Kau Sakit?

1072 Words
Hai, Geno, bagaimana kabarmu? Apakah kau sudah membaca semua surat yang aku tulis untukmu? Aku sudah memutuskan untuk mengunggah semua kisah kita ke dalam aplikasi menulis daring, karena aku ingin semua orang tahu dan sadar serta berhati-hati dengan jenis orang sepertimu. Bagiku sudah cukup aku saja yang mengalami nasib seperti ini, aku tidak ingin ada orang lain yang mengalami nasib yang sama. Kau menyeretku masuk ke dalam neraka yang lebih dalam lagi. Aku saat itu masih egois, belum sadar jika kau membawaku terjun ke palung terdalam yang membunuhku secara perlahan. Aku yang kau minta untuk memaklumi kebiasaan buruk meminum alkohol saat berada dalam masalah, semakin lama terasa semakin menyebalkan. Belum cukup kau mengomel kepadaku sambil dalam keadaan setengah mabuk, suatu hari kau mengabariku jika saat ini kau sedang sakit dan tidak bisa pergi ke dokter seorang diri. Beruntung hari itu aku sedang jaga pagi di tempat kerja, aku mengabari bahwa sore hari sepulang kerja aku akan datang berkunjung dan mengantarmu pergi ke dokter. Aku yang belum pernah bertemu dengan seorang laki-laki sendirian, mengambil keputusan nekat datang ke tempatmu karena khawatir kau mengalami sesuatu yang buruk. Lebih buruk lagi, kau tidak memiliki seorang pun yang ada di sisimu saat ini. Tanpa keluarga, tanpa saudara, tanpa sahabat, keadaanmu sangat mengenaskan saat ini. Hal itu membuatku tidak tega jika harus membiarkanmu tersiksa seorang diri kala sedang sakit seperti hari itu. Pukul dua siang, tepat setelah piket jaga apotek berakhir, aku yang biasanya masih menghabiskan waktu mengobrol dengan rekan-rekan kerja di sana, segera meninggalkan apotek untuk menuju ke tempatmu. Tanpa bersolek, tanpa mandi, masih bau keringat dengan wajah yang kusut, tanpa pulang ke rumah terlebih dahulu, masih mengenakan pakaian kerja yang sudah menempel di badanku sejak pagi, aku langsung pergi ke kota sebelah yang berjarak sekitar setengah jam demi menghampirimu. Aku yang memang tidak tahu di mana kau tinggal saat ini, memintamu untuk memberikan petunjuk arah. Awalnya kau membagikan lokasi terkini lewat aplikasi pesan singkat, namun saat sudah cukup dekat dengan tempat tinggalmu, aku menghubungimu lagi karena tidak bisa membaca peta dengan benar. Konyol memang, saat kemampuan membaca petaku tidak bisa diandalkan, aku nekat datang ke tempatmu padahal aku bisa tersesat. Beruntung kala itu kau memberikan petunjuk arah dengan sabar lewat panggilan telepon hingga aku tiba di sebuah rumah kost dua lantai yang terletak di tengah kota. Saat aku mengabarimu jika sudah berada di depan, kau memintaku segera masuk ke kamar yang sesuai dengan nomor kamar yang sudah kau bagikan kepadaku. Entah kenapa, saat itu aku tidak memiliki pikiran buruk sama sekali. Aku menganggap kau adalah orang baik, seorang Geno yang sayang padaku dan tidak akan berbuat macam-macam terhadapku. Saat masuk ke dalam kamar kostmu, badanku seketika gemetar. Bagaimana tidak, kondisi kamarmu sangat berantakan, botol minuman keras dan asbak yang penuh dengan puntung rokok berserakan di mana-mana. Kau seakan tidak peduli dengan kebersihan kamarmu sendiri. Pantas saja jika keadaan badanmu semakin memburuk dari hari ke hari. Setelah membukakan pintu untukku juga kau langsung melompat ke atas tempat tidur dan kembali memainkan ponsel, membiarkanku termenung sendiri dengan keadaan kamarmu yang menurutku sangat tidak layak huni. Bahkan kau tampak tidak acuh dengan beberapa pakaian tidak sopan yang tergeletak di sembarang tempat, padahal kau akan kedatangan seorang perempuan, tidak seharusnya pakaian-pakaian seperti itu terpampang di depanku. Aku menghela nafas panjang, lalu mengambil satu persatu pakaian yang berserakan dan menaruhnya di keranjang kosong yang berada di pojok kamar. Aku juga membersihkan puntung rokok yang berserakan, lalu menaruhnya di tong sampah kecil yang ada di luar kamar. Aku juga membersihkan semua sampah yang berserakan, merapikan botol-botol bekas minuman keras ke pojok kamar, lalu menyapu debu-debu yang menempel di lantai. Setelah itu, baru kamarmu tampak lebih layak huni daripada sebelumnya. Sayangnya, aroma rokok tidak tidak kunjung hilang meski semua sampah sudah dibuang. Aku rasa aroma itu menempel di gorden dan dinding kamar yang susah untuk dihilangkan. Aku menatapmu kesal dari sebelah tempat tidur, melihatmu yang masih terbaring sambil memainkan ponsel. Menyadari kehadiranku, kau melirik ke arahku sambil mengukir senyum polos yang tampak seperti anak kecil yang kegirangan saat didatangi oleh orang yang disayang. Aku membiarkan pintu kamar terbuka untuk menghindari fitnah, aku tidak ingin dituduh melakukan sesuatu yang dilarang oleh norma karena berada satu ruangan berdua dengan laki-laki yang bukan suamiku. Saat itu kau tampak pucat, bibirmu kering dan pecah-pecah, terlihat jelas jika kau sedang tidak baik-baik saja. Kau merengek kepadaku dengan memanggil namaku beberapa kali, namun aku masih tetap berdiri di samping kasur, tidak mengindahkan rengekanmu. Kau bercerita jika di hari itu kau sedang tidak memiliki selera makan yang bagus, sehingga kau belum mengonsumsi apapun sejak pagi, padahal saat ini matahari sudah mulai condong ke arah barat. Sambil mendengus kesal, aku marah sambil air mata sedikit menggenang di kelopak mataku. Aku sangat tidak suka dengan orang yang tidak peduli dengan keadaannya sendiri, padahal di luar sana banyak orang yang bersusah payah ingin bertahan hidup. Kau yang memiliki nasib bagus dan sanggup membeli makan, malah menyia-nyiakan kesempatan itu. Masih dengan kesal, aku segera keluar dari kamar kost dan membeli nasi bungkus untuk kau makan. Tidak lupa juga aku membeli beberapa obat pereda nyeri dan multivitamin untuk menunjang kesehatanmu. Aku ingin meminta maaf kepadamu, Geno, saat itu aku tidak bisa membelikan makanan yang lebih mewah, hanya sebuah nasi bungkus sederhana. Mungkin saat sedang sehat atau di Surabaya, kau terbiasa mengonsumsi makanan yang lebih layak daripada yang aku berikan saat itu. Kau tahu? Ada rasa kesal yang kau tunjukkan kepadaku saat aku menyerahkan plastik berisi nasi bungkus dan obat-obatan itu kepadamu. Mungkin kau tidak menyukai apa yang aku berikan, aku tidak tahu itu. Tidak ada keberanian di dalam diriku untuk bertanya lebih lanjut, karena aku berpikir mungkin kau akan marah padaku. Ada rasa terpaksa yang aku tangkap dari caramu melahap makanan yang aku berikan. Hanya sedikit, kemudian kau bilang jika perutmu sudah tidak sanggup dimasuki makanan lagi. Padahal sebelumnya kau bilang bahwa kau belum makan sejak pagi. Aku sedih, aku ingin marah saat itu terhadapmu. Aku merasa tidak kau hargai, padahal aku sudah bersusah payah membelikan makanan. Kau saat itu bahkan tidak peduli, aku yang sedang lelah karena baru pulang kerja, wajahku yang lusuh karena sejak pagi selalu menghadapi pembeli yang bawel, kau tambah dengan sikap manja yang tidak seharusnya kau tunjukkan padaku. Jika memang kau tidak sehat, setidaknya tunjukkan sedikit sikap menghargai! Sayangnya, saat itu aku masih belum berani meluapkan emosi kepadamu, aku bahkan harus tetap memaklumi sikapmu yang kekanak-kanakan itu. Aku menyesal, menyesal pernah bersama dengan orang yang tidak pernah belajar sepertimu!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD