Apakah Kau Tidak Merindukanku?

1109 Words
Hai, Geno, kau ke mana akhir-akhir ini? Setelah mengisi hari-hariku dengan kata-kata sederhana yang menjadi candu setiap hari, kini tiba-tiba kau tidak memberikan kabar padaku, hilang bagai diterpa angin dingin yang datang dari selatan. Ke mana kau pergi? Bukankah kau bilang kita ini teman? Bukankah kita akrab? Apakah kau tidak rindu dengan sahabat jauhmu yang selalu kau berikan pujian ini? Hari-hari seakan berjalan lambat. Detik demi detik terasa begitu lama saat kau tidak memberikan kabar padaku. Padahal biasanya, waktu tidak terasa berlalu sangat cepat saat kau menemaniku dari ujung sana, entah melalui pesan singkat ataupun melalui panggilan telepon. Padahal rasanya matahari masih ada di atas kepala ketika kita memulai panggilan telepon, tetapi tanpa sadar langit telah berubah menjadi jingga dan perlahan bintang-bintang mulai bermunculan menghiasi langit malam cerah yang seakan ikut tersenyum memuji kebahagiaanku ketika berbincang bersamamu. Tapi sekarang kau ada di mana? Sedang apa? Bagaimana kabarmu? Apakah baik-baik saja? Atau memang ada sesuatu yang terjadi? Suara detik jam dinding di kamarku terdengar kencang ketika aku sedang menunggu kabar darimu, seakan ingin memecah kesunyian yang ada di hatiku. Aku sadar, di antara kau dan aku, masih belum ada satu hubungan istimewa. Tapi entah, aku tidak bisa mengendalikan kerinduan yang aku rasakan terhadap sosok lelaki ceria yang selalu menyanyikan lantunan lagu indah yang membuat hariku yang monokrom menjadi penuh warna. Merah, hijau, kuning, biru, dan warna-warna indah itu dapat terlihat jelas saat kau ada di ujung sana menyambutku saat aku mengangkat panggilan suara darimu. Tapi sekarang, semua warna itu perlahan memudar, berganti hitam, putih, dan abu-abu, seiring kabarmu yang menghilang dari pemberitahuan yang muncul di layar ponselku. Saat kau menghilang dariku kala itu, aku tahu jika kau pasti sadar jika aku gemar menulis curahan hati ke dalam karya yang nantinya dapat dibaca oleh banyak orang di luar sana. Tapi saat kau tidak ada di duniaku seperti saat itu, semua tulisanku seakan menguap. Kalimat-kalimat yang seharusnya dapat aku tulis ke dalam cerita yang berasal dari hati, menghilang dari kepalaku seperti kehadiranmu yang tiba-tiba memudar. Geno, pantaskah jika aku merasa rindu terhadap seseorang yang bahkan belum pernah aku temui di dunia nyata? Aku ingin bercerita kepadamu, sesuatu yang mungkin belum kau ketahui tentangku ketika kau menghilang kala itu. Ada sebuah perubahan sederhana namun berdampak besar karena hadir dan tidak hadirnya sosokmu dalam kehidupanku yang singkat ini. Aku pun pernah berujar kepadamu jika aku adalah seorang gadis ceria yang menjalani kehidupan biasa sebagai gadis desa biasa, anak seorang petani yang setiap hari membantu ayah dan ibuku di sawah, dan memiliki hobi menulis. Namun saat akhirnya kau hadir di dalam kehidupan sederhanaku, semuanya berubah drastis. Bukan sebuah perubahan buruk yang aku rasakan, melainkan sebuah kebiasaan baru yang mengisi hari-hariku dan hal itu bukan sesuatu yang buruk aku pikir. Sejak kau datang, aku menjadi semakin gemar menulis, ide-ide yang ada di dalam kepala serasa tidak pernah habis. Ada banyak hal yang meletup-letup di dalam otakku, seakan banyak bom asap beraneka warna yang meledak secara bersamaan, menjadikan rangkaian kata yang aku susun terasa seperti permen pelangi dengan cita rasa manis yang mampu membangkitkan suasana hati yang sedang gundah dan sedih. Sayangnya di tengah euforia yang aku rasakan karena kehadiranmu, tiba-tiba jejak kakimu menghilang dari kamarku, meninggalkanku sendiri bersama jam dinding yang terus berdetak menunggu kehadiranmu kembali yang tidak kunjung datang. Geno, dalam lembar surat sebelumnya aku pernah berujar jika aku sering melihat ponsel sambil menunggu kabar darimu. Beberapa kali aku sadar jika