Cepat Sembuh, Ya...

1045 Words
Hai, Geno, apa kabar hari ini? Semoga kau di sana tidak sedang berpura-pura menderita dan mencoba mengadali perempuan lain. Aku tidak ingin ada orang lain yang menderita sepertiku. Cukup aku saja, orang yang berhasil kau hancurkan. Aku tahu, apapun yang kau lakukan untuk seorang perempuan, sejatinya hanya untuk memuaskan ego dan pride yang ada di dalam dirimu. Kau mungkin bisa berdalih bahwa semua yang kau lakukan itu demi kebahagiaan si perempuan dan juga demi kelangsungan hubungan, namun semakin kau menolak fakta jika kau adalah orang yang merusak perempuan, semakin kau tersiksa dengan apa yang ada di dalam pikiranmu. Lalu di sini, aku akan kembali menceritakan bagaimana caramu memanipulasi semuanya, dimulai dari ketika aku ada di kamar kosmu. Selepas makan, meskipun makanan itu tidak dapat kau habiskan karena berdalih bahwa perutmu tidak sanggup menampung lebih banyak makanan lagi, kau merengek dan berkata kepadaku jika kau tidak ingin meminum obat yang kuberikan. Rengekan yang tampak seperti anak kecil itu jelas saja membuatku kesal, namun kau harus merasa beruntung karena aku tidak meluapkan kekesalanku di sana. Seharusnya saat itu kau dapat melihat dengan jelas bagaimana raut wajah kesal dan tatapan tidak suka terhadap apa yang kau lakukan, namun sepertinya dengan sadar kau menampik dan berlagak seakan tidak mengetahuinnya. Saat itu aku berpikir, mungkin faktor kondisi badanmu yang tidak sehat itulah yang membuat kau bersikap manja secara berlebihan. Namun saat ini, di saat aku menulis surat ini, aku akhirnya sadar jika kau melakukan itu dengan sengaja karena ingin mengambil kendali terhadapku. Kala itu, dengan polos aku menasehatimu untuk lebih menyayangi dirimu sendiri, lebih peduli terhadap badanmu, dan bisa mengurus diri sendiri karena kau sedang berada di perantauan. Aku bilang jika kau harus kuat, kau harus bisa membuktikan kepada orang tuamu jika kau di sini bisa berkembang menjadi seorang pribadi yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Tapi apa jawabanmu kala itu? Apa kau lupa dengan perkataanmu? Aku? Aku sama sekali tidak lupa, Geno. Kalimat yang kau berikan kepadaku masih terngiang di telinga hingga kali ini. Kau menjawab jika kau tidak butuh mengurus diri sendiri secara berlebihan, karena di sini ada orang yang sangat mencintaimu dan mau membantu mengurus kebutuhanmu. Aku mengatakan itu dengan mata berbinar sambil berguling-guling manja di atas tempat tidur sementara aku di tengah pintu masuk kamarmu. Aku tidak berani melangkah lebih jauh, aku takut akan timbul fitnah di antara kita. Bodohnya aku saat itu, aku justru tersipu mendengar kalimat busuk yang keluar dari mulutmu. Harusnya kala itu aku sadar, jika perkataanmu mengisyaratkan bahwa kau malas mengurus diri sendiri dan ingin menggantungkan hidup kepada orang lain. Dalam kasus ini, orang lain itu adalah aku. Kau yang bertingkah manja seperti anak kecil sambil berkata dengan bahasa bayi yang sengaja kau cadelkan, membuatku tertawa geli saat itu. Entah kenapa, tingkahmu waktu itu terlihat sangat lucu di mataku. Mungkin karena aku tidak memiliki pengalaman berhubungan dekat dengan lelaki sebelumnya, sehingga sikap yang kau tunjukkan terlihat wajar di mataku. Namun tetap saja, aku harus memaksamu meminum obat dan multivitamin agar kondisi badanmu segera pulih. Akhirnya dengan sedikit cemberut, kau mengambil obat yang tergeletak di samping kasur setelah tidak berhasil membujukku untuk mengambilkan obat itu untukmu. Saat itu, mungkin sebenarnya kau benar-benar marah karena aku tidak bersedia kau suruh, namun aku menganggap sikapmu waktu itu hanya bercanda dan kau tidak benar-benar marah padaku hanya karena urusan sepele seperti itu. Geno, tahukah kau jika saat itu aku merasa sangat bahagia meski sempat merasa kesal kepadamu? Apa kau tahu apa yang membuatku bahagia kala itu? Aku sangat bahagia saat melihat keadaanmu jauh lebih baik setelah kehadiranku di sana. Aku merasa bangga kepada diriku, karena berhasil mengurus orang lain yang sangat aku sayangi. Aku juga bangga bisa berguna untukmu. Saat itu aku berpikir, seperti ini rasanya menjadi seorang istri. Ya, perhatian sederhana yang kita lakukan saat itu, membuat pikiranku melayang jauh sambil melihatmu yang masih tetap bertingkah sok imut. Aku sudah membayangkan kita berumah tangga, tinggal di sebuah rumah sederhana dengan dua anak, dan kita hidup bahagia di sana. Namun saat ini, aku merasa jijik dengan diriku sendiri yang terlalu mudah luluh hanya dengan perhatian kecil seperti itu. Aku luluh hanya karena kau memintaku datang. Kau berhasil merebut hatiku dan membawanya lari jauh, lalu meninggalkanku di sini hanya dengan menyisakan badan tanpa hati yang bisa kau kendalikan sesuka hatimu. Tanpa sadar, langit sudah berubah menjadi jingga tanda matahari akan segera tenggelam. Aku terhanyut dengan suasana manis yang tercipta di antara kita meski dalam keadaan yang kurang menyenangkan karena kau sedang sakit. Ponselku tiba-tiba berdering di sela perbincangan basa basi yang tercipta di antara kita. Ketika aku melihat layar ponsel, rupanya Ayahku menelponku karena aku belum pulang sejak jam kerjaku berakhir. Geno, apakah kau ingat apa yang aku lakukan saat itu? Aku rasa tidak, karena kau tidak peduli dengan orang lain. Saat itu berbohong kepada Ayahku dengan berkata jika saat ini aku sedang ada keperluan di kota sebelah karena urusan pekerjaan. Padahal, aku sedang menjengukmu hingga lupa waktu. Saat aku ingin pulang, kau masih sempat mencegahku. Kau memintaku untuk tetap ada di sana menemanimu hingga kau merasa lebih baik lagi. Tidak tega rasanya aku harus meninggalkanmu yang sedang membutuhkan orang lain seperti saat itu, tapi aku harus tetap pulang karena waktu sudah semakin sore. Kau lagi-lagi mencegahku saat aku akan beranjak. Kau bahkan sampai turun dari tempat tidur dan menyusul langkahku dengan wajah sayu seakan tidak rela jika aku harus pergi dari rumah kostmu. Sambil menahan langkahku, kau berkata kepadaku jika aku benar-benar menyayangimu maka aku akan tinggal dan menemanimu, setidaknya hingga jam malam mulai berlaku. Betapa polosnya aku saat itu, bukannya marah, aku justru menggenggam tanganmu sambil tersenyum dan meminta maaf, karena aku tetap harus pulang. Aku berpesan kepadamu, kau harus rajin makan dan minum obat agar kondisi badanmu segera pulih dan kau bisa kembali masuk kerja. Setelah itu, dengan berat hati kau melepaskan tanganku dan akhirnya aku bisa pulang dari tempatmu. Geno, sadarkah kau dengan apa yang kau perbuat saat itu? Kau menahan perempuan yang tidak tahu dunia luar agar tetap di sana, padahal perempuan itu dicari oleh orang tuanya. Kau seharusnya sadar diri, kau bukan siapa-siapa bagi perempuan itu dan hanya orang lain. Kau belum memiliki hak apapun terhadap perempuan itu, tetapi kau bersikap seolah-olah memiliki kewenangan untuk mengatur. Jika mengingat betapa polosnya aku saat itu dalam menghadapimu, rasanya ingin aku mengutuk diriku sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD