Kau Salah!

1064 Words
Geno, apa yang kau pikirkan ketika melihat seseorang yang kau sayang berada di dalam neraka? Kau akui jika kau menyayangi orang itu, tetapi justru kau menenggelamkan orang yang kau sayangi semakin dalam ke dalam kerak neraka. Apa kau sadar?! Apa kau sadar?! Kau seharusnya mengaca! Kau harusnya malu pada dirimu sendiri! Kau berdalih semua yang kau lakukan demi cinta, tapi nyatanya apa? Semua yang kau lakukan serta merta hanya demi ego yang tidak ingin kau turunkan di depanku! Ah sial, lagi-lagi aku harus menggerutu sambil menulis kisah kita, karena tidak kuasa harus selalu menahan emosi setiap kali menorehkan kata demi kata. Meski terkadang aku menulis sesuatu yang menyenangkan, menggembirakan, terkesan seakan aku sedang berada di dalam sebuah utopia, namun di saat bersamaan aku juga merasa sedih, marah, dan kecewa kepada diriku sendiri di masa lalu. Bagaimana bisa aku terjatuh dan terjebak dengan tipu daya buaya busuk sepertimu? Aku tetap tidak habis pikir dengan diriku sendiri. Utopia yang aku rasakan denganmu mulai luntur seiring waktu yang kita jalani bersama semakin panjang. Dari hari ke hari, aku semakin sadar jika apa yang kau tampilkan di awal perkenalan kembali kita, setelah kita tidak berkomunikasi selama satu tahun, hanyalah topeng belaka. Awal mula aku sadar jika semua itu topeng adalah ketika suatu hari, kau bercerita kepadaku jika kau mendapat kabar yang tidak menyenangkan dari rumah. Kabar itu mengatakan jika Ayahmu menginginkan kau untuk kembali ke Surabaya, entah apa alasannya. Saat kau bertanya kepada ayahmu, Beliau hanya mengatakan bahwa kau sebagai seorang anak tidak perlu tahu urusan orang dewasa dan hanya ditugaskan untuk berbakti dan menurut kepada orang tua. Seharusnya Ayahmu sadar, sudah sejak lama kau tidak pernah berbakti kepada Ayah dan Ibumu karena kau berpikir jika mereka tidak pantas untuk dibakti. Mendengar hal itu jujur saja membuatku merasa miris, karena bagiku, seburuk-buruknya Ayah dan Ibu kita, mereka tetap orang tua yang melahirkan dan merawat kita sejak lahir hingga memiliki logika berpikir seperti sekarang. Sayangnya, saat itu aku merasa tidak memiliki hak untuk berkomentar lebih lanjut terhadap semua hal yang kau keluhkan padaku. Aku hanya bersikap selayaknya pendengar yang baik dan pendukung yang baik atas semua yang kau lakukan, karena aku sangat paham jika seorang Geno yang kini berstatus sebagai kekasihku adalah lelaki manja yang butuh dukungan mental serta pendampingan. Meski bukan seorang ahli atau konselor, tapi aku mau mencurahkan tenaga dan pikiran untuk membuatmu lebih baik. Kenapa? Karena selain perasaan bersalah, aku pun mulai merasakan benih-benih rasa sayang yang tumbuh di dalam hatiku. Ladang bunga yang sempat kering, kini mulai tumbuh subur sejak kau kembali dan menyatakan niat untuk berkomitmen serius denganku. Sayangnya, sesekali air yang kau gunakan untuk menyiram bukanlah air bersih yang sehat untuk pertumbuhan bunga-bunga di ladang hatiku, melainkan air bercampur racun yang membuat bunga-bunga lucu itu menjadi berada di antara hidup dan mati, di mana bunga-bunga itu terasa seperti hidup enggan mati tak mau. Aku terus saja mendengar keluhanmu. Keluhan yang semakin hari terdengar semakin parah dan semakin besar, seakan-akan masalah yang terjadi di hidupmu tidak pernah usai. Setiap hari aku menahan diri agar sanggup mendengar semua cerita sampah yang selalu kau ulang untuk mendulang rasa simpati dariku. Sayangnya, saat itu aku benar-benar payah, aku jatuh ke dalam jebakan tikus yang kau sebar di depanku. Rasa simpati dan empati yang tidak seharusnya timbul, justru tumbuh subur menggantikan bunga kasih yang seharusnya memenuhi rongga hatiku. Aku sudah berusaha memberikan nasehat dan masukan semampuku, tapi selalu saja tidak kau dengar. Segala cara sudah aku coba agar nasehat yang aku berikan bisa benar-benar masuk ke dalam pikiran terdalammu, namun selalu saja telingamu tertutup untuk kalimat-kalimat yang keluar dari mulutku. Namun jika aku tidak memberikan komentar terhadap kalimatmu, kau protes dan menganggapku tidak peduli kepadamu. Hal serupa terjadi ketika aku memberikan masukan yang kontra terhadap kalimatmu, kau langsung menghakimi dan mengatakan jika aku lebih mendukung orang-orang di rumahmu daripada kekasihku sendiri. Jujur, saat kau mengatakan hal itu, hatiku rasanya sakit sekali. Namun aku tidak bisa berbuat apapun, karena aku harus sadar diri jika kau adalah orang yang lebih membutuhkan perhatian daripada aku sendiri dan aku harus bersikap seperti sedang merawat bayi besar daripada sekadar menemani seorang lelaki mengarungi kehidupan. Hingga ada satu hari di mana kau berdrama besar denganku. Awalnya, aku sedikit malas menghadapi drama darimu karena aku sangat yakin jika pola yang kau gunakan selalu berputar dan berulang. Tapi rasa bersalah yang sangat besar yang hingga saat itu masih melekat di hatiku membuatku mau tidak mau harus tetap melayani semua ketidakjelasan yang kau lakukan. Namun ada satu hal yang sangat aku sayangkan, Geno, ini adalah kali pertama traumaku kembali terpantik oleh orang yang sama. Aku masih sangat mengingat bagaimana liciknya seorang Geno mempermainkan pikiranku. Seperti biasa, tiada hari tanpa mengeluh. Namun keluhan kali ini sangat menyakitkan untukku. Keluhanmu kau mulai dengan keadaan orang tua yang kita sudah sama-sama tahu seperti apa, tapi tiba-tiba kau mengirimkan sebuah foto yang membuat tanganku bergetar hebat. Foto itu adalah pemandangan yang sama sekali tidak ingin aku lihat. Kau mengirimkan foto satu botol minuman beralkohol sedang yang aku yakin jika kau meminum itu sendirian maka kau akan mabuk. Aku marah, aku sangat marah padamu! Kau berkata jika kau saat ini sudah tidak melakukan perbuatan terlarang itu! Tapi apa yang aku lihat saat itu?! Dengan bangganya kau memamerkan botol minuman keras! Apakah hal itu patut kau tunjukkan kepadaku? Kepada orang yang kau bilang sangat kau cintai ini?! Tidak, Geno! Seharusnya, jika kau benar-benar sayang kepadaku, kau harus bisa menunjukkan keseriusanmu untuk tidak mengulangi perbuatan itu lagi! Saat itu, aku ingin membahas lebih lanjut tentang minuman keras yang kau tunjukkan kepadaku. Tapi tidak, aku tidak memiliki keberanian untuk mengungkit masalah di saat keadaan sedang tidak baik-baik saja. Lihatlah, Geno, dalam keadaan seperti itu pun, aku masih memikirkan perasaanmu. Tapi sayang, orang sepertiku kau sia-siakan. Belum sempat aku protes terhadapmu, kau seolah sudah mengetahui apa yang ingin aku katakan. Sebelum aku mengucapkan sesuatu, kau sudah terlebih dahulu memblokir akses untukku menyanggah apapun yang akan kau katakan. Kau berkata bahwa aku harus memahami keadaanmu, aku harus bisa mengerti penderitaanmu karena aku adalah kekasihmu. Kau berkata jika aku harus selalu mendukung dan tidak pernah melarang apapun yang ingin kau lakukan, karena aku tidak pernah mengerti bagaimana perasaanmu. Geno, kau salah! Kau salah jika mengeluarkan kalimat aku tidak mengerti apapun perasaanmu! Kau salah! Aku sangat mengerti, Geno. Hanya saja, kau selalu menutup mata dan hanya peduli terhadap diri sendiri. Kau selalu berpikir jika dunia hanya berputar di sekelilingmu!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD