Teman Di Kala Senggang

1318 Words
Geno-ku Sayang, orang yang paling aku sayang kala itu. Tapi sebelum kau menjadi orang yang sangat kusayangi, ada sebuah kisah lucu, di mana sesuatu yang tampak dan terasa biasa, menjadi sebuah cerita istimewa yang bisa menghiasi hari dan menaburi setiap detik yang aku lalui dengan benih-benih manis yang dapat meledak menjadi bom asap penuh warna yang indah. Berlebihan? Ya, mungkin, tapi itulah yang mulai aku rasakan ketika semakin dan semakin akrab denganmu, Geno. Bermula dari pesan teks dan ketikan, lalu berlanjut ke pesan suara, lalu kita terbiasa saling berkabar dan membalas pesan dan menghabiskan waktu senggang dalam panggilan telepon. Saat ini, aku masih belum melihat wajahmu secara langsung, begitu pula denganmu yang belum menyaksikan paras luguku secara langsung. Mungkin ketika kita saling mengenal, kita harus merasa beruntung karena bisa melihat lawan bicara secara langsung meski hanya melalui panggilan video. Aku hanya membayangkan, jika kita saling mengenal dua puluh tahun lalu di mana kehidupan belum semudah sekarang, kita mungkin hanya saling mengenal melalui saling balas surat yang kita dapatkan melalui surat kabar harian. Tapi sekarang, kita bisa melakukan panggilan video jika kita ingin. Sayangnya aku belum siap, belum siap jika harus melihatmu memandangku meski hanya melalui layar ponsel, belum siap melihat tatapan mata hangatmu secara langsung, belum siap mendengar kalimatmu ketika mengetahui bagaimana parasku dari balik ponsel. Sempat beberapa kali kau menawarkan diri untuk melakukan panggilan video ketika kita tengah berbincang di dalam telepon, saat itu juga aku dengan sigap menolak panggilan video itu sambil berteriak histeris dan hal itu membuatmu tertawa kegirangan. Entah kenapa, kau sangat suka menggangguku. Jiwa iseng di dalam dirimu seperti bangkit dari kubur setiap kali kita sedang berbincang di telepon, selalu ada saja hal yang membuatku kesal setiap hari karena tingkah mengesalkan darimu. Tapi entah, ada rasa aneh yang bersemi di pikiranku ketika tidak ada keisengan yang kau lakukan terhadapku. Memang kesal, memang terkadang aku marah, tapi ada rasa rindu yang menjadi candu ketika kau hanya bersikap baik ketika kita sedang bertukar suara. Di masa sekarang saat aku mengingat hal itu lagi, ada pertanyaan besar di dalam benakku. Aku mencoba menarik mundur kenangan saat baru memulai kebiasaan baru bersamamu, lalu bertanya kepada diri sendiri, apa sebenarnya yang aku cari darimu? Padahal tidak ada cerita istimewa yang kau bagikan kepadaku. Tapi entah, cerita sehari-hari darimu mampu membuat candu. Rasanya ada sesuatu yang kurang saat tidak ada kabar darimu, Geno. Hei kau pria tampan dengan tutur kata lembut yang menghanyutkan! Apakah kau masih ingat dengan rinci, cerita-cerita yang kau bagi kepadaku? Ya, cerita-cerita biasa yang sama sekali tidak istimewa itu. Cerita tentang betapa menyebalkannya rekan satu band yang terlambat datang ke studio, yang membuatmu marah hingga meluapkan umpatanmu padaku. Apakah aku marah ketika kau mengumpat dengan sedikit kasar kepadaku? Tidak, Geno, saat itu aku tidak marah. Andai saja waktu itu aku tidak egois, tidak terbuai dengan tutur lembut yang keluar dari mulut manismu, maka saat itu juga aku akan mengambil langkah mundur sehingga tidak masuk lebih dalam denganmu. Andai saja saat itu aku tidak naif menganggap u*****n yang kau ucapkan adalah hal biasa, aku tidak akan menjadi seperti sekarang ini. Bukan, Geno, bukan maksudku untuk bercerita jika saat ini aku sedang hancur, sama sekali bukan. Aku bersyukur, hari ini aku bisa tumbuh menjadi perempuan kuat yang bisa menghadapi dunia luar seorang diri dan semua itu berkat campur tangan darimu. Tidakkah kau bangga, Geno? Tidakkah kau bangga dengan pencapaianku? Mungkin jika kau bertemu denganku di masa sekarang, kau akan berlutut memohon agar dapat kembali mengarungi bahtera kehidupan bersamaku. Tapi maaf, Pria Tampan, aku tidak ingin kembali ke luka lama. Aku tahu kau sangat tampan, banyak wanita yang akan jatuh hati pada wajah teduh yang kau miliki. Tapi jika kau masih sama seperti dahulu, aku tidak yakin mereka akan bertahan bersamamu, kecuali wanita itu memiliki sifat yang sama denganmu. Sayangnya di masa itu, aku tidak tahu jika kau adalah seorang bendera merah yang berkibar dengan gagah di udara. Sifat polos dan naif menampikkan fakta di depan mata jika seorang Geno sejatinya adalah pria yang… belum dapat aku bahas di sini. Intinya, kala itu hatiku sedang berbunga-bunga. Bukan hanya berbunga, taman bunga yang ada di hatiku terus saja kau sirami setiap hari yang membuatnya tetap mekar dan terjaga segar. Canda tawa, cerita sehari-hari, serta keluhan tentang bagaimana rumitnya keadaan di rumahmu seakan menjadi pupuk yang menjaga taman bunga di hatiku terus saja mekar. Sebuah taman bunga yang subur bukanlah taman yang tidak pernah diserang hama dan dilanda kekeringan. Taman subur pun pernah mengalami masa sulit, di mana musim kemarau melanda sehingga air sangat sulit didapatkan. Perlu usaha lebih dari petani agar membuat kebun bunga yang ia rawat tetap tumbuh cantik, harum, dan memanjakan mata. Begitu pula hatiku, Geno. Hubungan baik kita, bunga yang bermekaran di dalam hatiku, bukan berarti tidak pernah mengalami masa sulit bersamamu. Aku pernah merasa serba salah, di mana aku berbuat apapun rasanya benar-benar kacau. Apakah itu karenamu? Sebenarnya tidak secara langsung. Tapi, jika sesuatu tidak ada kaitannya denganmu, maka tidak akan aku tulis ke dalam surat yang mungkin hanya akan menjadi tumpukan kertas yang berdebu di dalam laci mejaku. Kenapa? Apa yang sebenarnya kau lakukan kepadaku? Bukankah hubungan pertemanan kita saat itu baik-baik saja? Itulah masalahnya, Geno. Masalahnya terletak pada hubungan pertemanan kita. Hubungan pertemanan yang aku anggap istimewa, karena sebelumnya aku tidak pernah memiliki teman akrab seorang lelaki. Kehidupan di desa membuat hubungan antara lelaki dan perempuan menjadi tabu. Jika saja ada seorang lelaki yang tiba-tiba datang ke rumah untuk menemuiku? Pasti keesokan harinya ada kabar yang tidak menyenangkan beredar di masyarakat sekitar. Entah itu aku dikabarkan hamil, ataupun dikabarkan akan segera menikah. Kabar yang manapun itu, tidak ada yang menguntungkan bagiku. Kekeringan di dalam kebun bunga pikiranku terjadi kala aku kehilangan kabar darimu. Aku yang terbiasa akan hadirmu di sini, harus menelan pil pahit bernama keheningan dan rasa kesepian. Berkali-kali aku memeriksa ponsel, mencari keberadaanmu, berharap ada notifikasi yang berasal darimu. Namun semakin lama aku menunggu, pesan darimu tak kunjung aku terima. Ada badai bernama rasa khawatir dan takut yang tiba-tiba merasuk ke dalam pikiranku, meluluh lantahkan deretan kebun bunga indah, membuatnya hancur tak bersisa. Aku khawatir terjadi sesuatu yang buruk padamu di sana, sehingga membuatmu tidak bisa menghubungiku. Entah itu yang berurusan dengan keluargamu, atau teman-teman yang tidak menyukaimu. Yang manapun itu, tidak ada yang menyenangkan bagiku. Ada juga rasa takut, takut kehilangan sosok yang mulai membuatmu terbiasa menerima perhatian kecil namun manis darinya. Sosok itu adalah kau, Geno, bukan orang lain. Ingin rasanya aku menghubungimu terlebih dahulu, meminta kabar darimy terlebih dahulu, namun berkali-kali aki hanya mengurungkan niat. Aku buka ponsel dan memeriksa status terakhir dilihat di media sosial dan aplikasi bertukar pesan yang biasa kita gunakan untuk berkabar, namun tidak ada yang aneh dari situ. Kau masih tetap aktif, kau masih tetap membuka aplikasi-aplikasi itu secara berkala. Tapi di mana? Di mana kau dan apa yang kau lakukan hingga tidak ada waktu menghubungiku? Ingin rasanya aku berteriak, marah, tapi aku merasa tidak memiliki hak untuk melakukan itu. Aku siapa? Aku hanya seorang teman yang menemanimu di kala senggang. Mungkin wajar jika kau merasa bosan, sehingga mencari kesenangan lain di sana dan melupakan kawan dari desa yang tidak tahu apa-apa sepertiku. Mungkin di sana kau sudah menemukan orang lain yang tidak udik dan bisa mengimbangi obrolan bersamamu jauh melebihi diriku. Ingin aku menangis kala itu, tapi aku tidak memiliki hak untuk mengekangmu. Aku siapa? Yang bisa aku lakukan hanya menunggu sambil berkali-kali memeriksa ponsel dan memastikan kau baik-baik saja. Beruntung aku memiliki hobi mencurahkan apapun yang mengganggu pikiranku ke dalam rangkaian kata berbalut cerita. Selain sebagai hobi untuk membunuh waktu luang, menulis adalah salah satu sumber penghasilanku sehingga membuatku bersemangat mencurahkan apapun yang aku rasakan ke dalamnya. Apapun, apapun cerita yang sedang terlintas di pikiranku, aku tumpahkan ke dalam rangkaian kata, termasuk rasa gundah, takut, dan khawatir terhadap hadirnya dirimu di hari-hariku. Kau tahu, Geno? Meskipun aku sepertinya mulai menyukaimu, tapi aku rasa kau hanya menganggapmu sebagai teman di kala senggang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD