Dua purnama telah berlalu ....
Laura tersenyum tipis dengan tubuh yang sedikit terlonjak-lonjak dengan Banyu di belakangnya, rambut panjang wanita cantik itu sedikit mengganggu Banyu yang mengungkung sang wanita dengan kedua tangan di sisi kanan dan kirinya tanpa sedikitpun memudarkan senyum yang membuat ketampanannya semakin terlihat sempurna.
"Udah capek?" bisik Banyu di telinga sang istri.
"Belum, Bang, ayo lebih cepet lagi, ah," pinta Laura, Banyu tidak banyak menjawab hanya senyum Laura saja yang semakin mengembang saat lonjakkan di tubuhnya semakin menguat.
Banyu melingkarkan satu tangannya di perut Laura sementara satu tangannya sibuk dengan benda yang ia pegangi dengan kuat, anak rambut Laura semakin kuat bergoyang Karena terpaan angin senja yang semakin berhembus kencang.
Kulit tubuh keduanya yang hanya terlindungi tabir surya seolah bersinar karena terpaan sinar matahari yang mulai berwarna jingga.
"Jangan kenceng-kenceng, ya, Sayang, kasian kudanya," bisik Banyu lagi, kali ini Laura mengangguk pelan lalu Banyu menarik pelan tali kekang dengan kedua tangannya membuat kuda berwarna coklat gelap yang mereka tunggangi melambat.
"Aku, tuh, seneng naik kuda yang larinya kenceng, Bang. Sensasinya, tuh, beda dari naik kendaraan," ujar Laura seraya membelai Surai kuda yang berwarna lebih gelap dari bulu tubuhnya itu.
Laura memang mengajak sang suami menikmati sore hari mereka dengan menunggangi salah satu kuda yang mereka miliki, tidak jauh dari resortnya Laura memiliki kandang kuda yang memang sengaja ia sewakan pada pengunjung pulau yang ingin menunggang kuda. Sama seperti yang mereka lakukan sore ini, ini adalah hari kedua mereka menghabiskan waktu di pulau milik Laura. Kunjungan yang rutin mereka lakukan sebulan atau dua bulan sekali untuk memantau bisnisnya.
"Lebih suka naik kuda ngebut atau Abang yang ngebut?" bisik Banyu untuk menggoda sang istri sementara kuda yang mereka tunggangi tetap berjalan pelan, tidak ada derap langkah kakinya yang terdengar karena kuda itu berjalan di atas pasir pantai yang lembut sesekali ombak pantai menyapanya tetapi karena sudah terbiasa dengan air maka kuda itu tetap tenang, membawa sang tuan menikmati senja di pantai yang indah.
"Ih, Abang, Mah begitu! Omes Mulu!" gerutu Laura seraya mencubit gemas pipi sang suami, wanita itu harus memiringkan tubuhnya yang berada di depan tubuh Banyu untuk melakukan hal itu.
"Lho, kok, omes, sih? 'kan, maksud Abang kamu suka naik kuda ngebut atau bonceng Abang ngebut pake motor, gitu!" jawab Banyu sengaja menggoda sang istri yang tiba-tiba saja pipinya memerah.
"Jadi sebenernya, yang omes itu Abang atau kamu, sih?" sambung Banyu seraya menggelitik pinggang sang istri, sontak Laura tertawa geli.
"Ih, Abang ... udah, ah, kasian si Browni nanti ketakutan!" ujar Laura sambil terkekeh menyebut nama kuda yang mereka tunggangi.
"Aku, 'kan, tadi udah bilang aku lebih suka naik kuda daripada kendaraan lainnya, terus Abang bilang gitu, ya otakku jadi traveling, Bang," sambung Laura setelah Banyu menghentikan gelitikannya.
"Ya udah kalau gitu, lebih baik kita traveling beneran, deh," jawab Banyu seraya menarik sebelah tali kekang Browni membawanya mengarah pada istal yang terletak tidak terlalu jauh dari tempat itu.