kau sedang memegang ponsel di sana, terlihat dari tanda yang tertulis di aplikasi bertukar pesan yang kita gunakan bersama. Seketika jantungku berdebar, bibirku tersenyum, mataku berkaca-kaca penuh harap, berharap kau menulis sesuatu di ruang obrolan dan memulai lagi perbincangan denganku, mengisi hari-hariku yang mulai terasa kosong. Sayangnya, harapan hanya tinggal harapan. Kabar yang aku tunggu pun tidak kunjung datang. Kebahagian sesaat yang aku rasakan ketika melihatmu sedang memegang ponsel di ujung sana, tiba-tiba lenyap. Senyum lebar di bibirku seketika mengkerut, mata yang berkaca-kaca penuh harap, kini berubah menjadi air mata kesedihan. Aku tidak bisa menahan air mata yang tanpa sadar menetes membasahi pipiku. Geno, kenapa kau tidak kunjung kembali ke kehidupanku? Apakah kau bertemu dengan orang lain yang lebih bisa mengimbangimu, berasal dari keluarga yang lebih pantas denganmu, dan memiliki latar belakang yang sejajar denganmu, dibandingkan denganku yang hanya gadis desa sederhana ini? Aku takut, takut kau merasa nyaman dengan orang lain di luar sana. Meskipun bukan sebagai pasangan yang memiliki komitmen, tapi rasa takut bahwa kau menemukan teman nyaman di luar sana cukup menghantuiku. Rangkaian kata yang seharusnya dapat aku susun menjadi sebuah alur cerita, menghilang dari otakku. Ketika menatap layar saat ingin bekerja pun, berakhir dengan membiarkan kursor di layar berkedip tanpa mampu menuliskan apapun untuk mengisi lebaran kosong yang seakan menagih kisah-kisah yang harus aku tulis. Kedipan kursor yang seirama dengan detak jam dinding, membuat waktu di kamarku berjalan semakin lama, membuat rasa rindu terhadapmu semakin tidak dapat aku tahan. Kosong, hampa, sepi, warna-warna yang akhir-akhir ini melukis di dalam hatiku menghilang tanpa jejak, meninggalkanku di dalam kamar ini sendirian bersama debu-debu yang menempel di dinding. Rasa kesepian dan tidak adanya komitmen yang terjadi antara kau dan aku, membuatku bergerilya mencari tambatan lain untuk mengisi hari-hari yang telah kau tinggalkan. Meskipun aku tahu jika sebenarnya kau telah mulai mengisi hatiku dan menyirami bunga layu yang bersemayam di dalamnya, namun aku belum berani menyebutmu sebagai pengisi hati karena sebenarnya kau hanya menganggapku sebagai seorang "teman" yang mungkin tidak memiliki harga lebih bagimu. Kata teman sengaja kuberi tanda kutip untuk menegaskan bahwa di antara kau dan aku tidak ada sesuatu yang istimewa. Bodoh? Mungkin, mungkin aku memang bodoh telah menambatkan hati kepada seseorang yang tidak menginginkanku. Kebodohan yang tumbuh di kepalaku akibat harapan berlebihan terhadapmu membuatku menjadi sedikit liar. Aku yang seharusnya adalah orang pendiam, pemalu, dan tidak pandai bergaul, tiba-tiba menjadi orang yang berani mengajak orang lain berkenalan secara langsung. Sesuatu yang lucu dari sikapku adalah, ketika seseorang yang tidak pandai bergaul tiba-tiba mengambil langkah, yang terjadi pasti sesuatu yang tidak diinginkan. Begitu pula denganku, saat mencoba mengenal sosok orang lain di luar sana. Bukannya aku menemukan orang yang dapat menjadi pengganti atas ketidakhadiranmu, aku justru bertingkah aneh, melontarkan lelucon-lelucon konyol yang sama sekali tidak lucu, yang membuat orang-orang baru yang aku coba dekati justru mundur teratur melihat betapa anehnya caraku menyapa mereka. Padahal ketika aku menggunakan cara itu untuk menyapamu, kau selalu tertawa dan tidak pernah menganggapku aneh. Semua lelucon yang keluar baik dari mulutku maupun dari ketikanku pun selalu kau tanggapi dengan tawa renyah yang selalu dapat membangkitkan suasana hatiku. Geno, apapun yang aku lakukan di luar sana, entah kenapa selalu mengingatkanku terhadap sosokmu yang menghilang. Geno, kau ke mana? Di mana? Sedang apa? Dengan siapa? Apakah kau tidak merindukanku?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD