakukan. Saat sampai di kamarnya, Kala pun langsung duduk di kasur. "Pegel, Ru." "Nanti belajar jalan lagi sama gue, mending lo ganti baju, abis itu makan." "Tolong ambilin baju gue di lemari dong." Biru pun langsung mengambil kaos kedodoran, dan celana kulot. "Ru, bukan yang ini. Masa di rumah pakai kulot, yang selutut aja." Biru menggeleng. "Di rumah ini ada orang lain, jadi lo harus pakai baju yang tertutup, kalau perlu gue bakal bakar hotpans dan tanktop lo yang menyebalkan itu." "Kan di sini enggak ada orang lain, Biru." "Ada Bang Vano, dia itu sepupu bukan saudara kandung lo." Kala langsung membuka seragamnya, kini tubuhnya hanya terbalut tanktop, dan celana pendek 9 cm di atas lutut. Biru memperhatikan tubuh Kala dengan helaan napas berkali-kali. "Dan lo cuma boleh kayak gini di depan gue atau ayah doang, Bang Vano atau laki-laki lain enggak boleh, ingat?" "Ru, sekarang kalau sama aku kok kamu udah peduli sih?" tanyanya, sambil pakai baju. "Tolong pakaiin celana, Ru, capek." Biru mendelik, dan langsung memakaikan celana itu. "Lo salah, kalau ngira gue enggak peduli sama lo, Kala. Gue enggak bisa sehangat dan seperhatian Bang Vano, tapi gue peduli." Memang sih, hanya saja caranya mungkin enggak seperti Vano, secara terang-terangan. "Kalau enggak peduli, enggak mungkin gue marah saat ada yang nyakitin lo." Kala tersenyum tipis, sambil memandang matanya Biru. "Ru, tahu enggak hal konyol apa yang pernah terlintas di benak gue?" "Apa?" "Kenapa kita harus tumbuh sedarah?" "Maksudnya?" Kala mengendikkan bahunya. "Sejak zaman pubertas, gue udah tertarik sama lo. Aneh ya? Gue malah tertarik ke orang yang dulu pernah serahim sama gue, tapi perasaan ini tumbuh dengan sendirinya." Biru mengubah posisinya menjadi di sebelah Kala. "Lo enggak boleh kasih hati lo buat siapa-siapa." "Enggak mungkin, Biru. Kita kan saudara, gue enggak mau langgar peraturan agama." Biru menarik tengkuk Kala, lalu menempelkan bibir mereka, hanya menempel, tidak ada pergerakan sama sekali, dan itu terjadi sekitar satu menit. Kala masih terkejut dengan aksi Biru, yang bisa membuat tubuhnya menegang, dan detak jantungnya berpacu lebih cepat. Biru terkekeh pelan. "Ingat, enggak boleh kasih bibir lo ke siapa pun, lo milik gue sekarang!" "Hah?" "Enggak usah hah-hah. Sekarang gue antar lo ke meja makan." Kala pun langsung berjalan dibantu oleh Biru, di meja makan sudah ada Vano. "Kala, karena tadi malam kamu enggak jadi jalan sama Abang, gantinya nanti malam ya," ujar Vano. Bukan Kala yang menjawab, melainkan Biru. "Enggak bisa, nanti malam Kala harus belajar, besok ada ulangan." Ulangan? Ulangan dari hongkong! "Boleh, Bang," jawab Kala. Biru menaikkan alisnya. "Yakin? Alat penyangga lo ada di mobil gue." "Ya udah mana kuncinya, biar gue ambil!" ujar Vano. "Ogah." Kejora yang baru dari arah dapur, membawakan sop ayam, langsung menyuruh Biru untuk mengganti seragam. "Sana ke atas, jangan langsung makan, Biru. Ganti baju!" "Gantiin, Bun." Biru kalau di rumah akan tampak konyol, coba kalau di luar, orang-orang akan berpendapat bahwa Biru itu cool, ganteng, dan lain-lain. "Ya udah sini, sekalian celana ya." "Masa celana? Aku enggak pakai dalaman lho." "Ya udah, kan Bunda udah lihat, bentuknya kecil." Biru memutar bola matanya. "Itu kan dulu, Bun, sekarang udah gede dan panjang." Kala yang hendak memasukkan nasi ke dalam mulutnya, langsung terhenti karena mendengar ucapan Biru. "Oh s**t! I hate my mind!" "Apa, La?" tanya Biru karena terkejut dengan ucapan Kala. "Bun, Kala udah gede, udah tahu mikir anu." "Astaga, Biru. Udah sana ganti baju." Biru pun beranjak dari tempatnya, sementara Kejora menatap ke arah celana Biru, dan sialnya Kejora malah percaya kalau Biru enggak celana dalam, ternyata pakai. "La, jam 7 malam siap-siap, ya." Kala mengangguk sambil mengunyah makanannya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD