Setelah kelas berakhir Iren dan Aruna keluar dari kelas. Mereka melewati lorong demi lorong untuk keluar dari area kampus.
Iren ingin mengajak Aruna ke toko buku, karena ada buku yang ingin ia beli.
Sebenarnya ia bisa ke toko buku itu sendiri, tapi ia sengaja mengajak Aruna karena sudah lama mereka tidak pergi jalan-jalan berdua.
"Na... ikut gue yuk,” ajak Iren sambil berjalan di samping Aruna.
"Kemana?” Aruna kini tengah mengirim pesan w******p ke Brian, karena tadi Brian mengajak Aruna untuk pulang bersama.
Aruna hanya tidak ingin sampai Brian kembali marah padanya seperti tadi pagi. Tentu saja Brian marah karena salah paham padanya.
Jadi pulang bareng gak kak? aku tunggu di depan kampus ya.
Aruna mengirim pesan itu ke nomor Brian.
"Ke toko buku, ada buku yang mau gue beli."
Aruna memasukan ponselnya ke dalam tas. “Sorry, gue gak bisa nemenin lo ke toko buku. Gue udah janji mau pulang bareng sama Kak Brian,” tolaknya tak enak hati.
“Lo udah baikan sama kakak lo itu, Na? bukannya tadi pagi kakak lo itu marah-marah gak jelas sama lo?” tanya Iren penasaran.
Aruna hanya diam. Ia lalu mendudukkan tubuhnya di bangku panjang yang ada di depan kampus.
Iren mengerucutkan bibirnya sambil terus menggerutu kesal.
Aruna menghela nafas. "Kalau gue menemin lo ke toko buku, lo mau gue kena semprot kak Brian lagi? Lo tahu kan kak Brian orangnya kayak gimana?”
Iren masih mengerucutkan bibirnya. “Ya udah deh. Gue pergi sendiri aja. Padahal hari ini gue ingin ajak lo jalan-jalan.”
"Sorry ya, Ren, bukan maksud gue gak mau nemenin lo, tapi gue gak bisa berbuat apa-apa kalau sudah menyangkut Kak Brian. Lo kan tau sendiri gimana sifat Kak Brian. Dia gak akan mau mendengar apapun alasan gue, kalau gue ikut lo,” ucap Aruna sambil menepuk bahu Iren.
“Hem... gue ngerti kok. Gue juga gak mungkin maksa lo dan membuat lo dalam masalah,” ucap Iren sambil menepiskan senyumannya.
Terdengar suara klakson berbunyi.
Mobil Brian berhenti tepat di depan Aruna dan Iren. Ia lalu membuka kaca jendela mobilnya. Kedua matanya menatap ke arah Iren dan Aruna.
Iren membungkukkan sedikit tubuhnya untuk menyapa Brian.
“Siang, Kak Brian.”
“Hem.”
Brian lalu menatap Aruna. "Masuk!" pintanya dengan nada dingin.
Aruna menepuk bahu Iren. “Sorry, gue duluan ya. Lain kali, gue pasti akan temani kemanapun lo mau pergi. Tapi sekarang waktunya gak tepat.”
Iren menganggukkan kepalanya.
Aruna lalu membuka pintu mobil dan masuk ke dalam mobil.
Brian mulai melajukan mobilnya meninggalkan Iren.
Di dalam mobil Aruna hanya diam sambil memainkan ponselnya.
Brian tak ingin keheningan ada di antara dirinya dan Aruna. Ia mencoba untuk menghilangkan rasa kecanggungan ini.
"Lo laper gak?” tanya Brian dengan ekspresi datar.
Aruna menggelengkan kepalanya dan masih fokus dengan ponselnya. Ia bahkan tak menatap Brian yang sudah mencoba untuk menghilangkan kesunyian di antara mereka.
Aruna hanya tak ingin berlama-lama bersama Brian. Ia merasa sangat canggung. Selain itu, ia belum terbiasa dengan situasi saat ini.
Karena selama Aruna menjadi anggota keluarga Baskoro Aruna tidak pernah duduk hanya berdua bersama Brian seperti sekarang ini.
Brian orangnya sulit di dekati, setiap Aruna ingin mencoba untuk lebih akrab dengannya Brian pasti selalu menghindar. Ucapan Brian ke Aruna pun tak pernah bersahabat.
"Yakin lo gak lapar?” tanya Brian lagi.
Brian bahkan sampai melirik ke arah Aruna, setelah itu kembali fokus menatap ke depan.
“Ini gue yang traktir lo. Jarang-jarang gue mau traktir lo makan,” lanjut Brian lagi.
"Aku capek, Kak. Aku mau langsung pulang ke rumah. Lagian aku juga mau langsung mengerjakan tugas dari kampus,” tolak Aruna sambil menatap keluar jendela setelah memasukkan ponselnya ke dalam tas.
Brian yang merasa sangat geram, karena Aruna menolak ajakannya. Ia sudah berusaha berbaik hati kepada Aruna tapi Aruna tidak memperdulikannya sama sekali. Karena merasa sangat kesal, Brian langsung melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi.
Aruna yang terkejut sontak langsung mencengkram erat sabuk pengamannya. Tubuhnya mulai gemetar, bahkan sampai keluar keringat dingin dari sekujur tubuhnya.
Aruna terus berteriak agar Brian mengurangi laju kecepatan mobilnya. Tubuhnya semakin gemetar, ia benar-benar merasa sangat takut.
"Kak! berhenti! Aku mohon. Aku benar-benar takut, Kak! berhenti! Aku mohon!" seru Aruna memohon kepada Brian.
Kedua sudut mata Aruna bahkan sampai meneteskan air matanya.
Brian yang melihat Aruna menangis akhirnya mengurangi laju kecepatan mobilnya. Ia tak menyangka, perbuatannya akan membuat Aruna menangis.
“Na, maafin gue.”
Aruna hanya diam. Tubuhnya bahkan masih gemetar. Keringat dingin sudah memenuhi kening Aruna.
Brian mengumpat dalam hati.
Sial! Apa yang sudah gue lakukan! Lo memang bodoh Brian!
Sesampainya di rumah Aruna langsung keluar dari mobil dan berlari masuk ke dalam rumah. Ia bahkan tak peduli dengan Brian yang terus memanggilnya.
Brian keluar dari mobil dan langsung mengejar Aruna.
“Aruna tunggu!” teriaknya keras.
Tapi Aruna tidak menggubris panggilan Brian dan terus berlari menaiki tangga.
Aruna membuka pintu kamarnya. Ia lalu masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu kamarnya. Tubuh Aruna masih gemetar, tubuhnya terkulai lemas di lantai.
Aruna menekuk kedua kakinya, memeluk erat lututnya dan menangis sejadi-jadinya.
Bahkan ia berteriak memanggil papa nya. Karena di saat Aruna teringat akan traumanya di masa lalu, hanya Daren yang bisa menenangkannya.
"Papa!" teriaknya di sela isak tangisnya.
Aruna sangat takut saat mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi, karena sewaktu kecil ia pernah di culik.
Saat itu dirinya dimasukan ke dalam mobil dan mobil itu melaju dengan sangat cepat. Bahkan mobil itu berkali-kali menabrak sesuatu.
Aruna tidak tahu apa yang terjadi setelah itu karena saat dirinya bangun, ia sudah berada di rumah sakit.
Daren dan Ines merasa sangat cemas waktu itu. Terutama Daren, ia begitu takut akan kehilangan putri semata wayangnya.
Putri yang sangat ia sayangi dengan tulus. Meskipun Aruna hanyalah anak angkatnya.
Aruna mengeratkan pelukannya pada kedua lututnya, lalu menenggelamkan wajahnya di antara kedua lutut kakinya. Ia lalu menangis sekencang-kencangnya.
Brian hanya bisa diam berdiri di depan kamar Aruna sambil mendengarkan tangisan Aruna.
Ia merasa sangat bersalah, karena telah membuat Aruna kembali mengingat trauma masa kecilnya.
Ia lupa kalau Aruna mempunyai trauma dengan mobil yang melaju dengan kecepatan tinggi.
Brian menyandarkan tubuhnya di pintu kamar Aruna. Ia terus mengutuk dirinya sendiri dan menyesali perbuatannya.
Lo memang b******k, Brian!
Tapi, Brian tak akan membiarkan Aruna terus menangis. Ia merasa tak tega.
Brian memberanikan diri untuk mengetuk pintu kamar Aruna.
“Na, buka pintunya.”
Tapi tak ada sahutan dari dalam.
Brian tidak menyerah begitu saja, ia mencoba membuka pintu tapi ternyata pintunya terkunci. Tapi ia tak menyerah begitu saja.
Brian terus mengetuk pintu kamar Aruna, sampai Aruna mau membukakan pintu untuknya.
"Na, buka pintunya. Gue minta maaf. Maafin gue. Gue benar-benar lupa soal trauma lo itu. Please buka pintunya.”
Aruna tetap diam terduduk di depan pintu kamarnya. Ia tidak ingin melihat Brian, ia merasa sangat kecewa dengan kakak angkatnya itu.
"Na, bukain pintunya. Ada yang ingin gue omongin sama lo. Tolong buka pintunya,” pinta Brian lagi.
Aruna mencoba untuk berdiri dan menatap ke arah pintu.
"Aku gak mau bicara sama kakak lagi. Aku benar-benar kecewa sama kakak. Aku benci kakak! Aku benci!” teriak Aruna dari dalam kamar.
Brian mengacak-acak rambutnya karena frustasi. Tapi ia tidak akan menyerah sebelum Aruna mau memaafkannya. Ia bahkan masih terus mengetuk pintu kamar Aruna.
“Please, Na. Gue memang salah. Gue minta maaf. Kita bisa bicarakan ini baik-baik.”
“Gak! Kakak pergi dari depan kamar aku! pergi!” teriakan Aruna semakin keras.
Brian menghela nafas panjang. Ia akan membiarkan Aruna sendiri untuk saat ini. Tapi, setelah emosi Aruna mereda, ia akan kembali meminta maaf kepada Aruna.
Brian lalu berjalan menuju kamarnya. Ia masuk ke dalam kamarnya dan membanting tasnya ke lantai.
Ia lalu mengacak-acak rambutnya karena frustasi. Ia benar-benar merasa menyesal dengan apa yang telah dilakukannya pada Aruna.
Brian mengambil ponselnya dari dalam saku celananya dan langsung menghubungi Aruna. Ia berharap, Aruna mau menjawab telepon darinya.
"Ayo angkat dong, Na.” Brian terus berjalan mondar-mandir di kamarnya sambil menyugar rambutnya ke belakang berkali-kali.
Aruna tetap tidak mau mengangkat telepon dari Brian. Ia mengambil ponselnya dari dalam tas dan melemparkannya ke atas ranjang.
"Sial!" teriak Brian sambil melemparkan ponselnya ke atas ranjang.
Brian menjatuhkan tubuhnya ke sofa. Ia lalu menyandarkan tubuhnya ke punggung sofa sambil menatap langit-langit kamarnya.
"Maafin gue, Na. Gue gak bermaksud untuk membuat lo ingat akan trauma masa kecil lo. Gue benar-benar minta maaf."
Brian meremas rambutnya dengan kedua tangannya sambil menundukkan kepalanya. Ia benar-benar menyesali perbuatannya.
Gue akan lakukan apa aja asal lo mau maafin gue, Na. Gue janji, gue gak akan melakukan itu lagi.
Sedangkan di dalam kamar, saat ini Aruna tengah duduk di tepi ranjang. Ia lalu menghapus air matanya yang terus mengalir tiada henti.
Ia tidak menyangka Brian akan melupakan tentang trauma masa kecilnya, hingga tega melakukan itu padanya.
“Kenapa kakak tega melakukan ini sama aku? kenapa, Kak? sebegitu bencinya kah kakak sama aku? padahal selama ini aku selalu menganggap kakak seperti keluargaku sendiri. Selama ini aku bahkan berharap, kakak akan mau menerimaku menjadi anggota keluarga ini.”
Aruna lalu beranjak dari duduknya, melangkah ke kamar mandi untuk mencuci mukanya. Setelah ini, ia ingin tetap berada di dalam kamarnya, karena ia tak ingin bertemu dengan Brian.
Setelah mencuci mukanya, Aruna melangkah keluar dari dalam kamar mandi. Ia merasakan cacing dalam perutnya sudah mulai berdemo dan minta untuk segera di kasih makan.
“Perut gue lapar banget lagi. Tapi kalau gue keluar kamar sekarang, pasti bakalan ketemu sama Kak Brian.”
Aruna lalu melangkah menuju pintu kamarnya. Ia lalu membuka pintu kamarnya secara perlahan. Ia lalu mencondongkan kepalanya keluar dan melihat ke arah kamar Brian.
Pintu kamar Brian tertutup rapat.
Aruna lalu dengan perlahan keluar dari kamarnya. Ia lalu berjalan mengendap-endap menuju tangga, menuruninya satu persatu.
Semoga gue gak bertemu dengan Kak Brian.
Aruna lalu melangkah menuju dapur. Ia melihat asisten rumah tangga keluarganya yang tengah mencuci peralatan dapur yang kotor.
“Bik,” panggilnya.
Wanita paruh baya itu mematikan kran wastafel, ia lalu membalikkan tubuhnya menghadap ke arah Aruna.
“Iya, Non. Ada yang bisa Bibik bantu?”
“Bibik lanjutkan aja pekerjaannya, aku cuma mau makan kok, Bik,” ucap Aruna dengan nyengir kuda.
Wanita paruh baya itu menganggukkan kepalanya dan kembali melanjutkan pekerjaannya.
Aruna menarik salah satu kursi meja makan, lalu didudukinya. Ia lalu mengambil makanan dan dimasukkan ke atas piring kosong yang ada di depannya.
Lebih baik aku makan sekarang. Takutnya keburu Kak Brian turun lagi.
Aruna lalu mengambil satu sendok makanan dan dimasukkan ke dalam mulutnya.
Tapi, Aruna mendengar suara langkah kaki mendekat. Ia lalu menghentikan gerak tangannya dan menoleh ke belakang.
“Mama!” Aruna mengusap dadanya yang berdebar-debar karena terkejut.
Ines mengernyitkan dahinya melihat tingkah Aruna. “Kenapa kamu begitu terkejut saat melihat Mama?”
“Em... gak kok, Ma,” ucap Aruna sambil nyengir kuda.
Ines lalu mengambil piring kosong, lalu diisi makanan.
“Makanan itu buat siapa, Ma?” tanya Aruna penasaran.
“Kakak kamu. Na, kamu tau apa yang terjadi sama kakak kamu?”
“Memangnya Kak Brian kenapa, Ma?”
“Kakak kamu kayak lagi ada masalah. Bukannya kamu tadi pulang bareng sama kakak kamu? apa kamu tau apa yang terjadi sama kakak kamu?”
Aruna menggelengkan kepalanya. “Aruna gak tau, Ma. Tadi Kak Brian baik-baik aja kok.”
Aruna memilih untuk melanjutkan makannya.
Ines menghela nafas. “Ya sudah, kamu habiskan makanan kamu. Mama mau mengantar makanan ini ke kamar kakak kamu dulu,” ucapnya lalu membawa nampan yang berisi sepiring makanan dan segelas air putih dan melangkah keluar dari ruang makan itu.
Aruna menghela nafas lega. “Seharusnya gue yang marah. Tapi kenapa malah Kak Brian yang dalam masalah sih! aneh.”
Aruna yang sudah menyelesaikan makannya langsung bergegas keluar dari ruang makan itu. Ia ingin kembali ke dalam kamarnya dan mengistirahatkan tubuhnya.
Aruna merebahkan tubuhnya ke atas ranjang, lalu menatap langit-langit kamarnya.
Dasar anak manja! Makan aja harus disiapin!