"Eh, Bang. Mau ke mana?" tanya Laura yang masih ingin menikmati senja.
"Udah sore, Sayang, kasian Browni belum makan," jawab Banyu ringan.
"Yah, tadinya aku pikir Abang mau ngajak aku traveling beneran," gumam Laura kecewa seraya menyandarkan tubuhnya di d**a sang suami yang lalu mengecup kepalanya.
"Ya, iya, tapi masa mau ngajak Browni!" jawab Banyu, Laura hanya mengulum senyum.
Tempat itu, selalu sempurna untuk bulan madu mereka yang seolah tidak pernah ada ujungnya, kapanpun waktunya, selalu saja itu adalah masa bulan madu bagi mereka sebuah madu yang manisnya tidak akan pernah hasil mereka cecap bersama.
* Dita Andriyani *
Kedua mata Banyu tampak mengerjap beberapa kali sebelum terbuka, bahkan keningnya mengernyit khas seseorang yang tengah memikirkan sesuatu. Kantuk masih sangat menguasai dirinya tetapi ia yang merasakan jika tubuhnya merasa ringan tanpa ada Laura yang bersandar dalam dekapan membuatnya harus membuka mata.
Ia menoleh dan mendapati dirinya telah sendiri di atas ranjang berukuran besar itu, cahaya matahari juga telah menerobos ke dalam jendela membuat sang lelaki tampan menyadari jika ini bukan lagi malam.
"Sayang," panggil Banyu pada sang istri yang tidak kunjung ia dengar jawabannya.
Banyu menajamkan indera pendengarannya dan sama sekali tidak mendapati suara gemericik air dari dalam kamar mandi yang terletak di sudut ruangan kamar itu, ia segera menarik jubah piyama yang terletak di kepala ranjang dan mengenakannya.
Membuka pintu kamar mandi untuk memastikan bahwa benar Laura tidak berada di sana, dan lelaki itu mendapati hasil yang sama. Lalu segera menarik langkah untuk keluar dari kamar mencari di mana sang istri berada, karena menurutnya tidak mungkin juga Laura tengah memasak di sini.
Dari depan pintu kamarnya Banyu sudah bisa melihat sang istri yang tengah duduk di sofa ruang tamu mini yang ada di resort mereka, sebuah unit yang memang di bangun khusus sebagai tempat tinggal mereka ketika berkunjung ke sana.
Unit itu di desain dengan gaya unik, di mana letak kamar berada sekitar satu meter dari ruang tamu dan mini bar juga pintu yang tertuju langsung pada kolam renang pribadi.
Banyu tersenyum menatap sang istri yang sedang berbincang serius dengan seorang wanita, beranak tiga, dia adalah orang kepercayaan Banyu yang kini diminta untuk menjadi tangan kanan Laura dalam menjalankan bisnisnya.
Banyu menikmati setiap ekspresi Laura ketika menatap layar laptopnya lalu kembali fokus pada kertas-kertas yang ia pegang dan mendengarkan apa yang rekan-rekannya katakan, lalu sesekali terlihat Laura yang memberi berbagai instruksi pada seorang wanita dan dua orang lelaki itu.
Banyu merasa bangga, selain cantik istrinya juga sangat cerdas ia cepat sekali dalam belajar, mungkin karena darah pembisnis mengalir kuat dalam dirinya, sejak kecil ia hidup dengan seorang ayah yang gila bekerja dan seorang kakak yang pekerja keras membuat jiwa pengusaha Laura juga sudah tercipta tanpa mereka sadari.
Banyu merasa jika ia tidak pernah salah mempercayai Laura untuk memulai usahanya sendiri, menjadikan istrinya seorang wanita yang kuat bukan hanya dalam segi psikologis tetapi juga dalam segi materi dan ekonomi.
Banyu tersenyum semakin senang saat melihat rapat yang sedang dilakukan sang istri telah berakhir, ketiga orang andalannya telah pamit meninggalkan Laura yang kini tengah fokus menyusun map berisi berbagai berkas, beberapa saat kembali memeriksa laptop lalu menutupnya.
"Abang udah bangun?" tanya Laura yang secara tidak sengaja melirik ke arah pintu kamarnya dan mendapati sang suami berdiri di sana.
Banyu melangkah maju, memegang teralis besi yang terpasang sebagai pembatas di atas sana.
"Udah, Sayang," jawab Banyu lembut dengan senyuman yang selalu membuat Laura mabuk kepayang, bahkan bukan hanya Laura yang begitu, mungkin setiap wanita akan merasa terpana saat melihatnya lalu dalam diam mengagumi, hanya sebatas mengagumi karena tersadar jika senyum itu bukan miliknya.
Banyu dan Laura sama-sama berjalan mendekat hingga bertemulah mereka di dekat tangga yang hanya memiliki beberapa anak tangga itu.
"Kamu tinggalin Abang dari tadi?" tanya Banyu saat Laura telah berada dalam pelukannya.
"Iya, abis aku siap-siap lama juga Abang enggak bangun-bangun," jawab Laura.
"Maaf, ya, Abang ngantuk banget, abis kamu, sih, semalem enggak ngebiarin Abang tidur," ujar Banyu tanpa melepaskan pelukannya.
"Ih, 'kan, itu karena Abang juga!" sahut Laura yang tidak terima Banyu menyalahkannya, Banyu hanya terkekeh lalu menangkupkan kedua telapak tangan pada pipi Laura dan sibuk menciumi wajah cantik itu.
"Maaf juga, ya, aku rapatnya pagi-pagi soalnya aku pengen menikmati hari terakhir di sini berduaan sama Abang," ujar Laura.
"Kita masih bisa terus berduaan di sini, Sayang. Kita bisa tunda pulangnya." Banyu mencetuskan ide, karena sesungguhnya ia juga sangat senang berada di sini, jauh dari hingar bingar kota Jakarta.
"Enggak bisa, kita harus pulang sore ini. Besok aku harus nemenin Mama ke arisan," jawab Laura.
"Ngapain, sih, Sayang kamu nemenin Mama?" keluh Banyu, ia tahu jika berkumpul dengan teman-teman sang Mama kadang membuat suasana hati Laura tidak nyaman karena kadang ada juga teman Mamanya yang menanyakan soal momongan padanya.
"Aku, tuh, sama Mama udah beli jam sama tas, couple-an gitu, Bang, sengaja buat ke arisan. Seru, deh!" jawab Laura sambil terkekeh, Banyu tersenyum geli mendengarnya.
"Dan aku juga seneng liat Mama seneng kalau Deket sama teman-temannya, Bang," sambung Laura yang masih berada dalam pelukan sang suami.
"Iya, Sayang," jawab Banyu seraya membelai sayang kepala Laura, menyayangi Miranda dengan tulus, itu salah satu alasan Banyu begitu mensyukuri keberadaan Laura dalam hidupnya.
"Ya udah, kalau gitu Abang mandi dulu, terus kita sarapan di luar, ya." Banyu melepaskan kedua tangan dari perut Laura.
"Iya, aku tunggu di sini," jawab Laura yang kembali berjalan menuju sofa.
"Enggak ikut mandi?" tanya Banyu.
"Enggak, nanti malah lama enggak mandi-mandi!" jawab Laura singkat, Banyu terkekeh lalu melanjutkan langkah.
Laura duduk santai di atas sofa seraya melempar pandangan ke pantai luas yang terhampar cantik di hadapannya, ia baru menoleh ke meja saat mendengar ponselnya yang tergeletak di atas sana berbunyi, dengan sigap ia membuka sebuah foto yang dikirim oleh nomor yang belum ia simpan.
Tangannya gemetar dengan napas yang terasa sesak seketika saat melihat foto yang baru dibukanya.
"Abang ...."