Berkunjung

2216 Words
Setelah selesai bersiap-siap Aruna keluar dari kamar dan berjalan menuruni tangga. Ia sengaja bangun pagi karena ingin membantu mamanya menyiapkan sarapan. Setelah semalaman menangis, mata Aruna terlihat sedikit bengkak. Ia berusaha menyamarkan kedua matanya dengan sedikit polesan di wajahnya. Biasanya Aruna jarang memakai make up, tapi kali ini ia terpaksa memakai make up untuk menyamarkan kedua matanya yang sedikit bengkak. Aruna hanya tak ingin sampai keluarganya bertanya tentang keadaannya saat ini. Sesampainya di dapur, Aruna melihat sang mama yang tengah menyiapkan sarapan bersama dengan asisten rumah tangga keluarganya. "Pagi Ma," sapa Aruna dengan senyuman di wajahnya. “Pagi,” sapa Ines balik sambil menata makanan di atas meja. “Aruna bantu ya, Ma.” “Boleh.” Aruna lalu membantu mama angkatnya untuk menyiapkan s**u hangat untuk semua keluarganya, karena keluarganya selalu minum s**u hangat saat sarapan. Aruna melihat Brian dan papanya yang tengah berjalan menuju meja makan. Ia tau sejak tadi Brian menatap ke arahnya. “Pagi, Pa,” sapa Aruna dengan senyuman di wajahnya. “Pagi, Sayang,” sapa Daren balik, tentu saja dengan senyuman tulus yang selalu ia tunjukan untuk putri cantiknya. Aruna sangat malas menatap wajah Brian. Ia pun tak menyapa Brian. Tapi Brian justru terus menatap Aruna dan tak berpaling sedikitpun, bahkan sampai ia mendudukkan tubuhnya di kursi yang ada di sebelah Aruna. Ines mengambil makanan untuk suaminya dan meletakkannya di depan sang suami. “Terima kasih, Ma,” ucap Daren dengan senyuman di wajahnya. Brian dan Aruna tersenyum melihat keromantisan kedua orang tuanya. Brian diam-diam melirik ke arah Aruna. Pagi ini Aruna terlihat sangat cantik. Aruna tau, kalau sejak tadi Brian sering melirik ke arahnya. Tapi ia tetap bersikap cuek dan seakan tidak mengetahuinya. Ngapain sih dia ngeliatin gue terus? Lama-lama gue cungkil juga itu mata! Tentu saja Aruna hanya berani mengatakan itu di dalam hatinya. Kalau ia mengatakan itu langsung didepan Brian, ia tak yakin akan bisa menjalani hari-harinya dengan tenang dan damai. Sekarang saja hari-hari yang Aruna lalui penuh dengan drama yang Brian lakukan tiap harinya, yang tentunya selalu membuat Aruna merasa sangat kesal. Brian dan Aruna sudah menyelesaikan sarapannya. Mereka lalu beranjak dari duduk mereka dan berniat untuk berpamitan kepada kedua orang tua mereka. “Ma, Pa....” Brian memotong ucapan Aruna. “Brian dan Aruna berangkat dulu Ma, Pa,” pamitnya lalu mencium punggung tangan kedua orang tuanya. Begitu juga dengan Aruna. “Brian, kamu akan berangkat bersama dengan Aruna kan?” tanya Daren sambil melihat ke arah Brian dan Aruna secara bergantian. “Iya, Pa. Kami berangkat bersama,” ucap Brian sambil menatap Aruna. “Ma, Pa. Aruna berangkat ke kampus dulu,” pamit Aruna lagi lalu melangkah pergi dari ruang makan itu. Brian mengikuti Aruna dari belakang. "Aruna tunggu!" Brian bergegas mengejar Aruna yang semakin mempercepat langkahnya. "Aruna! Gue bilang berhenti!" seru Brian lalu menarik tangan Aruna. "Lepasin gak!" teriak Aruna sambil menghempaskan tangannya hingga tangannya terlepas dari genggaman tangan Brian. "Nggak! Gue gak akan lepasin tangan lo sebelum lo maafin gue!" Aruna hanya diam dan menatap Brian dengan geram. "Sekarang lo ikut gue!” Brian menarik tangan Aruna dan menyuruhnya masuk ke dalam mobil. Brian menutup pintu penumpang depan, ia lalu berjalan memutar untuk masuk ke kursi pengemudi. Brian menatap Aruna yang belum memakai sabuk pengamannya. “Pakai sabuk pengaman lo,” pintanya. Dengan kesal dan terus menggerutu Aruna memasang sabuk pengamannya. Brian lalu melajukan mobilnya keluar dari pintu gerbang rumahnya. Ia ingin menyelesaikan masalahnya dengan Aruna. Ia juga tidak ingin masalah dengan Aruna semakin berlarut-larut. Brian telah menyadari kesalahannya. Ia merasa ada yang aneh saat melihat Aruna ketakutan dan menangis seperti kemarin malam. Aruna tetap diam dan tak berbicara sepatah kata pun. Ia memilih untuk terus menatap keluar jendela. Ia tidak tahu kemana Brian akan membawanya, yang jelas jalan yang dilewati mobil Brian bukan jalan menuju arah kampus. “Kak. Kakak mau bawa aku kemana? Ini bukan jalan menuju kampus?” tanya Aruna dengan menatap wajah Brian yang tengah fokus menatap ke depan. “Nanti lo juga akan tau.” “Tapi aku ada kelas pagi, Kak. Aku harus secepatnya sampai kampus.” “Sesekali bolos juga gak apa kan, Na?” “Tapi ....” Aruna menghentikan ucapannya saat melihat tatapan Brian yang tajam. Aruna menghela nafas. “Tau gini tadi aku naik taksi,” gerutunya. “Gue bisa dengar apa yang lo katakan.” “Terserah!” Dengan kesal Aruna kembali menatap keluar jendela. Setelah menempuh perjalanan selama empat jam akhirnya mereka sampai di tempat tujuan. Brian menghentikan mobilnya di sebuah panti asuhan. Aruna sangat terkejut karena Brian membawanya ke panti asuhan tempat ia dibesarkan selama ini. Dimana dirinya sudah lama tak datang ke panti asuhan itu lagi. Betapa dirinya selama ini merindukan semua keluarganya yang ada di panti asuhan itu. "Kak ... ini kan ....” Aruna menatap kedua mata indah Brian. "Turunlah." Brian lalu membuka pintu mobil, lalu melangkah keluar dari mobil begitu juga dengan Aruna. Brian membuka bagasi mobil dan mengambil beberapa kantong makanan dan juga mainan. Ia meminta Aruna untuk membantunya membawa sebagian mainan yang telah ia beli untuk anak-anak penghuni panti. Aruna masih bingung dan penasaran kenapa Brian membawanya kesini. Sudah 13 tahun dirinya tidak pernah datang ke panti asuhan itu lagi setelah ia diadopsi oleh keluarga Baskoro. “Kenapa Kakak membawa aku kesini?” tanya Aruna penasaran. Brian hanya diam. Mereka berjalan menuju pintu, lalu Brian mencoba untuk mengetuk pintu panti asuhan itu. Tak berselang lama pintu mulai terbuka dengan perlahan. "Maaf, anda mencari siapa ya?" tanya wanita paruh baya yang tak lain salah satu pengurus panti asuhan itu. "Saya kesini ingin bertemu dengan ibu kepala panti,” ucap Brian. “Silahkan masuk,” ucap Pengurus panti itu menyuruh Brian dan Aruna masuk ke dalam dan mempersilahkan mereka duduk. Aruna menatap ke seluruh ruangan yang sudah tampak berbeda dari semenjak ia meninggalkan panti asuhan itu. Brian tersenyum melihat senyuman dari wajah Aruna. Ia yakin, Aruna akan sangat bahagia saat berada di panti asuhan. Teruslah tersenyum, Na. Jangan bersedih lagi. Gue melakukan semua ini untuk menebus semua kesalahan gue selama ini ke elo. Tentu saja Brian hanya sanggup mengatakan semua itu di dalam hatinya. “Saya akan memanggilkan Ibu Kepala Panti dulu. Silahkan duduk dan tolong tunggu sebentar,” ucap pengurus panti itu lalu melangkah pergi. Aruna menatap Brian. “Kak, kenapa Kakak membawa aku kesini?” tanyanya lagi. “Anggap aja ini untuk permintaan maaf gue sama lo.” Aruna hanya diam. Ia lalu kembali menatap ke sekeliling ruangan itu. “Sudah banyak yang berubah. Sudah tiga belas tahun aku pergi dari panti asuhan ini,” ucap Aruna sambil menepiskan senyumannya. “Apa lo menyesal sudah pergi dari panti ini dan tinggal sama keluarga gue?” Aruna menggelengkan kepalanya. “Papa dan Mama baik banget sama aku. Aku bisa merasakan bagaimana rasanya mempunyai keluarga yang lengkap. Jadi mana mungkin aku akan menyesalinya,” ucapnya sambil menepiskan senyumannya. Brian hanya diam. Ia lalu menghela nafas panjang. Maafin kesalahan gue selama ini, Na. Gue tau, lo pasti sangat membenci gue selama ini. Tak berselang lama datanglah seorang wanita paruh baya yang bisa di bilang seumuran dengan Ines. Brian dan Aruna beranjak dari duduknya. Mereka menyapa dan menjabat tangannya wanita paruh baya itu. Wanita paruh baya itu menatap lekat ke arah Aruna. Aruna masih bisa mengenali wajah wanita yang sudah membesarkan selama ini. Wanita yang memberinya kasih sayang seorang ibu. Aruna menatap wanita paruh baya itu dengan mata yang berkaca-kaca. "Aruna... kamu Aruna anak Ibu kan?" tanya wanita paruh baya itu dengan kedua mata yang juga berkaca-kaca. Aruna menganggukkan kepalanya. Ia melangkahkan kakinya mendekati wanita paruh baya itu lalu memeluknya. Ia salurkan rasa kerinduannya yang selama ini ia pendam. "Sayang... kamu sudah tumbuh dewasa. Kamu terlihat sangat cantik, Sayang,” ucap wanita paruh baya itu sambil mengusap lembut punggung Aruna. "Aruna sangat merindukan Ibu Vio. Aruna ingin sekali datang kesini, tapi Aruna gak berani. Aruna takut gak akan ada yang mau menerima Aruna lagi disini,” ucap Aruna di sela tangisannya. Ibu Vio melepas pelukannya dan mendudukkan Aruna di sebelahnya. "Siapa yang mengatakan itu semua, Sayang? Kapanpun kamu ingin datang kesini, pintu panti asuhan ini akan selalu terbuka untukmu,” ucap Ibu Vio sambil menyentuh pipi Aruna. "Aruna sangat merindukan suasana di panti ini, suasana ramai dan kebersamaan. Aruna juga merindukan adik-adik. Terutama Ibu Vio. Aruna sangat merindukan Ibu Vio," ucap Aruna dengan senyuman di wajahnya. Ibu Vio mengusap lengan Aruna dengan lembut. “Ibu juga sangat merindukan kamu, Sayang. Adik-adik kamu juga sangat merindukan kamu. Mereka pasti akan sangat senang melihat kamu datang.” Tiba-tiba Aruna teringat akan seseorang yang begitu ia sayangi saat masih tinggal di panti asuhan itu. Dia adalah seorang anak yang bernasib sama seperti Aruna yang dibuang ke panti asuhan itu saat masih bayi. "O ya, Bu. Dimana Qian?" tanyanya kemudian. "Setahun setelah kamu diadopsi oleh keluarga Baskoro. Ada keluarga yang ingin mengadopsi Qian. Mereka berasal dari keluarga yang berada tapi....” "Tapi apa bu?" tanya Aruna penasaran. "Tapi mereka membawa Qian untuk tinggal di New York. Dan semenjak itu kita kehilangan kontak dengan Qian lagi,” ucap Ibu Vio sedih. Air mata membasahi kedua pipi Ibu Vio dan juga Aruna. Qian adalah adik laki-laki kesayangan Aruna. Umurnya 2 tahun lebih muda dari Aruna. Hanya Qian yang selalu menemani Aruna saat ia sedih maupun senang. "Semoga Qian baik-baik saja, Bu. Dia anak yang berhati lembut. Qian selalu ada disaat Aruna sedang sedih, Qian juga yang selalu menghibur Aruna,” ucap Aruna sambil mengingat kenangan saat masih bersama dengan Qian di panti asuhan itu. "Ibu yakin, Qian baik-baik saja. Ibu sudah menyelidiki latar belakang keluarga yang mengadopsinya. Mereka berasal dari keluarga baik-baik. Jadi kamu gak usah cemas, Sayang,” ucap Ibu Vio mencoba menenangkan Aruna. Mereka lama berbincang-bincang. Sebelum pamit pulang Brian dan Aruna membagikan makanan dan mainan untuk anak-anak penghuni panti. Aruna terlihat sangat bahagia. Kerinduannya selama ini telah tersalurkan. Ia menatap Brian dengan senyuman di wajahnya. Ia tidak menyangka Brian sampai berpikiran untuk mengajaknya kesini. Terima kasih, Kak. Aku gak akan pernah melupakan kebaikan kakak ini. Tentu saja Aruna hanya mengatakan itu di dalam hatinya. Bisa besar kepala si Brian kalau Aruna mengatakan itu kepadanya. Brian dan Aruna berpamitan untuk pulang sama Ibu Vio, pengurus panti, dan anak-anak panti. Aruna berjanji kepada Ibu Vio, kalau dirinya akan menyempatkan waktunya untuk datang ke panti asuhan lagi untuk menjenguk anak-anak panti. Ibu Vio memeluk Aruna sebelum Aruna masuk ke dalam mobil. “Jaga diri kamu baik-baik ya, Sayang. Jangan buat kedua orang tua angkat mu kecewa. Buatlah mereka bangga karena telah menjadikan kamu sebagai anggota keluarga mereka.” Aruna menganggukkan kepalanya. “Baik, Bu. Aruna akan selalu mengingat pesan Ibu,” ucapnya dengan senyuman di wajahnya. Aruna dan Brian lalu mencium punggung tangan Ibu Vio. “Kami pulang dulu, Bu,” pamit Brian. Ibu Vio menganggukkan kepalanya. “Nak Brian, Ibu titip putri Ibu—Aruna ya. Jaga dia baik-baik.” Brian menganggukkan kepalanya. “Baik, Bu. Ayo, Na,” ajaknya lalu membuka pintu mobil. Aruna melambaikan tangannya, lalu masuk ke dalam mobil. Brian lalu berjalan memutar dan masuk ke dalam mobil. Ia lalu mulai melajukan mobilnya pergi dari panti asuhan itu. Dalam perjalanan pulang Brian mengajak Aruna ke suatu tempat. “Sebelum pulang, gue mau mengajak lo ke suatu tempat.” “Kemana, Kak?” tanya Aruna penasaran. “Nanti lo juga akan tau.” Setelah satu jam perjalanan, Brian menghentikan mobilnya. Ia lalu meminta Aruna untuk keluar dari mobil. “Sekarang lo ikut gue,” ucap Brian lalu melangkah menuju sebuah jembatan. Kini mereka tengah berada di sebuah jembatan yang terlihat sangat indah karena jembatan itu dipenuhi dengan lampu kerlap-kerlip. Jembatan itu terletak di pinggiran kota dan suasananya sangat hening dan nyaman. Dari jembatan itu mereka bisa melihat keindahan kota saat menjelang malam hari. Mereka juga bisa melihat pemandangan saat matahari terbenam. Brian berdiri di samping Aruna sambil merangkul bahu Aruna. Apa yang Brian lakukan, tentu saja membuat Aruna terkejut. "Maafin gue, Na. Gue tau, kalau selama ini gue sudah memperlakukan lo dengan sangat buruk. Maafin gue karena baru menyadarinya sekarang. Walaupun sudah sangat terlambat, tapi gue tetap berharap lo mau maafin gue,” ucap Brian sambil menatap kedua mata Aruna. “Kak, kenapa sikap kakak hari ini sangat aneh? Apa kakak benar-benar serius dengan ucapan kakak itu?” tanya Aruna sambil mengernyitkan dahinya. Brian menganggukkan kepalanya. “Gue tulus ingin minta maaf sama lo. Gue tau, kalau udah sangat terlambat bagi gue untuk minta maaf sama lo. Tapi gue tetap akan minta maaf sama lo.” Aruna menatap kedua mata indah Brian. “Kakak janji gak akan mengulanginya lagi? kakak akan terima aku jadi adik kakak?” Brian menganggukkan kepalanya. Aruna menarik kedua sudut bibirnya hingga membentuk sebuah senyuman. “Kalau begitu mulai sekarang aku akan memaafkan semua kesalahan kakak.” Aruna sangat bahagia akhirnya Brian sudah mau menerima nya sebagai adiknya, sebagai anggota keluarganya. “Aku juga mau mengucapkan terima kasih sama Kak Brian, karena Kakak sudah mengajak aku ke Panti Asuhan. Selama ini aku memang ingin mengunjungi Ibu panti dan anak-anak panti. Tapi, aku takut bicara sama Papa dan Mama,” ucap Aruna sambil menundukkan wajahnya. Brian menarik Aruna ke dalam pelukannya. “Lain kali, kalau lo mau mengunjungi anak-anak panti lagi, lo bisa ajak gue. Gue janji, gue akan antar lo kesana.” Aruna menganggukkan kepalanya. “Terima kasih,Kak. Terima kasih,” ucapnya sambil membalas pelukan Brian.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD