Kebucinan yang hakiki
Ting.
Sebuah notifikasi ponsel membuat seorang lelaki tampan yang tengah mendengarkan penjelasan sang sekertaris tentang pesanan makan siang yang dipesan untuk acara rapat dewan yang akan berlangsung selama beberapa minggu ke depan, mengalihkan perhatiannya.
"Sebentar," ujar Banyu seraya menunjukkan ponselnya yang menyala pada sang sekertaris yang lalu terdiam seraya tersenyum manis padanya.
Banyu tersenyum lebar melihat foto yang Laura kirim, wajah bahagia Laura menggendong seorang bayi tampan yang tengah tersenyum.
[Abang, aku mau yang begini.]
Keterangan yang tertulis di bawah foto tersebut.
[Enggak mungkin, Sayang, anak kita nanti pasti lebih tampan dari bayi lucu ini.]
Jawab Banyu, dengan senyum yang merekah saat menulisnya tidak ia sadari jika sang sekertaris sesekali mencuri pandang padanya.
[Jadi enggak, sabar.]
Balas Laura dengan emoticon wajah berseri penuh harap.
[Enggak sabar apa? Bikinnya?]
Balas Banyu lagi, kini senyumnya lebih lebar, membuat wanita yang duduk di hadapannya dengan meja kerja sebagai pemisah turut tersenyum melihatnya.
[Ih, Abang nakal!]
Laura mengatupkan bibirnya menahan senyum saat menulis balasan untuk sang suami.
[Emang.]
[Nanti Abang jemput, ya.]
Laura tersenyum membaca balasan pesan Banyu.
[Iya, Abang, Sayang. Suamiku tercinta.]
Banyak emoticon cium dan love Laura sematkan di bawah pesan terakhir yang ia kirimkan.
Banyu menaruh kembali ponselnya di atas meja, lalu kembali meminta sekertaris-nya meneruskan apa yang sedang mereka bahas.
.
"Eh, jangan yang itu Ra, lebih cocok yang ini, nih, bajunya!" ujar Celine seraya menunjukkan sebuah jumsuit berwarna biru muda padanya.
"Enggak, cocokan yang ini!" Laura menolak jumsuit yang Celine tunjukkan, dan tetap pada pilihannya sebuah kaus dan celana jeans pendek yang akan membuat Abraar terlihat tampan.
"Ini, tuh imut, Ra!" Celine tetap ngotot pada pilihannya.
"Tapi ini keren, Cel!" Laura tidak mau kalah, wanita itu tetap pada pendiriannya.
Abraar yang hanya mengenakan kaus dalam dan diapers tertawa, karena mengira dua baju yang Celine dan Laura goyang-goyangkan di atasnya adalah mainannya.
Meisya menggelengkan kepala melihat tingkah kedua sahabatnya itu dengan senyum bahagian menghiasi wajahnya.
"Udah, dong, anakku bisa masuk angin kalau kalian ribut terus!" Meisya berusaha melerai perdebatan kedua sahabatnya, ia khawatir melihat Abraar yang baru selesai mereka bertiga mandikan tidak kunjung mereka pakaikan baju.
"Eh, iya, sampe lupa sama Abraar sayang," ujar Laura seraya membenamkan wajahnya di d**a bayi gembul itu mencium seraya menggelengkan kepala hingga Abraar tertawa kegelian.
"Iya, berarti pakai ini." Celine mendekati Abraar mencoba memakaikan jumsuit yang ia pegang pada bayi itu.
"Eh enak, aja. Tetap pakai ini!" ujar Laura seraya menepis tangan sang sahabat.
"Udah, udah. Mendingan kalian kalian suit aja!" ujar Meisya memberi solusi dari pertentangan sengit kedua sahabatnya.
"Iya, deh!" jawab Laura dan Celine kompak, kompak juga nada malasnya.
Secara bersamaan keduanya menunjukkan jari masing-masing.
"Ye, aku yang menang!" seru Laura seraya menunjukkan telunjuknya di depan wajah Celine yang merenggut dengan jari kelingking yang masih tergabung ke depan.
Tanpa menunggu lama Laura langsung memakaikan pakaian Abraar yang ia pegang dengan hati-hati, Abraar terlihat ceria dengan tawa riangnya yang sesekali terdengar, menggemaskan.
"Sya, bisa kebetulan banget, ya, pas Papi Rudi meninggal pas kalian lewat," ujar Celine yang kini lebih memilih duduk di sofa yang ada di sudut kamar Samuel, membiarkan Laura asik dengan Abraar, siapa tahu bisa mengobati sedikit kerinduan pada seorang buah hati.
"Enggak ada yang kebetulan di dunia ini, Cel, semua ini pasti udah Tuhan atur agar aku bisa hidup lebih tenang tanpa harus memikirkan ayah kandung Abraar. Kata Kak Sam, ini artinya Tuhan sudah benar-benar menjadikan Abraar sebagai putranya." jawab Meisya mengingat semua kata yang Samuel ucapkan padanya.
"Ih, Kak Sam, tuh so sweet banget, ya." Celine merasa gemas hingga mencubit pipi Meisya yang duduk berhadapan dengannya.
"Ih, sakit! Kamu kalau gemes cubit Excel aja!" ujar Meisya ketus seraya menampik tangan Celine yang masih berada di pipinya.
"Enggak ada, Excel lagi kuliah! Dari pada aku cubit pipi Abraar?" ancam Celine.
"Eh, enak aja, anak orang itu bukan squishy!" jawab Meisya.
"Aku juga bilang apa, Sya, kalau Kak Sam itu pasti bisa suami yang baik buat kamu, pasti bisa jagain kamu dan anak kamu! Iya, 'kan, Sayang?" Laura menimang sambil menggoda Abraar, bayi itu mengoceh senang seolah mengiyakan apa yang Laura katakan.
"Iya, Ra. Aku, tuh, ngerasa kita itu sahabat baik yang paling memilik nasib baik, karena kita sama-sama mendapatkan pasangan terbaik," jawab Meisya, kedua sahabatnya mengangguk bersama setuju dengan pemikiran Meisya.
Bertepatan saat itu, pintu kamar Samuel terbuka.
"Ehem, lagi ngomongin kita?" tanya Samuel sambil menyelinap masuk, di belakangnya tampak seorang lelaki gagah mengikuti.
"Abang? Kok, udah dateng? Katanya nanti sore?" Laura mengeluarkan banyak pertanyaan melihat sang suami yang sudah berada di rumah orang tua Samuel, berbeda dengan apa yang mereka janjikan sebelum Laura datang ke rumah itu.
"Iya, Abang pikir Abang juga pengen ketemu sama Baby Abraar ini." Banyu mengelus gemas pipi gembul Abraar setelah sebelumnya mengecup ringan bibir sang istri yang duduk di tepi ranjang dengan Abraar di pangkuannya.
"Kalian seru banget kayaknya, ngobrolin apaan, sih?" tanya Samuel pada sang istri setelah mengecup ringan bibirnya, sama seperti apa yang Banyu lakukan pada Laura.
Celine yang melihatnya menekuk wajah, "hem ... kalian mesra-mesraan, romantis-romantisa. Enggak sadar ada aku? Aku nangis, nih!"
Semuanya menyemburkan tawa melihat Celine cemberut.
"Nih, telpon, deh, si Excel!" Samuel mengacungkan ponsel yang baru ia ambil dari sakunya pada Celine, lelaki itu lalu duduk di tangan sofa seraya memeluk sang istri karena sofa berwarna coklat muda itu telah dipenuhi Meisya dan Celine.
"Enggak usah, aku juga punya Hape kali, Kak!" jawab Celine tanpa berniat menerima ponsel Samuel melihatnya Meisya malah tertawa.
"Eh, eh. Biarpun Excel ke sini kalian juga belum boleh, mesra-mesraan, belum resmi!" ledek Banyu yang kini telah menggendong Abraar yang terlihat sudah mengantuk dalam pelukannya.
"Iya, iya, Bang. Kami udah janjian enggak nakal, kok, kecuali khilaf!" jawab Celine sambil menahan tawa, Banyu memelototkan matanya membuat semuanya tertawa.
"Sstthhh ... jangan berisik, dia tidur." Banyu setengah berbisik seraya menatap wajah Abraar yang mulai terlelap, terlihat imut dan menggemaskan, juga membuat siapa saja yang menatapnya merasakan kedamaian.
* Dita Andriyani *
"Laura belum ada tanda-tanda ngisi lagi?" tanya Monika saat mereka tengah makan malam bersama, Laura hanya menggeleng pelan.
"Mungkin memang masih nyuruh kamu berduaan dulu, Tante, biar puas dulu pacarannya," jawab Banyu seraya menggenggam tangan sang istri di bawah meja, hanya sebuah genggaman tetapi rasanya mampu membuat hati Laura kehilangan rasa galau akibat pertanyaan Monika.
"Iya, betul, kalau sudah saat yang tepat nanti, pasti Tuhan akan kasih apa yang kalian impikan," sambung Edi.
"Iya, Om Aamiin," jawab Banyu dan Laura bersamaan.
"Cel, nanti kamu pulang bawa mobil Laura, ya, besok biar di ambil di restoran," ujar Banyu.
"Siap, Abang bos!" Celine memberi hormat dengan menaruh tangan di keningnya.
"Kak Sam, besok aku ajak Meisya dan Abraar jalan-jalan. Oke no debat!" Laura mengacungkan ibu jarinya sebelum Samuel membuka mulut untuk protes.
"Tapi jangan lama-lama, ntar Kakak kangen!" jawab Samuel datar seraya memasukkan nasi ke dalam mulutnya, sang istri yang duduk di sebelahnya mendaratkan cubitan kecil di pinggangnya.
"Enggak, paling dari pagi sampe sore," jawab Laura enteng.
"Hah, itu lama banget, Ra." Akhirnya Samuel mengucapkan kata protes juga.
"Enggak lama, Kak. Lamaan juga waktu berpisah kami nanti, kalau kalian udah balik ke Surabaya," jawab Laura.
"Atau, nanti Kak Sam aja yang balik ke Surabaya sendiri, biar Meisya sama Abraar di sini dulu sama kita," usul Celine, Laura mengangguk setuju.
"Ide bagus itu, Mama juga setuju!" Monika menimpali hingga membuat kedua mata Samuel semakin membola.
"Enak aja, enggak-enggak!" tolak Samuel tegas, semuanya tertawa melihatnya.
"Tanya aja, tuh, Bang Banyu bisa enggak kalau di posisi aku?" sambung Samuel seraya menatap Banyu yang sedang menertawakan dirinya.
"Alah, Bang Banyu lebih parah lagi, Kak. Laura nginep di rumah aku semalem aja dijemput tengah malem karena enggak bisa tidur!" celetuk Celine membuat Banyu terdiam, ia melempar tissue yang sudah dikepal-kepal pada Celine yang duduk agak jauh darinya.
Kini berganti, semuanya menertawakan Banyu.
"Gila, ya, suami-suami pada alay gitu bucinnya!" ujar Celine yang membuat kedua sahabatnya menganggukkan kepala sambil tertawa.
"Papa juga dulu, waktu masih muda, waktu kita LDR an Jakarta Surabaya, enggak ada hari tanpa telpon dan bilang kangen, pengennya semua kerjaannya cepet beres biar bisa cepet ketemu sama Mama." Kini Monika mengenang kisah masa mudanya.
Tapi semuanya menahan tawa, tidak berani menertawakan orang tua kecuali Samuel yang tertawa terbahak-bahak.
"Papa, suka ngeledekin aku padahal sendirinya juga iya!" ucap Samuel sambil meledek ayahnya.
"Mama, sih, buka kartu!" Monika tertawa melihat wajah sewot sang suami.
"Kalau sekarang gimana, Tante? 'kan, Om sama Tante udah nikah lama, masih gitu juga enggak?" tanya Celine penasaran.
"Ya enggak, sih ... enggak jauh beda maksudnya," jawab Monika sambil tertawa, suasana makan malam kali itu benar-benar hangat.
Hingga tanpa terasa malam semakin larut, kini waktunya Laura dan Celine berpamitan dengan sahabatnya untuk sementara karena seperti yang sudah dijanjikan besok mereka akan kembali menghabiskan waktu bersama.
* Dita Andriyani *
"Bang, Abang ngerasa enggak kalau antara Kak Sam sama Meisya sekarang beda?" tanya Laura pada sang suami yang tengah fokus mengemudi.
"Beda gimana?" tanya Banyu, seraya melirik sang istri yang menatapnya.
"Ya, mereka kelihatan lebih hangat, dan saling bucin gitu," jawab Laura, dengan senyum manisnya.
"Enggak, Abang enggak ngerasain apa-apa, karena kebucinan yang hakiki sudah ada di hati Abang buat kamu, jadi Abang enggak bisa mengeliat cinta-cintaan yang lain selain kamu!" jawab Banyu serius.
"Hem ... udah, deh, mulai gombalnya, pasti ada maunya, nih!" Laura mencibirkan bibirnya, tepat di depan mereka lampu merah menyala membuat Banyu harus menghentikan mobil yang ia kendarai.
"Pasti dong, Abang selalu ada maunya sama kamu," jawab Banyu seraya mencondongkan tubuhnya ke arah sang istri.
"Mau apa?" tanya Laura seraya menatap mata teduh sang suami.
"Mau minta cium, 'kan, seharian belum," jawab Banyu seraya menyatukan bibirnya dengan sang istri, lalu keduanya saling memahami apa yang harus terjadi, dengan lembut keduanya saling melumat, saling membelit dengan lidah yang terasa hangat bertukar saliva yang selalu terasa manis.
Hingga tanpa sadar mobil-mobil di belakang mereka sudah membunyikan klakson karena lampu lalu lintas telah berubah menjadi hijau, entah sejak kapan.
Keduanya tertawa kecil.
"Abang, sih!"
"Kamu, sih!"
Lalu tawa kecil mereka berganti dengan tawa renyah.